BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Belajar
adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku
atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang
diperkuat. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan
respon.[1]
Dari
suatu proses belajar diperoleh suatu hasil yang sangat signifikan, dikarenakan
yang sebelumnya tidak mengetahui menjadi mengetahui dan yang sebelumnya belum
memahamin dapat menjadi paham setelahnya.
Dalam
suasana saat ini, istilah belajar tidak hanya menjadi penggambaran suatu usaha
mengetahui sesuatu begitu saja, melainkan memiliki berbagai teori dan model
yang terus berkembang sesuai dengan kemajuan zaman. Salah satu perkembangan
teori belajar adalah teori belajar konstruktivisme.
Meski
bukan hal yang baru teori belajar konstruktivisme menjadi salah satu dasar
teori belajar yang sudah mengakar pada dunia pendidikan dengan berbagai
karakteristik, kelebihan, maupun kekuranganya.
Teori
belajar konstruktivisme secara umum dapat didefinisikan sebagai sebagai experimental learning, yang merupakan
adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkret di lapangan, di
laboratorium, berdiskusi dengan teman, dan dikembangkan menjadi pengetahuan,
konsep, serta ide baru. Peserta didik sebagai subjek pembelajaran yang harus
aktif mengembangkan pengetahuan mereka sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai
pembelajar.[2]
Dari
pengertian secara umum tersebut masih begitu banyak hal mengenai teori belajar
konstruktivisme. Oleh karena itu perlu adanya suatu kajian lebih mendalam,
sehingga memunculkan pemahaman yang lebih luas akan teori belajar tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Dari
latar belakang yang ada, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1) Apa
yang dimaksud dengan teori belajar konstruktivisme?
2) Bagaimana
karakteristik dari teori belajar konstruktivisme?
3) Apa
kelebihan dan kekurangan dari teori belajar konstruktivisme?
4) Bagaimana
pengaplikasian teori belajar konstruktivisme terhadap aktivitas belajar peserta
didik?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, maka tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1) Mengetahui
dan memahami apa yang dimaksud dengan teori belajar konstruktivisme;
2) Mengetahui dan memahami karakteristik dari
teori belajar konstruktivistik;
3) Mengetahui
dan memahami kelebihan dan kekurangan dari teori belajar konstruktivisme;
4) Mengetahui
dan memahami pengaplikasian teori konstruktivisme terhadap aktivitas belajar
peserta didik.
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, maka manfaat dari pembuatan makalah ini adalah:
1) Memahami
lebih dalam akan definisi teori belajar konstruktivisme;
2) Memahami
lebih dalam akan karakteristik, kelebihan, dan kekurangan teori belajar
konstruktivisme;
3) Memahami
cara pengaplikasian teori konstruktivisme terhadap aktivitas belajar peserta
didik.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Definisi Teori Belajar
Konstruktivisme
Teori
konstruktivistik didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat kognitif,
yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme
sebenarnya bukan merupakan gagasan baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita
selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini
menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
1. Pelajar
aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada;
2. Dalam
konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka;
3. Pentingnya
membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling
mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru;
4. Unsur
terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara
aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahaman yang sudah ada;
5. Ketidakseimbangan
merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila
seorang pelajar menyadari gagasan-gagasanya tidak konsisten atau sesuai dengan
pengetahuan ilmiah;
6. Bahan
pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar
untuk menarik minat pelajar.
Konstruktivistik,
constructivism dalam bahasa Inggris
berasal dari kata construct yang
berarti membina. Konstruktivisme ialah teori yang bertunjangkan usaha pelajar
mengaitkan ide lama dengan ide baru dalam membina ilmu pengetahuan. Teori ini
pertama kali diperkenalkan dalam konteks pendidikan dan perkembangan anak-anak
oleh Piaget dan John Dewey.
Konstruktivistik
atau konstruktivisme merupakan suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan kita adalah sebuah konstruksi atau bentukan diri kita sendiri. Dan
menurut Piaget pembentukan atau konstruksi ini tak pernah mencapai suatu titik
akhir namun terus berkembang setiap kali diadakanya reorganisasi karena adanya
suatu pemahaman baru.
Konstruktivisme
pembelajaran ialah desain pembelajaran yang menekankan kemampuan peserta didik
dalam mengkonstruksi pengetahuanya sendiri, bukan serta merta pendidik yang
selalu menjadi senter penerang dikala gelap melanda. Namun di sinilah setiap
peserta didik secara individual harus dan layak memiliki kemampuan untuk
memperdayakan fungsi-fungsi psikis dan mental yang dimilikinya. Yaitu kemampuan
mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman yang lalu, membandingkan dan
mengambil sebuah keputusan dan kemampuan yang lebih menyukai satu dari yang
lainya.
Prinsip
dasar yang mendasari filsafat konstruktivis adalah bahwa semua pengetahuan
dikonstruksikan (dibangun) dan bukan dipersepsi secara langsung oleh indera
(penciuman, penglihatan, perabaan) bahwa konstruktivisme berakar pada asumsi
bahwa pengetahuan, tidak peduli bagaimana pengetahuan itu didefinisikan,
terbentuk didalam otak manusia, dan subjek yang berpikir tidak memiliki
alternatif selain mengkonstruksikan apa yang diketahuinya berdasarkan
pengalamanya sendiri. Semua pikiran kita didasarkan oleh pada pengalaman kita
sendiri, dan oleh karenanya bersifat subjektif.
