Senin, 20 April 2015

SELAMETAN KELAHIRAN BAYI PADA BULAN SURO



BAB 1. PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Bulan Suro, adalah nama salah satu bulan dalam sistem kalender Jawa. Nama ‘Suro’ sendiri sebenarnya berasal dari sitem kalender Jawa yang sama dengan sistem penanggalan Hijriyah, mengadopsi dari nama bulan yang ada pada kalender Hijriyah yaitu bulan Muharam. Memang tidak semata nama Muharam diambil, namun diambil dalam penyebutan tanggal ke-10 bulan Muharam yaitu ‘Asyuro’, sehingga dari hal tersebutlah didapai nama bulan Suro dalam penyebutan Jawa.
Dalam ajaran Islam, bulan Muharam memanglah bukan bulan-bulan biasa seperti yang lainya. Melainkan adalah salah satu dari bulan utama dari 12 bulan tahun Hijriyah. Dalam masyarakat Jawa sendiri, memiliki suatu perspektif tersendiri juga dalam menyikapi bulan suro. Banyak suatu aturan yang ada pada bulan Suro, serta banyak acara-acara keadatan yang dilaksanakan pada bulan suro. Hal tersebut bisa terjadi dikarenakan suatu dasar kepercayaan turun-temurun yang ada pada masyarakat Jawa.
Yang menjadi sorotan dalam makalah ini adalah kajian mengenai ritual yang dilakukan masyarakat Jawa (dalam kajian ini adalah sebagian masyarakat Kabupaten Banyuwangi), yang memiliki erat hubunganya dengan bulan suro, yaitu selametan kelahiran bayi yang lahir pada bulan suro.
Memang ritual selametan ini dalam kancahnya tidak sepopuler tradisi-tradisi yang lain yang sering dibahas atau dipublikasikan. Namun dalam kepercayaan orang jawa (dalam kajian ini adalah sebagian masyarakat Kabupaten Banyuwangi), hal ini tidaklah kalah penting dari acara-acara yang lain dalam lingkup bulan Suro. Maka dari itu perlu adanya suatu kajian yang mendalam akan hal ini, supaya dapat diketahui lebih dalam dan jelas akan selametan kelahiran bayi di bulan Suro.


1.2  Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah
1)      Apa yang dimaksud dengan slametan?
2)      Apa yang dimaksud dengan Bulan Suro?
3)      Bagaimana pandangan masyarakat Jawa terhadap Bulan Suro?
4)      Bagaimana pandangan masyarakat Jawa terhadap kelahiran bayi di Bulan Suro?
5)      Bagaimana pelaksanaan ritual slametan kelahiran bayi pada Bulan Suro?
1.3  Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah
1)      Mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan slametan;
2)      Mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan bulan Suro;
3)      Mengetahui dan memahami pandangan masyarakat Jawa terhadap bulan Suro;
4)      Mengetahui dan memahami pandangan masyarakat Jawa terhadap kelahiran bayi di bulan Suro;
5)      Mengetahui dan memahami pelaksanaan ritual slametan kelahiran bayi pada bulan Suro.
Manfaat dari Pembuatan makalah ini adalah
1)      Dapat mengetahui lebih jauh akan pengertian slametan dan bulan Suro;
2)      Dapat mengetahui lebih jauh akan pandangan masyarakat Jawa terhadap Bulan Suro dan Kelahiran di Bulan Suro;
3)      Dapat mengetahui lebih jauh akan ritual selametan dan pelaksanaanya untuk kelahiran bayi pada bulan Suro.



BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Slametan
Masyarakat jawa sebelum mengenal agama mempunyai system kepercayaan yang berkaitan dengan animisme dan dinamisme. Kepercayaan tersebut begitu lekat di dalam kehidupan masyarakat Jawa, bahkan sampai sekarang masih ada yang menganutnya. Menurut Harustato (1987: 98) sejarah perkembangan religi orang Jawa telah dimulai sejak zaman pra sejarah, dimana pada waktu itu nenek moyang orang Jawa beranggapan bahwa semua benda yang ada di sekelilingnya mempunyai nyawa, dan semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan gaib atau mempunyai roh yang berwatak baik maupun jahat.
Ciri khas orang Jawa lainnya yaitu berkaitan dengan cara berfikir yang terobsesi oleh nilai-nilai budaya Jawa seperti budi luhur, lembah manah, tepa slira, dan sebagainya. Nilai-nilai tersebut bertujuan untuk mewujudkan kedamaian dan ketentraman dalam kehidupanya dengan terlahirnya sikap rukun, saling menghormati, menghargai dan menghindari konflik. Dalam tradisi kejawan banyak dijumpai upacara-upacara ’selamatan’ dengan berbagai perlengkapan ‘ubo-rampenya’.
Jika diteliti dengan seksama maka upacara selamatan tersebut merupakan wujud dari suatu doa. Doa dengan sanepan alias perlambang Perlambang-perlambang itu antara lain sebagai berikut:
·         Tumpeng.
Tumpeng atau buceng merupakan nasi yang dibentuk menyerupai kerucut, membentuk seakan-akan gunung kecil. Ini merupakan lambang permohonan keselamatan. Bagi masyarakat Jawa gunung melambangkan kekokohan, kekuatan dan keselamatan.
·         Procot.
Sejenis penganan terbuat dai ketan yang dibungkus daun pisang bulat memanjang. Dinamakan dengan procot dengan harapan lahirnya si bayi kelak ‘procat-procot’, mudah maksudnya.
·         Bubur sengkolo
Bubur sengkolo itu merupakan bubur dengan warna merah dan putih. Merupakan lambang dari bibit asal-muasal kejadian manusia selepas Bapa Adam dan Ibu Hawa, yaitu diciptakan Allah melalui perantaraan darah merah dan darah putih dari ibu bapak kita. Harapan dari bubur sengkolo adalah mudah-mudahan yang punya hajad itu ‘kalis ing sambikolo’ terlepas dari segala aral bahaya, baik bayinya maupun keluarganya.
·         Sego atau nasi golong
Sego golong merupakan doa agar rejekinya ‘golong-golong’ artinya banyak berlimpah ruah.
·         Cengkir
Ngencengake pikir artinya membulatkan tekad untuk kelak menyambut kehadiran sang anak yang merupakan ‘titipan Ilahi’. Tekad untuk apa saja ? Ya tekad untuk memelihara dan mendidik hingga menjadi anak yang berbudi pekeri luhur.
Untuk macam-macam selametanya adalah:
1.      Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang. Jenis selamatan ini meliputi; hamil tujuh bulan, kelahiran, potong rambut pertama, menyentuh tanah untuk pertama kali, menusuk telinga, sunat, kematian, peringatan serta saat-saat kematian.
2.      Selamatan yang bertalian dengan bersih desa. Jenis selamatan ini meliputi upacara sebelum penggarapan tanah pertanian, dan setelah panen padi.
3.      Selamatan yang berhubungan dengan hari- hari serta bulan-bulan besar Islam.
4.      Selamatan yang berkaitan dengan peristiwa khusus. Jenis selamatan ini meliputi : perjalanan jauh, menempati rumah baru, menolak bahaya (ngruwat), janji kalau sembuh dari sakit (kaul), dan lain-lain.
Di antara jenis-jenis selamatan tersebut, selamatan yang berhubungan dengan kematian sangat diperhatikan dan selalu dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menghormati arwah orang yang meninggal. Jenis selamatan untuk menolong arwah orang di alam baka ini, berupa:
1.      Surtanah atau geblak, yaitu selamatan pada saat meninggalnya seseorang.
2.      Nelung dina, yaitu selamatan hari ketiga sesudah meninggalnya seseorang.
3.      Mitung dina, yaitu selamatan hari ketujuh sesudah meninggalnya seseorang.
4.      Matang puluh dina, yaitu selamatan hari ke 40 sesudah meninggalnya seseorang.
5.      Nyatus, yaitu selamatan hari ke 100 meninggalnya seseorang.
6.      Mendak sepisan, yaitu selamatan satu tahun meninggalnya seseorang.
7.      Mendak pindo, yaitu selamatan dua tahun meninggalnya seseorang.
8.      Nyewu, yaitu selamatan genap 1000 hari meninggalnya seseorang. Selamatan ini kadang-kadang disebut juga nguwis nguwisi, artinya yang terakhir kali.
Selain selamatan, masyarakat Jawa juga mengenal upacara sesajen. Upcara ini berkaitan dengan kepercayaan terhadap makhluk halus. Sesajen diletakkan di tempat-tempat tertentu, seperti di bawah kolong jembatan, di bawah tiang rumah, dan di tempat-tempat yang dianggap keramat. Bahan sesajen berupa: ramuan tiga jenis bunga (kembang telon), kemenyan, uang recehan, dan kue apam. Bahan tersebut ditaruh di dalam besek kecil atau bungkusan daun pisang. Ada pula sesajen yang dibuat pada setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon yang wujudnya sangat sederhana karena hanya terdiri atas tiga macam bunga yang ditempatkan pada sebuah gelas yang berisi air, bersama sebuah pelita, dan ditempatkan pada sebuah meja. Tujuan menyediakan sesaji tersebut adalah agar roh-roh tidak mengganggu ketenteraman dan keselamatan anggota seisi rumah. Erat kaitannya dengan kepercayaan terhadap makhluk halus ini, ada pula sesaji penyadran agung yang masih tetap diadakan setiap tahun oleh keluarga Keraton Yogyakarta bertepatan dengan hari Maulud Nabi Muhammad SAW yang disebut Grebeg Maulud. Adapun kepercayaan kepada kekuatan sakti (kasakten) banyak ditujukan kepada benda-benda pusaka, keris, alat musik Jawa (gamelan), beberapa jenis burung tertentu (perkutut), kendaraan istana (Kereta Nyai Jimat dan Garuda Yeksa), serta kepada tokoh raksasa Bethara Kala.[1]
·         Sejarah Selametan
Menurut para ahli antropologi, penduduk yang dianggap pertama kali mendiami Indonesia adalah bangsa Wedda yang berbadan kecil dan berkulit coklat.Kemudian pada sekitar tahun 3000 SM gelombang pertama orang-orang melayu ke Indonesia.Bagi mereka yang menetap di Pulau Jawa, mereka ini lalu terpengaruh oleh alam lingkungan Jawa, oleh keadaan gunung-gunungnya, oleh sungai-sungainya, oleh udaranya, oleh tumbuh-tumbuhannya, oleh suara burungnya dan sebagainya.Akibatnya membawa pengaruh pada mereka untuk menumbuhkan kebudayaan Jawa, yaitu suatu budaya yang merupakan hasil interaksi antara manusia pendatang dengan lingkungan alam Jawa.Oleh karena itu orang-orang melayu yang datang kemudian dianggap sebagai nenek moyang orang Jawa.
Sebagaimana pada tempat-tempat lain, suku Jawa pada zaman purba kehidupannta amat bergantung pada lingkungan hidup, kemudian menimbulkan kepercayaan adanya kekuatan alam dan arwah orang meninggal dengan timbulnya seni lukis yang berlatar belakang magis, khususnya di dinding-dinding gua.
Budiono Herusutoto dalam bukunya "Sombolisme dalam Budaya Jawa" mengatakan bahwa suku bangsa Jawa pada zaman purba mempunyai pandangan hidup Animisme, suatu kepercayaan adanya roh atau jiwa pada semua benda, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan juga manusia sendiri.
Pengaruh kepercayaan animisme ini telah berlangsung lama dan cukup kuat, khususnya di Jawa dan juga beraneka ragam suku lain di berbagai daerah di Indonesia. Pengaruh kepercayaan ini mewarnai berbagai aktifitas kehidupan sosial, organisasi, pemerintahan, struktur ekonomi, dan sosial budaya hingga saat pada datangnya Islam di Indonesia.
Menurut Marwati Budiono Herusatoto, Di Indonesia pada masa kedatangan dan pengebaran Islam terdapat keanekaragaman suku bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi dan sosial budaya. Suku bangsa yang bertempat tinggal di pedalaman dengan budaya asinh seperti India, Persia, Arab, dan Eropa. Struktur sosial, ekonomi, dan budaya  agak statis di bandingkan dengan suku bangsa yang mendiami daerah pesisir utara jawa. Mereka yang bertempat tinggal di pesisir lebih di kota, pelabuhan menunjukkan ciri fisik dan sosial budaya yang lebih berkembang dikarenakan sudah bercampur dengan budaya dari luar.
Pengaruh kebudayaan yang di bawa oleh orang India terutama golongan Brahmana atau pendeta-pendeta Hindu dan Budha lebih meresap pada golongan elite. Karena masyarakat umum yang jauh dari pusat kerajaan tetap hidup dalam kebudayaan aslinya.
·         Filosofi Selametan
Selamatan yang biasa dilakukan oleh orang Jawa, merupakan adat yang tidak bisa dilepaskan dengan akar sejarah kepercayaan-kepercayaan yang pernah dianut oleh orang Jawa.Aktifitas selamatan bertujuan untuk memperoleh keselamatan bagi pelakunya itu pada mulanya bersumber dari kepercayaan animisme-dinamisme, kepercayaan yang dianut oleh nenek moyang orang Jawa yang menganggap bahwa setiap benda itu punya roh dan kekuatan tertentu.Dari kenyataan ini manusia pada awalnya merasa tidak berdaya, kemudian meminta perlindungan kepada sesuatu yang memiliki kekuatan lebih, yang disebut dengan roh-roh dan kekuatan-kekuatan yang ada pada benda-benda tertentu.Kegiatan yang berupa permohonan untuk suatu keselamatan itu kemudian disebut dengan “selamatan”. Jika pada masa animisme-dinamisme disebut nama-nama roh dan kekuatan tertentu kemudian pada masa Hindu-Budha diganti dengan nama-nama dewa-dewi, dan setelah kedatangan Islam diganti dengan nama-nama Allah, Muhammad, dan para keluarga Nabi serta para sahabatnya dan prinsip-prinsip islam.
Bagi orang Jawa, upacara seperti ini baik upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup manusia itu sendiri sejak masih dalam kandungan ibu, lahir, kanak-kanak, remaja dewasa bahkan sampai pada kematiannya atau juga upacara yang berkaitan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari dalam mencari nafakah masih terjadi misalnya, membangun gedung, meresmikan rumah pindah rumah dan lain-lain.
Seperti pada kematin, orang jawa umumnya berkeyakinan bahwa roh nenek moyang itu lama-kelamaan akan pergi dari tempat tinggalnya, dan pada saat-saat tertentu keluarganya akan mengadakan selamatan untuk menandai jarak yang di tempuh roh itu menuju alam roh, tempatnya yang abadi kelak. Namun roh itu dapat di hubungi oleh kaum kerabat serta turunananya setiap saat di perlukan.
Selain itu bagi orang jawa melakukan selamatan memiliki keyakinan yaitu untuk mendapatkan berkah, selamat dan terhindar dari cobaan yang berat, mendo’akan orang yang meninggal, sebagai rasa syukur karena selamatan setahun terakhir, kehidupan masyarakat aman dan tenteram, terjaga dari malapetaka dan juga befungsi sebagai (talak balak)
·         Nilai yang Terkandung dalam Selametan
Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam ritual selametan antara lain:
1.          Adanya rasa kebersamaan, senasib dan sepenanggungan dalam berusaha  untuk  mencapai  kebahagian hidup dan kemakmuran bersama.
2.          Dengan perantaraan upacara ini terjadinya Khablum minallah yaitu tempat manusia meminta dan kahblum minannas yaitu hubungan manusia dengan manusia yang bermakna timbulnya interaksi sosial yang tinggi.
3.           Adanya  keseragaman. Misalnya nilai-nilai moral dalam hubungan manusia dengan alam, pemanfaatan alam, pelestarian alam, dalam mengolah sawah akan memberikan kemudahan bagi para petani itu sendiri terutama terhadap pembagian air dari saluran-saluran air yang ada. Begitu pula dapat mencegah padi baik dari serangan hama.
4.          Nilai-Nilai Moral dalam hubungan manusia dengan masyarakat
a.       Musyawarah;
b.      Saling menghormati;
c.       Saling memaafkan;
d.      Ramah tamah terhadap sesama;
e.       Gotong royong;
f.       Cinta dan kasih saying.
5.          Nilai-Nilai Moral dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri
a.       Berusaha keras;
b.      Tanggung jawab;
c.       Kepatuhan kepada adat.[2]
2.2 Pengertian Bulan Suro (Bulan Muharam)
Dinamakan Bulan Muharam berdasarkan  kemuliaannya sebagai salah satu dari 4 bulan hurum (diharamkan pertikaian dan kezaliman) sebagaimana di kisahkan dalam al-quran 9 : 36.
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
“Sesungguhnya jumlah bulan di Kitabullah (Al Quran) itu ada dua belas bulan sejak Allah menciptakan langit dan bumi, empat di antaranya adalah bulan-bulan haram” (QS. 9: 36).
Jadi, Bulan Muharram adalah salah satu dari empat bulan haram atau bulan yang dimuliakan Allah. Empat bulan tersebut adalah, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.
Bulan Muharram dikenang sebagai momen bersejarah akan hijrahnya Rasul beserta kaum Muhajirin Mekah ke Madinah, sebagaimana dikisahkan dalam alQuran :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah.
(Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.
Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.(Al-Anfal: 72-75)
Keempat ayat ini merupakan satu-satunya rangkaian ayat-ayat hijrah yang paling lengkap dan tersusun secara berurutan dari sekitar dua puluh ayat yang berbicara tentang hijrah.
Adapun bulan muharam  di kenal juga dengan sebutan ‘asyuro’ (hari kesepuluh), merupakan warisan  dari tradisi Yahudi  yg menyunahkan berpuasa di tanggal 10 Muharram, mereka lebih memprioritaskan hanya asyuro bukan Muharram  (tanggal 10 saja) karena keyakinan mereka dimana hari itu keselamatan bani israil zaman nabi Musa dari Firaun sehingga sunah mereka puasa asyuro, sebagaimana Ibnu Abbas mengkisahkan dalam sebuah hadits :
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, lalu beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura’ ( tanggal 10 Muharram), maka beliau bertanya: “Hari apakah ini?” Mereka menjawab: “Ini adalah hari yang baik. Ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa shallallahu ‘alaihi wasallam  berpuasa pada hari itu karena syukur kepada Allah. Dan kami berpuasa pada hari itu untuk mengagungkannya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda: “Aku lebih berhak atas Musa daripada kalian”, maka Nabi berpuasa Asyura’ dan memerintah-kan puasanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Akhirnya, Rasul memutuskan tradisi keberlangsungan istilah’ asyuro versi yahudi  dan menggantinya dengan sunah puasa Muharram 9, 10 dan 11 Muharram…Sebagaimana beberapa periwayatan menceritakan ketegasan sikap Rasul untuk tampil beda dengan para yahudi bani israil. Ketika Para sahabat berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Ya Rasulullah, sesungguhnya Asyura’ itu hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda: “Tahun depan insya Allah kita akan puasa (juga) pada hari yang kesembilan.”(HR. Muslim (1134) dari Ibnu Abbas).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas dari jalur lain, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Berpuasalah pada hari Asyura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi itu, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.” (Fathul Bari, 4/245).
Adapun bulan Muharram dikenal dengan istilah  Bulan Suro, asal usulnya berasal dari  tradisi primbon Jawa.  Konon kata suro diadopsi dari ‘asyuro ( hari kesepuluh menurut tradisi Yahudi). Bulan suro juga  dikenal sebagai bulan keramat, keramat diambil dari kata karomah (kemuliaan ) akan tetapi ternyata diterjemahkan berbeda. Bulan karomah (yg dimuliakan) menjadi istilah keramat, akhirnya muncul ketakutan sebagai bulan sial dan petaka.
Dengan demikian berpotensi  dibuatnya  banyak hadits palsu mengiringi  bacaan  doa awal atau akhir tahun agar terhindar dari petaka di bulan tersebut. Jadi cukup bagi kita mengambil istilah Muharram sebagai bulan yg dimuliakan sebagai momentum reformasi Rasulullah untuk selalu hijrah dari kejahiliyahan modern menuju cahaya kebenaran Islam dengan mensyiarkan doa dan amalan pasti dari Rasulullah saw.[3]
2.3 Pandangan Masyarakat Jawa terhadap Bulan Suro
Antara Muharam dengan Suro memang oleh orang Jawa diidentikan. Akan tetapi, sebenarnya memiliki muatan makna dan peristiwa yang berbeda sehingga walaupun diidentikkan, namun ritual keduanya adalah berbeda.
Di jawa, tahun hijriah dipakai sebagai sistem penanggalan kaum muslim Jawa, yang ditetapkan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma, yang kadang disebut sebagai penanggalan abage. Dalam praktiknya, dengan penanggalan Islam, terkadang berjarak 1 hari lebih lama. Hanya saja angka tahun Jawa, yakni lebih muda 78 tahun dibanding tahun masehi. Tahunya tetap menggunakan tahun Saka, namun perhitungan harinya diubah menjadi sistem tarikh qamariyah. Ini merupakan ijtihad penting yang dilakukan Sultan Agung, yang menjadi simbol asimilasi Islam dan budaya Jawa.  
Bagi masyarakat Jawa, kegiatan menyambut bulan Suro ini sudah berlangsung sejak berabad-abad yg lalu. Dan kegiatan yg berulang-ulang tersebut akhirnya menjadi kebiasaan serta menjadi tradisi yg pasti dilakukan di setiap tahunnya. Itulah yg kemudian disebut budaya dan menjadi ciri khas bagi komunitasnya. Namun kalau dicermati, tradisi di bulan Suro yg dilakukan oleh masyarakat Jawa ini adalah sebagai upaya untuk menemukan jati dirinya agar selalu tetap eling lan waspodo.
Eling artinya harus tetap ingat siapa dirinya dan dari mana sangkan paraning dumadi (asal mulanya), menyadari kedudukannya sebagai makhluk Tuhan dan tugasnya sebagai khalifah manusia di bumi, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Waspodo, artinya harus tetap cermat, terjaga, dan awas terhadap segala godaan yg sifatnya menyesatkan. Karena sebenarnya godaan itu bisa menjauhkan diri dari Sang Pencipta, sehingga dapat menyulitkan kita dalam mencapai manunggaling kawula gusti (bersatunya makhluk dan Sang Khalik).
Bulan Suro sebagai awal tahun Jawa, bagi masyarakatnya juga disebut bulan yg sangat sakral karena dianggap bulan yg suci atau bulan untuk melakukan perenungan, berintrospeksi, pembersihan jasmani rohani  serta mendekatkan diri kepada Hyang Widhi.
Cara yg dilakukan biasanya disebut dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu dengan hati yg ikhlas untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah esensi dari kegiatan budaya yg dilakukan masyarakat Jawa pada bulan Suro. dulu lelaku tersebut leluhur kita bisanya melakukan puasa, nyepi untuk beberapa haru atau satu bulan penuh ataupun tergantung pribadi masing-masing dalam lelaku, biasanya lelaku tersebut dilakukan ditempat yang dianggapnya bisa tenang dan jauh akan keramaian (digua, di hutan, atau dipadepokan, dikamar, dll).
Lelaku yg dilaksanakan oleh masyarakat Jawa sebagai media introspeksi biasanya banyak sekali caranya. Ada yg melakukan lelaku dengan cara nenepi (meditasi untuk merenungi diri) di tempat-tempat sakral seperti di puncak gunung, tepi laut, makam para wali, gua dan sebagainya. Ada juga yg melakukannya dengan cara lek-lekan (berjaga semalam suntuk tanpa tidur hingga pagi hari) di tempat-tempat umum seperti di alun-alun, pinggir pantai, dan sebagainya.
Sebagian masyarakat Jawa lainnya juga melakukan cara sendiri yaitu mengelilingi benteng kraton sambil membisu. Begitu pula untuk menghormati bulan yg sakral ini, sebagian masyarakat Jawa melakukan tradisi syukuran kepada Tuhan pemberi rejeki, yaitu dengan cara melakukan labuhan dan sedekahan di pantai, labuhan di puncak gunung, merti dusun atau suran, atau lainnya. Dan karena bulan Suro juga dianggap sebagai bulan yg baik untuk mensucikan diri, maka sebagian masyarakat lain, melakukan kegiatan pembersihan barang-barang berharga, seperti jamasan keris pusaka, jamasan kereta, pengurasan enceh di makam-makam, dan sebagainya. Ada juga yg melakukan kegiatan sebagai rasa syukur atas keberhasilan di masa lalu dengan cara pentas wayang kulit, ketoprak, nini thowok, dan kesenian tradisional lainnya. Apapun yg dilakukan boleh saja terjadi asal esensinya adalah dalam rangka perenungan diri sendiri (introspeksi) sebagai hamba Tuhan.
Di sisi lain, ternyata kesakralan bulan Suro membuat masyarakat Jawa sendiri enggan untuk melakukan kegiatan yg bersifat sakral, misalnya hajatan pernikahan. Hajatan pernikahan di bulan Suro sangat mereka hindari. Entah kepercayaan ini muncul sejak kapan. Namun yang jelas sampai sekarangpun mayoritas masyarakat Jawa tidak berani menikahkan anaknya di bulan Suro. Ada sebagian masyarakat Jawa yang percaya dengan cerita Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan yang konon ceritanya setiap bulan Suro, Nyi Roro Kidul selalu punya hajatan atau mungkin menikahkan anaknya (ndak ada yg tahu berapa jumlah anaknya) sehingga masyarakat Jawa yg punya gawe di bulan Suro ini diyakini penganten atau keluarganya ndak akan mengalami kebahagiaan atau selalu mengalami kesengsaraan, baik berupa tragedi cerai, gantung diri, meninggal, mengalami kecelakaan, atau lainnya. Entah kebenaran itu ada atau tidak, yg jelas masyarakat Jawa secara turun-temurun menghindari bulan Suro untuk menikahkan anak. Padahal bagi pemeluk agama Islam, dan mungkin juga pemeluk agama lain, bahwa semua hari dan bulan itu baik untuk melakukan kegiatan apapun termasuk menikahkan anak.[4]