Setara
dengan di atas, Budingsih juga mengemukakan bahwa faktor-faktor yang juga
mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan seseorang yang telah ada, domain
pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil
konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas
konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang baru
menjadi unsur pentingdalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan.
Keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan membatasi
pengetahuanya akan hal tersebut. Pengetahuan yang telah dimiliki orang tersebut
akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dirinya.
Semua
kalangan dari paham konstruktivis menyetujui bahwa pengetahuan secara aktif
dikonstruksi oleh manusia, entah secara individual atau pun dalam kelompok,
bukanya diterima dari sumber natural. Selain ini, definisi konstruktivisme
beragam menurut permasalahan yang diperdebatkan bersama dengan perubahan
konstruktivis. Bidang perdebatan yang paling dasar dipresentasikan oleh suatu
rangkaian dalam memandang belajar sebagai suatu tindakan instruksi secara
individual untuk melihat belajar sebagai sebuah konstruksi sosial. Rangkaian
ini dipusatkan pada satu posisi yang dikenal sebagai konstruktivisme radikal atau
psikologikal, yang menggambarkan konstruksi pengetahuan sebagai suatu proses
yang terjadi dalam mind dari
individu. Pada sisi lain dari rangkaian tersebut diberlakukan dengan posisi
yang dikenal sebagai ”social
constructivism or sociocultural position”
yang melihat “mind” sebagai
hampir secara keseluruhan melekat pada social
practice of the culture (kenyataan sosial budaya).
Dengan
demikian, konstruktivisme adalah satu filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri. Pengetahuan bukan
juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan bukan juga gambaran
dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi
kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep,
dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan baru. Pandangan
konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang.
Manusia mengkonstruksi pengalamanya. Konstruktivitik mengarahkan perhatianya
pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamanya, struktur
mental, dan keyakinan yang digunakan untuk mengintepretasikan objek dan
peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah
instrumen penting dalam mengintepretasikan kejadian, objek, dan pandangan dunia
nyata, di mana intepretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia
secara individual. Dalam konstruktivis menyatakan bahwa semua pengetahuan yang
kita peroleh adalah konstruksi kita sendiri, maka mereka menolak kemungkinan transfer
pengetahuan dari seseorang kepada yang lain bahkan secara prinsipil.
Konstruksi
berarti bersifat membangun, dalam konsteks filsafat pendidikan, konstruktivisme
adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern.
Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran
kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi
sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak
sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau
kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi
pengetahuan itu dari memberi makna melalui pengalaman nyata.[3]
2.1.1
Pembelajaran Menurut Paradigma Konstruktivisme
Menurut
Suparno, paham konstruktivistik pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan)
dari orang mengenal sesuatu (skema). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari
guru kepada orang lain karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa
yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif tempat
terjadi asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga
terbentuk suatu skema (jamak skema) yang baru. Seseorang yang belajar berarti
membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan terus menerus.
Konstruksi bersifat membangun. Dalam konteks filsafat pendidikan,
konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya
modern. Konstruktivisme adalah landasan berpikir (filosofi) pembelajaran
konstektual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi
sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak secara
tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah
yang siap untuk diambil atau diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan
itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Adapun
menurut Tran Vui, konstruktivisme adalah suatu filsafat yang dibangun atas
pengalaman-pengalaman sendiri. Sedangkan teori konstruktivisme adalah sebuah
teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau
mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau
kebutuhanya tersebut dengan bantuan fasilitas orang lain. Manusia untuk belajar
menemukan sendiri kompetensi pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang
diperlukan gina mengembangkan dirinya.
Dari
keterangan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa teori konstruktivisme
memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri
kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna
mengembangkan dirinya. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah
tanggungjawab siswa. Sedangkan, tujuan teori konstruktivisme sebagai berikut.
a. Mengembangkan
kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaanya;
b. Membantu
siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap;
c. Mengembangkan
kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri. Lebih menekankan kepada
proses belajar, bagaimana belajar itu.
Hal
yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya memberikan pengetahuan kepada
siswa. Siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya. Seorang guru dapat
membantu proses ini dengan cara membuat pembelajaran menjadi sangat bermakna
dan sangat relevan bagi siswa. Selain itu, memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menemukan atau menerapkan ide-ide dan mengajak siswa menggunakan
strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Konstruktivisme sebenarnya
bukan merupakan gagasan yang baru. Apa yang dilalui dalam kehidupan manusia
selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Hal ini
menyebabkan seseorang memunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti pembelajaran
aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada. Dalam konteks
pembelajaran, pembelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
Konstruktivisme
sebagai deskripsi koqnitif manusia sering di asosiasikan dengan pendekatan
pedagogi yang mempromosikan learning by
doing. Teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar
menemukan kompetensi diri, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang
diperlukan guna mengembangkan dirinya. Menurut asalnya, teori konstruktivisme
bukanlah teori pendidikan. Teori ini berasal dari disiplin filsafat, khusunya
filsafat ilmu. Pada tataran filsafat, teori ini membahas mengenai bagaimana
proses terbentuknya pengetahuan manusia. Menurut teori ini pembentukan
pengetahuan terjadi sebagai hasil kontruksi manusia atas realitas yang
dihadapinya. Dalam perkembangan kemudian, teori ini mendapat pengaruh dari
disiplin psikologi, terutama psikologi kognitif Piaget, yang berhubungan dengan
mekanisme psikologis yang mendorong terbentuknya pengetahuan. Menurut kaum
konstruktivis, belajar merupakan proses aktif siswa mengkonstruksi pengetahuan.
Proses tersebut dicirikan oleh beberapa hal sebagai berikut:
a. Belajar
berarti membentuk makna. Makna diciptakan siswa dari apa yang mereka lihat,
dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi makna ini dipengaruhi oleh pengertian
yang telah ia punyai;
b. Konstruksi
makna merupakan suatu proses yang berlangsung seumur hidup;
c. Belajar
bukan kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih berorientasi pada pengembanGan
berfikir dan pemikiran dengan cara membentuk pengertian yang baru. Belajar
bukanlah hasil dari perkembangan, melainkan perkembangan-suatu perkembangan
yang menuntun penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang
d. Proses
belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skemata seseorang dalam keraguan
yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi disequilibrium merupakan situasi yang baik dalam belajar;
e. Hasil
belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar dengan dunia fisik dan lingkungan
siswa;
f. Hasil
belajar siswa tergantung pada apa yang sudah diketahuinya.[4]
2.1.2 Tokoh-tokoh Teori
Belajar Konstruktivisme
a. Driver
dan Bell
Driver
dan Bell mengajukan karakteristik teori belajar teori belajar konstruktivistik
sebagai berkut:
1) Siswa
dapat dipandang sebagai sesuatu yang pasif, tetapi memiliki tujuan;
2) Belajar
mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa;
3) Pengetahuan
bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal;
4) Pembelajaran
bukanlah transmisi pengetahuan melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas;
5) Kurikulum
bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajarn, materi, dan
sumber.
b. J.
J. Piaget
Berikut
ini adalah tiga hal pokok Piaget dalam kaitanya dengan tahap perkembangan
intelektual atau tahap perkembangan konstruktivisme kognitif atau bisa juga
disebut tahap perkembangan mental, yaitu sebagai berikut:
1) Perkembangan
intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan
urutan yang sama. Setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan
dengan urutan yang sama;
2) Tahap-tahap
tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster
dari operasi mental (pengaturan, pengekalan, pengelompokkan, pembuatan
Hipotesis dan penarikan kesimpulan yang menunjukkan adanya tingkah laku
intelektual;
3) Gerak
melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibrium), proses pengembangan yang menguraikan interaksi antara
pengalaman (asimilasi) dan sruktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Selanjutnya,
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis, menegaskan bahwa pengetahuan
tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Menurut
Ruseffendi, asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan
akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru
sehingga informasi tersebut mempunyai tempat. Pengertian tentang akomodasi yang
lain seperti yang dikemukakan oleh Suparno adalah proses mental yang meliputi
pembentukkan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau memodifikasi
skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
c. Vigotsky
Berbeda
dengan konstruktivisme kognitif yang dikemukakan oleh Piaget, konstruktivisme
sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky memiliki pengertian bahwa belajar bagi
anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan
atau discovery dalam belajar lebih
mudah dalam konteks sosial budaya seseorang. Dalam penjelasan lain, Tanjung
mengatakan bahwa inti kognitivis Vigotsky adalah interaksi aspek internal dan
eksternal yang perkenaanya pada lingkungan sosial dalam belajar.
d. Tasker
Tasker
mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai
berikut:
1) Peran
aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna.
2) pentingnya
membuat kaitan antar gagasan dalam pengonstruksian secara bermakna;
3) mengaitkan
antara gagasan dan informasi baru yang diterima
e. Wheatley
Wheatley
mendukung pendapat diatas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam
pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme, yaitu sebagai berikut:
1) Pengetahuan
tidak dapat diperoleh secara pasif tetapi secara aktif oleh struktur koqnitif
siswa;
2) Fungsi
kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata
yang dimiliki anak.
Kedua
pengertian diatas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara
aktif dalam proses pengaitan penguasaan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian
ilmu pengetahuan melalui lingkungan. Bahkan secara spesifik, Hudoyo mengatakan
bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari
pada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu untuk mempelajari
suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan
memengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
f. Hanbury
Hanbury
mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitanya dengan pembelajaran, yaitu sebagai
berikut:
1) Siswa
mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengkonstruksi ide yang mereka miliki;
2) Pembelajaran
menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti;
3) Strategi
siswa lebih bernilai;
4) Siswa
mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu
pengetahuan dengan sesamanya.