·         Penyebab Pensakralan Bulan Muharam (Suro)
Terdapat berbagai sebab bulan Muharam (Suro) disakralkan sebagian masyarakat Indonesia (Jawa), diantaranya yang paling utama:
1.      secara teologis religius, bulan Muharam termasuk salah satu dari bulan yang dimuliakan Allah SWT.
2.      Oleh  Rasulullah Muhammad SAW, bulan Muharam dinyatakan sebagai ‘bulan para Nabi”, dan Rasulullah memuliakan bula tersebut, terutama tanggal 10 atau satu hari sebelum atau sesudahnya, dimana Rasulullah menganjurkan berpuasa dan anak yati, serta memperbanyak sedekah.
3.      Dari sudut semi-historis, bulan Muharam pada tanggal 10 merupakan peringatan hari pertama, bagi dunia baru, setelah terjadi bencana banjir bandang dan topan badai pada zaman Nabi Nuh. Pada tanggal 8 muharam,  perahu Nabi Nuh merapat di bukit Judi, Gunung Ararat. Pada tanggal 10 Muharam Nabi Nuh Bersama pengikutnya yang selamat turun dari perahu, dan memulai kehidupan di dunia yang baru.
4.      Tanggal 1 muharam, merupakan awal ekspedisi hijrah Nabi Muhammad dari Mekah menuju Madinah.
5.      Bulan Muharam, atas prakarsa Sultan Agung menjadi bulan awal tahun baru bersama-sama antara Islam dan Jawa.
6.      Oleh masyarakat di pulau-pulau sebelah selatan Indonesia, terdapat keyakinan tentang kaitan sakral antara bulan Muharam dengan ratu atau pengasuh laut selatan, atau yang lebih dikenal sebagai Ratu Kidul.
7.      Pada tanggal 10 Muharam atau Asuro, dalam sejarah Islam pernah terjadi peristiwa yang sangat mengharukan umat Islam. Dimana terjadi pembantaian terhadap 72 anak keturunan Nabi dan pengikutnya.
Selain berbagai faktor utama tersebut, yang menyebabkan adanya berbagai upacara ritual dan laku  sepiritual, serta juga melahirkan banyak upacara selamatan, tentu dalam masing-masing benak kelompok masyarakat dan perorangan, masih memiliki berbagai faktor yang menjadikan mereka merasa harus memuliakan bulan Muharam dengan tanggal 10-nya (Asuro). Karena keyakinan seperti itu tidak bisa disalahkan juga.[5]
2.4 Pandangan Masyarakat Jawa Terhadap Kelahiran Bayi di Bulan Suro
2.4.1 Pandangan Masyarakat Jawa Terhadap Kelahiran Bayi
Kelahiran dari kata dasar lahir, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keluar dr kandungan, muncul di dunia (masyarakat), yg tampak dr luar, berupa benda yg kelihatan[6]. Dari artia tersebut dapat diuraikan bahwa kelahiran adalah suatu proses keluarnya bayi dari kandungan seorang ibu, dan dari kelahiran tersebut berarti bertambahlah anggota keluarga ataupun anggota dalam masyarakat.
Proses kelahiran, memang bukanlah suatu peristiwa atau kejadian yang biasa meskipun hal ini secara berkelanjutan terus terjadi. Hal tersebut dikarenakan objek dalam peristiwa ini menyangkut suatu personal manusia baru yang akan tumbuh dan menjalankan kehidupan kedepanya.
Dalam pandangan masyarakat Jawa, ritual untuk menangani suatu kelahiran secara turun temurun sudah terbudaya berada pada tahapan-tahapan yang begitu panjang. Mulai dari masa kehamilan sampai perawatan bayi yang sudah lahir. Dan berikut urian ritual yang dilakukan masyarakat Jawa untuk menangani masa sebelum kelhiran ataupun setelah melahirkan, sebagai berikut:
·         Macam-Macam Upacara Adat saat Prosesi Kehamilan
1.      Upacara tiga bulanan
Upacara ini dilaksanakan pada saat usia kehamilan adalah tiga bulan. Di usia ini roh ditiupkan pada sang jabang bayi. Upacara ini biasanya dilakukan berupa tasyakuran.
2.      Upacara Tingkepan atau Mitoni
Upacara tingkepan disebut juga mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh, sehingga upacara mitoni dilakukan pada saat usia kehamilan tujuh bulan, dan pada kehamilan pertama. 
Dalam pelaksanaan upacara tingkepan, ibu yang sedang hamil tujuh bulan dimandikan dengan air kembang setaman, disertai dengan doa-doa khusus.
Tata Cara Pelaksanaan upacara Tingkepan :
a.       Siraman dilakukan oleh sesepuh sebanyak tujuh orang. Bermakna mohon doa restu, supaya suci lahir dan batin.Setelah upacara siraman selesai, air kendi tujuh mata air dipergunakan untuk mencuci muka, setelah air dalam kendi habis, kendi dipecah.
b.      Memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain (sarung) calon ibu oleh suami melalui perut sampai pecah, hal ini merupakan simbul harapan supaya bayi lahir dengan lancar, tanpa suatu halangan.
c.       Berganti Nyamping sebanyak tujuh kali secara bergantian, disertai kain putih. Kain putih sebagai dasar pakaian pertama, yang melambangkan bahwa bayi yang akan dilahirkan adalah suci, dan mendapatkan berkah dari Tuhan YME. Diiringi dengan pertanyaan sudah “pantas apa belum”, sampai ganti enam kali dijawab oleh ibu-ibu yang hadir “belum pantas.” Sampai yang terakhir ke tujuh kali dengan kain sederhana di jawab “pantes.”Adapun nyamping yang dipakaikan secara urut dan bergantian berjumlah tujuh dan diakhiri dengan motif yang paling sederhana sebagai berikut :
o   Sidoluhur;
o   Sidomukti;
o   Truntum;    
o   Wahyu Tumurun;
o   Udan Riris;
o   Sido Asih;
o   Lasem sebagai Kain;
o   Dringin sebagai Kemben;
·         Macam-Macam Upacara Adat untuk Bayi
Tak hanya pada saat kehamilan saja upacara adat atau ritual dilaksanakan. Ketika sang jabang bayi ini lahir pun masih ada ritual dan upacara adat. Upacara ini pun berlangsung hingga sang anak menginjak usia satu tahun. Namun, pelaksanaan upacara ini dilaksanakaan hanya di usia tertentu saja. Berikut jenis upacara yang berkaitan dengan kelahiran anak.
1.      Upacara Adat Brokohan
Brokohan memiliki makna adalah pengungkapan rasa syukur dan rasa sukacita atas proses kelahiran yang berjalan lancar dan selamat. Ditinjau dari maknanya brokohan juga bisa berarti mengharapkan berkah dari Yang Maha Pencipta.
Sedangkah tujuannya adalah untuk keselamatan dan perlindungan bagi sang bayi. Selain itu harapan bagi sang bayi agar kelak menjadi anak yang memiliki perilaku yang baik.
Rangkaian upacara ini berupa memendam ari-ari atau plasenta si bayi. Setelah itu dilanjutkan dengan membagikan sesajen brokohan kepada sanak saudara dan para tetangga.
2.      Upacara Adat Sepasasaran atau Pupak Puser
Sepasaran merupakan salah satu upacara adat bagi bayi berumur lima hari. Upacara adat ini umumnya diselenggarakan secara sederhana. Tetapi jika bersamaan dengan pemberian nama pada sang bayi upacara ini bisa dilakukan secara meriah.
Acara ini biasanya dilaksanakn dengan mengadakan hajatan yang mengundang saudara dan tetangga. Suguhan yang disajikan biasanya berupa minuman beserta jajanan pasar. Selain itu juga terkadang ada pula yang dibungkus rapi baik menggunakan besek (tempat makanan terbuat dari anyamam bambu) ataupun lainnya untuk dibawa pulang.
3.      Upacara Adat Selapanan
Dalam bahasa jawa, selapan berarti tiga puluh lima hari. Tradisi ini digunakan pada peringatan hari kelahiran. Setelah 35 hari dari hari H, maka diadakan perayaan dengan nasi tumpeng, jajan pasar dan berbagai macam makanan sebagi simbol dari makna-makna yang tersirat dalam tradisi jawa.
Namun dalam perkembangannya, saat ini selapanan sebagai ungkapan syukur atas kesehatan dan keselamatan bayi, diwujudkan cukup dengan nasi tumpeng beserta lauk seadanya. Kemudian mengundang tetangga kanan-kiri untuk kendurenan (selamatan), berdoa bersama-sama dan diujung acara, tumpeng dibagi rata untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
Selapanan sebagai harapan orang tua dan keluarga agar sang bayi selalu sehat, jauh dari marabahaya. Semoga apa yang diharapkan bisa terlaksana, kabul kajate
4.      Upacara Adat Mudhun Siti
Upacara ini dilakukan untuk bayi yang telah berusia 7 bulan. Di Yogyakarta, upacara ini disebut dengan tedhak siten. Upacara ini sebagai pelambang bahwa sang anak telah siap untuk menjalani hidup lewat tuntunan dari sang orang tua. Dan acara ini dilaksanakan pada saat anak berumur 7 selapan atau 245 hari. Prosesi upacaranya adalah tedhak sega pitung warna, mudhun tangga tebu, ceker-ceker, kurungan, sebar udik-udik, siraman.[7]
 2.4.2 Pandangan Masyarakat Jawa terhadap Kelahiran Bayi pada Bulan Suro
Menyikapi dari uraian diatas, masyarakat Jawa begitu menata ritual-ritual yang digunakan dalam memperlakukan suatu kelahiran. Yang didalamnya terkandung berbagai filosofi atau makna yang memang sudah dirancang dan dipikirkan oleh orang Jawa sedemikian rupa.
Suatu kelahiran yang merupakan suatu keadaan normal pada msyarakat Jawa mendapatkan begitu perlakuan-perlakuan khusus didalamnya, apabila Dalam pembahasan pandangan masyarakat Jawa terhadap kelahiran bayi pada bulan suro, tentu saja akan mendapatkan suatu perlakuan lebih dan khusus terhadapnya. Hal tersebut dikarenakan dari peristiwa kelahiran itu sendiri dan kejadianya pada bulan Suro yang begitu disakralkan oleh masyarakat Jawa.
Sehingga akan timbul ritual-ritual tersendiri khusus untuk menangani bayi yang lahir pada bulan Suro. Sudah menjadi suatu hukum kausal, bahwa semuanya pasti ada sebabnya sehingga menjadi demikian. Suatu ritual selametan khusus dikerjakan untuk anak/ bayi yang lahir pada bulan suro karena sesuai dengan uraian sebelumnya yang menyatakan adanya hubungan bulan Suro dengan penguasa pantai selatan yaitu Kanjeng Ratu Kidul. Mengingat bahwa sebagian daerah di Kabupaten Banyuwangi khususnya di bagian Banyuwangi Selatan merupakan daerah yang banyak didiami suku Jawa dan berada dikelilingi dengan jalur pantai selatan. Sehingga anggapan tentang kepercayaan bulan Suro yang di hubungkan dengan eksistensi penguasa pantai selatan yaitu Kanjeng Ratu Kidul.
Diyakini oleh masyarakat bahwa anak yang lahir pada bulan Suro merupakan anak yang istimewa dan memiliki erat hubungan dengan Kanjeng Ratu Kidul, sehingga rentan untuk dipelihara oleh Kanjeng Ratu Kidul. Dan hal tersebut menimbulkan kekhawatiran yang cukup besar bagi orang tua yang memiliki anak yang lahir pada bulan Suro, sehingga dari hal tersebut dibuatlah acara ritual khusus untuk menanggulangi kejadian yang tidak diinginkan.
Karena hal tersebut begitu dipercaya sejak dahulu, dan kejadian ini juga dialami orang terdahulu, sehingga ritual-ritual sebagai penanggulangan tersebut juga menurun pada generasi kegenerasi sampai saat ini.