Berdasarkan
beberapa pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu
kepada teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesukaan siswa
dalam mengorganisasikan pengalaman Mereka bukan kepatuhan siswa dalam refleksi
atau aapa yang telah diperhatikan dan dilakaukan oleh guru. Dengan kata lain,
siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi.[5]
2.2 Karakteristik Teori Belajar Konstruktivisme
Berikut
ini uraian mengenai karakteristik dari teori belajar konstruktivisme, antara
antara lain:
1. Pengetahuan
dibangun oleh siswa sendiri;
2. Pengetahuan
tidak dapat dipindahkan dari guru ke murin, kecualai hanya dengan keaktifan
murid sendiri untuk menalar;
3. Murid-murid
mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep
ilmiah;
4. Guru
sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses konstruksi berjalan
dengan lancar;
5. Struktur
pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan selain itu yang
paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan
kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri.
Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara mengajar yang membuat
informasi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan
dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka
sendiri mereka sendiri untuk belajar;
6. Para
siswa harus dapat secara aktif mengasimilasi dan mengakomodasi pengalaman baru
ke dalam kerangka kognitifnya;
7. Untuk
mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang digunakan
para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkan, dan
yang dibuat para siswa untuk mendukung model-model itu;
8. Siswa
perlu mengkonstruksi pemahaman yang mereka sendiri untuk masing-masing konsep
materi sehingga guru dalam mengajar bukanya “menguliahi”, menerangkan atau
upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada siswa tetapi menciptakan
situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka membuat konstruksi-konstruksi
mental yang diperlukan;
9. Kurikulum
dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik;
10. Latihan
memecahkan masalah sering kali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari;
11. Peserta
didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai
dengan dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang
membuat situasi konsdusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri
peserta didik.[6]
12. Memberi
peluang kepada pembelajar untuk membina pengetahuan baru melalui keterlibatanya
pada dunia sebenarnya;
13. Mendorong
ide-ide pembelajar sebagai panduan merancang pengetahuan;
14. Mendukung
pembelajaran secara kooperatif;
15. Mendorong
dan menerima usaha dan hasil yang diperoleh pembelajar;
16. Mendorong
pembelajar mau bertanya dan berdialog dengan guru;
17. Menganggab
pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran;
18. Mendorong
proses inquiry pembelajar melaui kajian dan eksperimen.[7]
2.3 Kelebihan dan Kekurangan Teori
Belajar Konstruktivisme
a. Kelebihan
Murid
berpikir untuk menyelesaikan masalah, menjalankan ide dan membuat keputusan.
Paham karena murid terlibat secara langsung dalam membina pengetahuan baru,
mereka akan lebih paham dan boleh mengaplikasikanya dalam semua situasi. Selain
itu murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama
semua konsep. Kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan rekan dan
guru dalam membina pengetahuan baru.
1. Adanya
motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri;
2. Mengembangkan
kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaan;
3. Membantu
siswa untuk membangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap;
4. Mengembangkan
kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri;
5. Lebih
menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.[8]
6. dalam
proses membina pengetahuan baru pembelajar berpikir untuk menyelesaikan
masalah, menjalankan ide-idenya dan membuat keputusan.
7. karena
pembelajar terlibat langsung dalam membawa pengetahuan baru, pembelajar lebih
paham dan dapat mengaplikasikanya dalam semua situasi.
8. karena
pembelajar terlibat langsung secara aktif, pembelajar akan mengingat semua
konsep lebih lama.
9. pembelajar
akan lebih memahami keadaan lingkungan sosialnya yang diperoleh dari interaksi
dengan teman dan guru dalam membina pengetaghuan baru.
10. karena
pembelajar terlibat langsung secara terus menerus , pembelajar akan paham,
ingat, yakin, dan berinteraksi dengan sehat. Dengan demikian, pembelajar akan
merasa senang belajar dan membina pengetahuan baru.[9]
b. Kelemahan
Dalam
bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses
belajar, antara lain:
1. Proses
belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu
mendukung;
2. Siswa
berbeda persepsi satu dengan yang lainya.[10]
3. karena
cakupanya luas, lebih sulit dipahami.[11]
2.4
Pengaplikasian Teori Konstruktivisme terhadap Aktivitas Belajar Peserta Didik
Pada
empat abad sebelum masehi, Socreates telah menggulirkan paham konstruktivisme,
dengan mengembangkan metode belajar berdasarkan penemuan ini disebut sebagai
metode dialektik dengan menerapkan antara guru dan pembelajar. Guru menanyakan
sesuatu pada pembelajar yang menuntut pembelajar menganalisis pengetahuanya.
Socreates
mengembangkan cara berpikir induktif pembelajar diminta untuk merumuskan
pengetahuanya dari hasil penemuan-penemuan ide dan gagasan. Pemikiran Socreates
ini diikuti oleh muridnya Plato dan diteruskan oleh Aristoteles.
Konstruktivisme
dalam belajar dimaknai juga sebagai experimental
learning, yang merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman
konkret di lapangan, di laboratorium, berdiskusi dengan teman, dan dikembangkan
menjadi pengetahuan, konsep, serta ide baru. Peserta didik sebagai subjek
pembelajaran yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka sebagai bentuk
tanggung jawabnya sebagai pembelajar.