2.5  Pelaksanaan Ritual Slametan Kelahiran Bayi di Bulan Suro
2.5.1        Makna Simbolik dibalik Ritual Sedekahan/ Selametan dalam Masyarakat Jawa
Bagi masyarakat muslim Jawa, ritualitas sebagai wujud pengabdian dan ketulusan penyembahan kepada Allah, sebagian diwujudkan dalam bentuk simbol-simbolritual yang memiliki kandungan makna mendalam. Simbol-simbol ritual merupakan ekspresi atau pengejawantahan dari penghayatan dan pemahaman akan “Realitas yang tak terjangkau”, sehingga menjadi “yang sangat dekat”. Dengan simbol-simbolritual tersebut terasa bahwa Allah selalu hadir dan selalu terlibat.
Simbol-simbol ritual tersebut diantaranya adalah ubarampe (piranti dalam bentuk makanan), ruwatan, dan sebagainya. Hal itu merupakan aktualitas dari pikiran, keinginan, dan perasaan pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Upaya pendekatan diri melalui ritual sedekahan, kenduri, selametan, dan sejenisnya tersebut sesungguhnya adalah bentuk akumulasi budaya yang bersifat abstrak.[8]
2.5.2        Aspek Gaib sebagai Bagian dari Ikon Spiritual Masyarakat Jawa
Dalam pelaksanaan berbagai jenis selamatan dan kenduri, kaum muslim Jawa biasanya menyajikan hidangan yang bersifat “harus”, sesuai dengan jenis selamatan yang dilaksakan. Biasanya hidangan yang disajikan merupakan ikon dan simbol spiritual dari apa yang menjadi keinginannya, terkait dengan dilaksanakanya ritual selametan. Mereka menjadikan arena selametan sebagai wahana ekspresi keinginan dan doa yang dipanjatkan kepada Tuhan. Namun, budaya ikonoklastis ini, oleh kalangan muslim Jawa tidak dimasuksudkan untuk musrik. Oleh karenanya, untuk enghindari dari apa yang disebut “kemusyrikan”, ritual selametan dan kenduri dibingkai dengan doa dan dzikir islami.
Selain itu, ikon-ikon yang diwujudkan dalam bentuk berbagai jenis hidangan dimaksudkan sebagai sarana wasilah (perantara) dalam rangka memuliakan (mumuli) para tokoh yang dimuliakan Allah, yakni yang oleh masyarakat Jawa dianggap sebagai Nabi dan para wali Allah.