Menurut
Vigotsky yang menganut konstruktivisme, pengertian ilmiah tidak datang dalam
bentuk yang jadi pada seorang anak. Pengertian ilmiah tersebut mengalami
perkembangan dan bergantung pada tingkat kemampuan anak untuk menangkap suatu
model pengertian yang lebih ilmiah.
Sejalan
dengan paham konstruktivisme pada abad ke-16, Jonatan Amos Comenius dan
Wolfgang Ratke menyarankan sebaiknya pengajaran dilaksanakan dari yang
sederhana kepada yang majemuk, dari yang konkret ke yang abstrak, benda dahulu
baru kaidah, analisa dulu baru konstruksi. Belajar dengan mengingat hanya untuk
hal-hal yang berguna.
Pendapat
yang sepaham dikemukakan oleh Tyler menjelaskan bahwa implementasi teori
belajar konstruktivisme dengan runtutan cara sebagai berikut:
a. Memberi
memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasanya dengan bahasa
sendiri;
b. Memberi
kesempatan kepada siswa untuk berpikir tentang pengalamanya sehingga lebih
kreatif dan imajinatif;
c. Memberi
kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru;
d. Memberi
pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa;
e. Mendorong
siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka;
f. Menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif.
Vigotsky
lebih mantap lagi dalam mengembangkan teori konstruktivisme ini dengan mengemukakan perkiraanya bahwa
mengkonstruksi pengetahuan baru dengan cara kooperatif (cooperative learning). Pembelajar dapat terlibat secara aktif dalam
interaksi sosial untuk bekerja sama mencapai tujuan pembelajaran. Melalui
diskusi kelompok-kelompok kecil, para pembelajar dapat membangun pengetahuan
baru atau suatu kesimpulan berdasarkan pemikiran bersama.
Konstruktivisme
pada dasarnya mengharapkan pembelajar mengkonstruksi dan mengembangkan
pengetahuanya dengan menggali dari berbagai pengalaman dan informasi yang
didapat. Pembelajar tidak hanya menyerap apa yang dijelaskan oleh gurunya.
Pembelajar dan guru diharapkan lebih kreatif, inovatif. Guru sebagai pencerdas
sebaiknya memosisikan pembelajar tidak sebagai objek belajar, tetapi sebagai
subjek belajar.
Peserta
didik dan guru selayaknya memformulasikan pembelajaran dengan menyenangkan,
bergembira, semangat, dan demokratis yang menghargai setiap pendapat sehingga
pada akhir tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan efektif dan efisien.
Ilustrasi
pembelajaran berdasarkan teori konstruktivisme dicontohkan seperti berikut:
guru memfasilitasi peserta didik belajar berkelompok dan berdiskusi untuk
mempelajari suatu materi. Mereka menggali setiap informasi dari berbagai wacana
atau sumber belajar. Peserta didik belajar membuka wawasan dan mengembangkan
gagasan-gagasan untuk menyimpulkan pengetahuan yang baru. [12]
2.4.1
Unsur
Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivisme
Widodo
menyimpulkan tentang ilmu unsur penting dalam lingkungan pembelajaran yang
konstruktivis sebagai berikut:
a. Memerhatikan
dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
Kegiatan
pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan
baru dengan memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena
itu pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan awal siswa dan manfaat
teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pola pada diri
siswa.
b. Pengalaman
belajar yang autentik dan bermakna
Segala
kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa
sehingga bermakna bagi anak. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan
belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan
melakukan pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk
mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari
kehidupan sehari-hari, dan juga menerapkan konsep.
c. Adanya
lingkungan sosial yang kondusif
Siswa
diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa
maupun dengan guru. Selain itu, juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja
dalam berbagai konteks sosial.
d. Adanya
dorongan agar siswa bisa mandiri
Siswa
didorong untuk bisa bertanggungjawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena
itu, siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur
kegiatan belajaranya.
e. Adanya
usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah. Sains bukan hanya berupa
produk (fakta, konsep, prinsip, dan teori), namun juga mencakup proses dan
sikap. Oleh karena itu, pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan
memperkenalkan siswa tentang kehidupan ilmuwan.
2.4.2
Aspek-aspek
Pembelajaran Konstruktivis
Fornot
mengemukakan aspek-aspek pembelajaran konastruktivistik berupa adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of environment), dan
pembentukan makna (the construction of
meaning). Dari ketiga aspek tersebut, oleh J. Piaget mengemukakan adaptasi
terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses, yaitu asimilasi dan
akomodasi.
a. Proses
asimilasi
Proses
asimilasi adalah proses kognitif ketika seseorang mengintegrasikan persepsi,
konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam
pikiranya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan
dan mengkalsifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah
ada. Proses asimilasi ini berjalan terus menerus. Asimilasi tidak akan
menyebabkan perubahan/ pergantian skemata, tetapi perkembangan skemata.
Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasi dan
mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian orang itu berkembang.
b. Proses
akomidasi
Proses
akomodasi dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak
dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru itu bisa saja sama sekali tidak
cocok dengan skema yang ada. Dalam keadaan demikian, orang akan mengadakan
akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan
rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok
dengan rangsangan itu.
Menurut
Piaget, adaptasi merupakan suatu keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi.
Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap
lingkunganya, terjadilah ketidakseimbangan (disequilibrium).
Akibat ketidak seimbangan itutercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang
ada akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual
ini merupakan proses terus-menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan
keadaan seimbang (disequilibrium-equilibrium).
Akan tetapi, bila terjadi keseimbangan, individu akan berada pada tingkat yang
lebih tinggi daripada sebelumnya.
2.4.3
Tujuan
dan Hasil Belajar Menurut Paradigma Konstruktivisme
Menurut
Santyasa, tujuan belajar menurut paradigma konstruktivisme mendasarkan diri
pada tiga fokus belajar sebagai berikut:
a. Proses
Fokus
yang pertama adalah proses yang mendasarkan diri pada nilai sebagai dasar untuk
memersepsikan apa yang terjadi apabila apabila siswa diasumsikan belajar. Nilai
tersebut didasari oleh asumsi bahwa dalam belajar orang berkembang secara
alamiah. Oleh sebab itu, paradigma pembelajaran hendaknya mengembalikan siswa
ke fitrahkan sebagai manusia dibandingkan hanya menganggap mereka belajar hanya
dari apa yang dipresentasikan oleh.
b. Tranfer
belajar
Fokus
yang kedua adalah transfer belajar yang mendasarkan dari premis “siswa dapat menggunakan dibandingkan
hanya dapat menanyai apa yang dipelajari”. Satu nilai yang dapat ddipetik dari
premis tersebut bahwa meaningfull learning harus diyakini memiliki nilai
yang lebih baik dibandingkan dengan rote
learning, dan deep understanding lebih baik dibandingkan senseless memorization. Tanda pemahaman
mendalam adalah kemampuan mentransfer apa yang dipelajari ke dalam situasi baru.
c. Bagaimana
belajar
Fokus
yang ketiga adalah bagaimana belajar (how
to learn) memiliki nilai yang lebih penting dibandingkan dengan apa yang
dipelajari. Alternatif pencapaian learning
how to learn adalah dengan memberdayakan keterampilan siswa. Dalam hal ini
diperlukan fasilitas belajar untuk ketrampilan berpikir.
Paradigma
tentang hasil belajar yang berasal dari tujuan belajar kekinian tersebut
hendaknya bergeser dari no learning dan
rote learning menuju constructivistic learning. Siswa mencoba
membuat gagasan tentang informasi yang diterima, mencoba mengembangkan model
mental dengan mengaitkan hubungan sebab akibat, dan menggunakan proses-proses
koqnitif dalam belajar. Proses-proses kognitif utama meliputi penyediaan
perhatian terhadap informasi-informasi yang relevan dengan cara memilih (selecting), mengorganisasi
informasi-informasi tersebut dalam representasi yang koheren melalui proses organizing, dan mengintegrasikan
representasi-representasi tersebut dengan pengetahuan yang telah ada di
benaknya melalui proses integrating.
2.4.4
Implikasi
Teori Konstruktivistik dalam Pembelajaran
Dalam
upaya mengimplementasikan teori belajar konatruktivisme, Tyler mengajukan
beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
a. Memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasan dengan dengan bahasa
sendiri;
b. Memberi
kesempatan kepada siswa untuk berpikir tentang pengalamanya sehingga menjadi
lebih kreatif dan imajinatif;
c. Memberi
kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru;
d. Memberi
pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa;
e. Mendorong
siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka;
f. Menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif.
Selain
itu, Slavin menyebutkan strategi-strategi belajar pada teori konstruktivisme
adalah topdown processing (siswa belajar dimulai dengan masalah yang kompleks
untuk dipecahkan. Kemudian menemukan ketrampilan yang dibutuhkan), cooperative learning (strategi yang
digunakan untuk proses belajar agar siswa lebih mudah dalam menghadapi problem
yang dihadapi), dan generative learning
(strategi yang menekankan pada integrasi yang aktif antara materi atau
pengetahuan yang harus diperoleh dengan skemata).
Implikasi
dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak adalah sebagai
berikut:
a. Tujuan
pendidikan menurut teori ini adalah menghasilkan individu atau anak yang
memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi;
b. Kurikulum
dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksikan oleh peserta didik. Selain
itu latihan memecahkan masalah sering dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
c. Peserta
didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai
dengan dirinya. Guru hanya berfungsi sebagai mediator, fasilitator, dan teman
yang membuat situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri
peserta didik.
Teori
konstruktivisme membawa implikasi dalam pembelajaran yang harus bersifar
kolektif atau kelompok. Proses sosial masing-masing siswa harus dapat
diwujudkan.