No
Ubarampe Selametan
Yang dimuliakan
1.       
Apem ketan kolah
Arwah leluhur
2.       
Tumpeng nasi putih, sayuran, telur
Permohonan rasa ketentraman
3.       
Nasi golong lulut, diberi alas dan tutup telur dadar
Diri sebagai hamba Allah (kawula) dengan 4 nafsunya
4.       
Nasi kebuli, telur, brambang goreng utuh, ikan goreng, dan kopi bubuk
Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jailani
5.       
Ketan salak
Kanjeng Pangeran Senapati
6.       
Hati (ayam atau lainya) dan dupa (atau sejenisnya)
Malaikat hafadzah (penjaga gilang)
7.       
Ketan salak, dan telur ayam pindang
Kanjeng Sultan Agung
8.       
Kolak kencana (pisang mas yang dikolak beserta kulitnya)
Kanjeng Ratu Kidul
9.       
Ketan punar, enten-enten, alas dan tutup telur dadar
Ki Ageng Bodho
10.   
Dawet
Sang Hyang Antaboga
11.   
Rujak degan
Permohonan sehat wal afiat
12.   
Ketan mancawarna (ketan aneka warna, merah, hijau, dan sebagainya)
Permohonan rizki berkah dan mencukupi
13.   
Nasi kering yang digoreng dimasukkan santan, dan opak
Anasir udara
14.   
Lauk sayur padhamara (kangkung dengan daging/ ikan, bumbu bawang merah, bawang putih, salam, laos, tumbar, jinten, gula, asam, trasi, dan garam)
Permohonan kepada Allah agar selalu guyup rukun

15.   
Tumpeng robyong (telur godok ditusuk, diatasnya ada telur dan trasi, bawang merah, lalu cabai. Tusukkan itu kemudian ditancapkan dipuncak tumpeng. Kiri kanan tumpeng ditusukkan berbagai jenis sayuran dan palawija) dan tumpeng nasi biasa.
Permohonan kepada Allah agar selalu diberikan keselamatan dan kemuliaan
16.   
Nasi punar
Permohonan keselamatan ijab qabul dan keturunan

17.   
Jenang pliringan (jenang merah dipinggirnya dikasih jenang putih); jenang palang (jenang merak, diatasnya ditumpangi jenang putih melintang); jenang sungsum.
Memuliakan Khalifah Abu Bakar, Umar, ustman, dan Ali

Daftar diatas sekedar contoh, bahwa aneka makanan yang dihidangkan (ubarampe) bagi orang muslim Jawa bukanlah sebagai tujuan dan alat. Namun hanya sebagai ikon dan simbol dari keinginan dan doa yang diwujudkan.[9]
2.5.3 Pelaksanaan Ritual Selametan
Dari uraian sebelumnya, apabila dihubungkan pada kelahiran bayi pada bulan Suro memang sangat erat kaitanya. Hal tersebut dapat terjadi demikian karena perwujudan ritual yang dilakukan untuk anak/bayi yang lahir pada bulan suro memang berbentuk suatu sedekahan atas rasa syukur yang di manifestasikan dalam slametan.
Memang pada dasarnya ritual yang dilakukan untuk semua anak/ kelahiran bayi sama saja pada umumnya untuk masyarakat Jawa. Begitu juga dengan anak/ bayi yang lahir pada Bulan Suro juga mendapatkan perlakuan dasar sama seperti anak/bayi pada umumnya di Jawa. Namun ada yang membedakan dari hal tersebut adalah tambahan ritual yang lebih atau khusus terhadap bayi/anak yang lahir pada bulan Suro tersebut.
Ritual yang menjadi tambahanya adalah ritual selametan dengan berbagai simbol-simbol hidangan, ritual tersebut dikerjakan setiap pengulangan nepton-nya tiba, yaitu pada salah satu hari dalam satu bulan Suro. Uniknya ritual selametan ini tidak hanya dilakukan satu kali saja, melainkan dikerjakan selama 7 kali atau tujuh tahun setiap memperingati nepton-nya, disamping acara-acara lain yang diberikan untuk bayi/ anak pada umumnya.
Dalam pelaksanaanya, ritual tersebut dilakukan dengan pembuatan ikon-ikon atau uborampen dan diujubkan dalam acara kenduri slametan. Dan hal-hal yang harus dipersiapkan antara lain:
1.      Sego gurih (nasi gurih) dengan ingkung (ayam bumbu dimasak utuh) dan sambal goreng;
2.      Sego golong (nasi kepal yang dibungkus daun pisang berjumlah 15 atau 19 bungkus) dengan ayam panggang utuh yang usianya masih muda;
3.      Peyek (rempeyek);
4.      Jenang abang (bubur beras yang diberi gula jawa) diatasnya diberi jenang putih (bubur beras dengan santan tanpa gula merah);
5.      Jenang putih ((bubur beras dengan santan tanpa gula merah) dengan ditaruh irisan gula merah dan serutan kelapa;
6.      Sego kulup (nasi putih biasa dengan ditaruh sayur-sayuran yang diurap dengan bumbu kelapa), diatasnya ditaruh sambal goreng dan telur rebus yang utuh beberapa;
7.      Ambeng (tempat nasi dari batang daun pisang dan ditusuk dengan bambu) yang diatasnya ada nasi putih, sambal goreng, dan rempeyek;
8.      Sego brok (nasi brok) dengan diatasnya ditaruh sambal goreng dan rempeyek.
Setelah semuanya sudah dipersiapkan, maka dapat dilaksanakanlah acara ritual selametan yang sesuai dengan tujuan niat yang ingin disampaikan.