Bagi
kaum konstruktivis, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari
guru kepada siswa, melainkan penciptaan sesuatu yang memungkinkan siswa
membangun sendiri pengetahuanya. Mengajar berarti partisipasi aktif guru
bersama-sama siswa dalam membangun pengetahuanya, membuat makna mencari
kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan jastifikasi. Jadi, mengajar adalah
kegiatan belajar. Menurut prinsip konstruksinya, guru berperan sebagai mediator
dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan sebagaimana
mestinya. Sebagai mediator dan fasilitator dapat dijabarkan tugas guru sebagai
berikut:
a. Menyediakan
pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggungjawab dan merencanakan
aktivitas belajar, proses belajar, serta yang diperoleh dari belajar;
b. Menyediakan
sarana belajar yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Guru hendaknya
menciptakan rangsangan belajar melalui penyediaan situasi problematik yang
memungkinkan siswa untuk memecahkanya;
c. Memonitor,
mengevaluasi, dan menunjukkan tingkat perkembangan berpikir siswa. Guru dapat
menunjukkan dan mempertanyakan sejauh mana pengetahuan siswa untuk menghadapi
persoalan baru yang berkaiatan dengan pengetahuan yang dimilikinya.
Konstruktivisme
memandang bahwa pengetahuan non-objektif bersifat temporer, selalu berubah, dan
tidak menentu. Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkret,
aktivitas kolaboratif dan rerefleksi serta intepretasi. Seseorang yang belajar
akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pengalamanya
dan perspektif dalam mengintepretasikanya. Teori ini menekankan pada diri siswa
Dalam penyusun pengetahuan yang ingin diperoleh oleh siswa teori menuntut siswa
untuk menyadarkan keaktifan siswa untuk belajar. Sedangkan tujuan dari teori
belajar konstruktivisme ini adalah:
a. Adanya
motivasi untuk siswa belajar dan bertanggung jawab atas dirinya;
b. Mengembangkan
kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaanya;
c. Membantu
siswa untuk mengembangkan pengertian dan pembuatan konsep secara lengkap;
d. Mengembangkan
kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri;
e. Lebih
menekankan pada proses belajar bagaimana belajar.
Konsep
evaluasi pendidikan hampir sama dengan konsep pada teori konstruktivisme, yaitu
menitik beratkan pada proses. Proses yang dimaksud merupakan sebuah pengalaman
yang dialami langsung oleh masing-masing siswa (penyusunan pengetahuan oleh
siswa).[13]
2.4.5
Aplikasi
Teori Belajar Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sejarah
Dalam
konteks yang lebih khusus, yaitu pembelajaran sejarah pada teori belajar
konstruktivistik pada dasarnya adalah sama saja seperti pengaplikasian teori
ini pada mata pelajaran lainya. Yaitu sesuai dengan kaidah-kaidah aturan dari
teori ini, serta peranan masing-masing komponen pendidikan, yang diuraikan
sebagai berikut:
·
Proses Belajar
Secara
konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan
sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri
siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamanya melalui
proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutakhiran struktur
kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada
segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Pemberian
makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilalui secara
sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial
yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas.
·
Peranan Siswa
Belajar
merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan
oleh si pembelajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun
konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Pada hal ini
hakikatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
Paradigma konstruktivistik memandang
siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari
sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi
pengetahuan yang bar.
·
Peranan Guru
Dalam
hal ini guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian
pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentranfer pengetahuan yang
dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuanya sendiri.
Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang
meliputi:
1) Menumbuhkan
kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil kepuusan dan
bertindak;
2) Menumbuhkan
kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan siswa;
3) Menyediakan
sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang
optimal untuk berlatih.
·
Sarana Belajar
Pendekatan
konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah
aktifitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuanya sendiri. Segala sesuatu
seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainya disediakan
untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan
pendapat dan pemikiranya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan demikian
siswa terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya,
mandiri, kreatif, dan mampu mempertanggungjawabkan pemikiranya secara rasional.
·
Evaluasi Belajar
Pandangan
teori ini mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya
berbagai pandangan dan intepretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan,
serta aktivitas lainya yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan
pemikiran terhadap evaluasi belajar dengan teori ini. Ada perbedaan penerapan
evaluasi belajar antara pandangan behavioristik yang objektif dengan
konstruktivistik.
Pandangan konstruktivistik mengemukakan
bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi dan
mengintepretasikanya berdasarkan pengalamanya. Apabila pada pandangan
behavioristik tradisional lebih diarahkan pada tujuan belajar, sedangkan
evaluasi pada teori konstruktivisme menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi
kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Hasil belajar konstruktivistik lebih
tepat dinilai dengan metode goal-free,
yang memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik.
Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivistik
dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang
menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi seperti tingkat “penemuan” pada
taksonomi Meriil, atau “strategi kognitif” dari Gagne, serta “sintesis” pada
taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi
pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.[14]
BAB 3. PENUTUP
3.1 Simpulan
Teori
konstruktivistik didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat kognitif,
yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme
sebenarnya bukan merupakan gagasan baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita
selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan
seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Teori
belajar konstruktivisme memiliki beberapa karakteristik antara lain; memberi
peluang kepada pembelajar untuk membina pengetahuan baru melalui keterlibatanya
pada dunia sebenarnya, mendorong ide-ide pembelajar sebagai panduan merancang
pengetahuan, mendukung pembelajaran secara kooperatif, mendorong dan menerima
usaha dan hasil yang diperoleh pembelajar, mendorong pembelajar mau bertanya
dan berdialog dengan guru, menganggab pembelajaran sebagai suatu proses yang
sama penting dengan hasil pembelajaran, mendorong proses inquiry pembelajar
melaui kajian dan eksperimen, dll.[15]
Dalam
teori belajar konstruktivistik, pada aplikasinya memiliki kelebihan yaitu siswa
di tuntut mandiri untuk mengkonstruksi mengetahuanya. Sehingga menghasilkan
suatu komposisi tingkat pengetahuan yang kuat dalam ingatan serta membuat siswa
semakin kreatif dan dapat mengerjakan setiap masalah dengan pemecahanya
sendiri. Namun selain kelebihan yang dimiliki, teori belajar konstruktivistik
juga memiliki kelemahan, antara lain; dengan segala tuntutan yang diberikan
untuk siswa menjadikan peran guru sangat berkurang, selain itu siswa berbeda
persepsi satu dengan yang lainya, serta dengan cakupan yang luas terkadang
terlalu menyulitkan.
Bagi
kaum konstruktivis, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari
guru kepada siswa, melainkan penciptaan sesuatu yang memungkinkan siswa
membangun sendiri pengetahuanya. Mengajar berarti partisipasi aktif guru
bersama-sama siswa dalam membangun pengetahuanya, membuat makna mencari
kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan jastifikasi.
3.2 Saran
Belajar
merupakan suatu usaha yang dilakukan manusia untuk menuju proses mengetahui
dari sebelumnya belum mengetahui ataupun kurang tahu. Dalam perkembangnya,
belajar bukan lagi sekedar aktivitas sederhana, melainkan memiliki berbagai
teori yang pada dasarnya bertujuan untuk menyukseskan tujuan dari belajar itu
sendiri.
Upaya
pembaharuan dalam dunia belajar mengajar hendaknya bukan menjadi kendala yang
menyulitkan kegitan belajar itu sendiri, tetapi harus memberikan suatu sentuhan
pencerahan yang semakin membawa kemajuan. Oleh karena itu,
perkembangan-perkembangan yang terjadi khususnya dalam sisi positif perlu
kiranya untuk selalu dijadikan referensi yang diushakan menjadi perbaikan pada
masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih, C. Asri. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:
Rineka Cipta.
https://id.wikipedia.org/wiki/Belajar.
[26 Agustus 2015].
Saefuddin,
Asis. 2014. Pembelajaran Efektif.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Suardi,
Mohamad. 2015. Belajar dan Pembelajaran.
Yogyakarta: Deepublish.
Tobroni, M. 2015. Belajar dan Pembelajaran - Teori dan Praktik. Yogyakarta: Arruz
Media.
[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Belajar. [26 Agustus 2015].
[2]
Saefuddin, Asis. 2014. Pembelajaran
Efektif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hlm. 12-14.
[3] Suardi,
Mohamad. 2015. Belajar dan Pembelajaran.
Yogyakarta: Deepublish. Hlm. 164-171.
[4] Tobroni,
M. 2015. Belajar dan Pembelajaran - Teori
dan Praktik. Yogyakarta: Arruz Media. Hlm. 91-101.
[5] Tobroni,
M. 2015. Belajar dan Pembelajaran - Teori
dan Praktik. Yogyakarta: Arruz Media. Hlm. 91-101.
[6] Suardi,
Mohamad. 2015. Belajar dan Pembelajaran.
Yogyakarta: Deepublish. Hlm. 164-171.
[7] Tobroni,
M. 2015. Belajar dan Pembelajaran - Teori
dan Praktik. Yogyakarta: Arruz Media. Hlm. 91-101.
[8] Suardi,
Mohamad. 2015. Belajar dan Pembelajaran.
Yogyakarta: Deepublish. Hlm. 164-171.
[9] Tobroni,
M. 2015. Belajar dan Pembelajaran - Teori
dan Praktik. Yogyakarta: Arruz Media. Hlm. 91-101.
[10] Suardi,
Mohamad. 2015. Belajar dan Pembelajaran.
Yogyakarta: Deepublish. Hlm. 164-171.
[11]
Tobroni, M. 2015. Belajar dan
Pembelajaran - Teori dan Praktik. Yogyakarta: Arruz Media. Hlm. 91-101.
[12]
Saefuddin, Asis. 2014. Pembelajaran
Efektif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hlm. 12-14.
[13]
Tobroni, M. 2015. Belajar dan
Pembelajaran - Teori dan Praktik. Yogyakarta: Arruz Media. Hlm. 91-101.
[14]
Budiningsih, C. Asri. 2012. Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Hlm. 58-61.
[15]
Tobroni, M. 2015. Belajar dan
Pembelajaran - Teori dan Praktik. Yogyakarta: Arruz Media. Hlm. 91-101.
Terimakasih telah menjadi inspirasi dan referensi bagi kami
BalasHapushttps://www.dasarguru.com/teori-belajar-konstruktivisme/
Salam Hormat,