BAB 3. PENUTUP
3.1 Simpulan
Slametan Bagi masyarakat Jawa adalah ritualitas sebagai wujud pengabdian dan ketulusan penyembahan kepada Allah, sebagian diwujudkan dalam bentuk simbol-simbolritual yang memiliki kandungan makna mendalam. Simbol-simbol ritual merupakan ekspresi atau pengejawantahan dari penghayatan dan pemahaman akan “Realitas yang tak terjangkau”, sehingga menjadi “yang sangat dekat”. Dengan simbol-simbol ritual tersebut terasa bahwa Allah selalu hadir dan selalu terlibat.
Bulan Suro, merupakan salah satu nama bulan dalam sistem penanggalan di Jawa, nama Suro sendiri diadopsi dari kata Asura yang menunjukkan hari ke 10 bulan Muharam tahun hijriyah.
Adapun bulan Muharram dikenal dengan istilah  Bulan Suro, asal usulnya berasal dari  tradisi primbon Jawa.  Konon kata suro diadopsi dari ‘asyuro ( hari kesepuluh menurut tradisi Yahudi). Bulan suro juga  dikenal sebagai bulan keramat, keramat diambil dari kata karomah (kemuliaan ) akan tetapi ternyata diterjemahkan berbeda. Bulan karomah (yg dimuliakan) menjadi istilah keramat, akhirnya muncul ketakutan sebagai bulan sial dan petaka.
Dalam pandangan masyarakat Jawa khususnya pada sebagian daerah di Kabupaten Banyuwangi terhadap bayi/ anak yang lahir apda bulan Suro adalah merupakan anak yang istimewa dan memiliki erat hubungan dengan Kanjeng Ratu Kidul, sehingga rentan untuk dipelihara oleh Kanjeng Ratu Kidul. Dan hal tersebut menimbulkan kekhawatiran yang cukup besar bagi orang tua yang memiliki anak yang lahir pada bulan Suro, sehingga dari hal tersebut dibuatlah acara ritual khusus untuk menanggulangi kejadian yang tidak diinginkan.
Memang pada dasarnya ritual yang dilakukan untuk semua anak/ kelahiran bayi sama saja pada umumnya untuk masyarakat Jawa. Begitu juga dengan anak/ bayi yang lahir pada Bulan Suro juga mendapatkan perlakuan dasar sama seperti anak/bayi pada umumnya di Jawa. Namun ada yang membedakan dari hal tersebut adalah tambahan ritual yang lebih atau khusus terhadap bayi/anak yang lahir pada bulan Suro tersebut.
Ritual yang menjadi tambahanya adalah ritual selametan dengan berbagai simbol-simbol hidangan, ritual tersebut dikerjakan setiap pengulangan nepton-nya tiba, yaitu pada salah satu hari dalam satu bulan Suro. Uniknya ritual selametan ini tidak hanya dilakukan satu kali saja, melainkan dikerjakan selama 7 kali atau tujuh tahun setiap memperingati nepton-nya, disamping acara-acara lain yang diberikan untuk bayi/ anak pada umumnya.
3.2 Saran
Sebagai suatu kebudayaan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, suatu bentuk manifestasi penghormatan terhadap sang pencipta, hendaknya perlu diambil kebaikanya dan dijaga supaya tidak terjadi suatu kepunahan ataupun suatu hal yang tidak diinginkan, tentusaja masih dalam koridor jalan yang baik dan benar.
Suatu kearifan lokal, pasti dibaliknya memiliki suatu pengajaran yang begitu baik. Seperti yang terurai pada materi, dari hal tersebut dapat diambil suatu kebaikan mulai dari usaha untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta ataupun menjaga keadaan kehidupan dengan sesasama mahluk ciptaan Allah SWT.
Sudah merupakan suatu keharusan apabila dalam melaksanakan kehidupan dapat mengupayakan manakah hal yang benar dan manakah hal yang tidak benar. Serta manakah yang perlu diikuti dan manakah yang harus ditingga, semua itu merupakan tergantung persepsi masing-masing pribadi dalam menyikapinya. Oleh karena itu tetap berpikir positif dan melakukan semua hal dengan positif, supaya dampak/ hasil yang diperoleh adalah hasil yang selalu sesuai dengan yang diharapkan.



DAFTAR PUSTAKA
Sholikhin, Muhammad. 2010.Kanjeng Ratu Kidul dalam Perspektif Islam Jawa. Jakarta: Narasi.
Sholikhin, Muhammad. 2010. Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa. Jakarta: Narasi.
.......... 2011. Makna Bulan Suro dalam Masyarakat Jawa. http:// MAKNA BULAN SURO DALAM MASYARAKAT JAWA _ Remaja Kerokhanian Sapta Darma Sragen.htm. [20 Mei 2015].
Cantiyas, Fitri. 2012. Upacara Adat Jawa-Kelahiran Manusia. http://fitricahcilik.blogspot.com/2012/01/upacara-adat-jawa-kelahiran-manusia.html. [22 Maret 2015].
Ermawati, Dwi. .......... Tradisi Slametan dalam Masyarakat Jawa. http:// a my Blog _ Yuk bareng-bareng.. _ Bac.htm. [20 Maret 2015].
Fatimah, Siti. 2014. Kebudayaan Selamatan Untuk Meningkatkan Kekeluargaan di Lingkungan Masyarakat. http://www. Siti Fatimah.htm. [20 Maret 2015].
http://kbbi.web.id/lahir. [22 Maret 2015].
Lc. Halimah. 2012. Makna Bulan Muharam, ’Ashuro’, dan Bulan Suro. http:// Makna Bulan Muharam, ‘Asyuro’ dan Bulan Suro. _ Salimah.htm. [20 Maret 2015]. 






Lampiran 1
·         Gambar Kenduri Selametan
·         Gambar kenduri yang sudah dibagi


[1] Ermawati, Dwi. .......... Tradisi Slametan dalam Masyarakat Jawa. http:// a my Blog _ Yuk bareng-bareng.. _ Bac.htm. [20 Maret 2015].
[2] Fatimah, Siti. 2014. Kebudayaan Selamatan Untuk Meningkatkan Kekeluargaan di Lingkungan Masyarakat. http://www. Siti Fatimah.htm. [20 Maret 2015].
[3] Lc. Halimah. 2012. Makna Bulan Muharam, ’Ashuro’, dan Bulan Suro. http:// Makna Bulan Muharam, ‘Asyuro’ dan Bulan Suro. _ Salimah.htm. [20 Maret 2015]. 
[4] .......... 2011. Makna Bulan Suro dalam Masyarakat Jawa. http:// MAKNA BULAN SURO DALAM MASYARAKAT JAWA _ Remaja Kerokhanian Sapta Darma Sragen.htm. [20 Mei 2015].
[5] Sholikhin, Muhammad. 2010. Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa. Jakarta: PT. Suka Buku Kita. Hlm. 22-30.
[6] http://kbbi.web.id/lahir. [22 Maret 2015].
[7] Cantiyas, Fitri. 2012. Upacara Adat Jawa-Kelahiran Manusia. http://fitricahcilik.blogspot.com/2012/01/upacara-adat-jawa-kelahiran-manusia.html. [22 Maret 2015].
[8] Sholikhin, Muhammad. 2010.Kanjeng Ratu Kidul dalam Perspektif Islam Jawa. Jakarta: Narasi. Hlm. 16-17. 
[9] Sholikhin, Muhammad. 2010. Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa. Jakarta: PT. Suka Buku Kita. Hlm. 59-60.

0 komentar:

Posting Komentar

Unordered List

Sample Text

Sample text

Total Tayangan Halaman

Social Icons

Blogger templates

Feature (Side)

Blogger news

Pages

AD (728x90)

Diberdayakan oleh Blogger.

Wikipedia

Hasil penelusuran

Pengikut

Featured Posts

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget