Rabu, 03 Juni 2015

Konflik Berkepanjangan dalam Pergolakan di Ethiopia



 
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pergolakan merupakan suatu keadaan yang tidak tenang, tidak kondusif, terjadi kekeruhan suasana sehingga tidak terkendali seperti yang diinginkan. Dalam pendapat awam, pergolakan lebih diidentikkan kepada suatu keadaan huru-hara atau terjadi pertikaian fisik yang tidak terkendalikan untuk suatu alasan.
Dalam membahas suatu kasus pergolakan, memang perlu menggunakan berbagai teropong sudut pandang akan pergolakan yang terjadi, sehingga dapat dimunculkan esensi dan realitas dari pergolakan.
Negara Ethiopia merupakan salah satu negara benua Afrika yang berada di daerah Timur benua, yang menjadi sosorotan dengan gejolak pergolakan yang terjadi pada negara tersebut. Meskipun dalam perjalananya, negara Ethiopia merupakan negara yang masih merdeka dengan saat yang sama daerah-daerah lain di Afrika telah berada di tangan bangsa Eropa.
Runtutan konflik yang terjadi di Etiopia, merupakan suatu alur cerita yang sambung-menyambung. Dikatakan demikian karena permasalahan yang timbul dan yang diatasi bukanlah dalam satu periode waktu saja, melainkan permasalahn yang menimbulkan efek berkepanjangan, terutama mengenai wilayah.
Dalam masa kolonial, dengan segala perjuangan dan tekanan dari penguasa barat di daerah sekitar Ethiopia, akhirnya berimbas pada daerah Ethiopia. Yang tadinya tidak termasuk kawasan jajahan, dalam selang beberapa tahun dalam dalam beberapa waktu Ethiopia berada di bawah kekuasaan barat. Namun tidak lama kemudian Ethiopia mendapatkan kebebasanya kembali dengan berbagai campur tangan bangsa barat.
Dengan keadaan bebas, bukan berarti keadaan etiopia terus kondusif. Melainkan memunculkan kondisi gejolak baru dengan wujud pergolakan diantara Ethiopia dengan daerah-daerah sekitarnya, yang memang sebelunya terbagi secara sepihak oleh bangsa barat.
Oleh karena itu, perlu adanya suatu pembahasan lebih mendalam akan gejolak pergolakan yang ada di Ethiopia. Sehingga dapat dipahami lebih jauh akan kasus berkepanjangan yang terjadi di Ethiopia.


1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang ada, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1)      Apa yang dimaksud dengan pergolakan?
2)      Bagaimanakah negara Ethiopia?
3)      Apa yang melatar belakangi terjadinya pergolakan di Ethiopia?
4)      Bagaimana proses pergolakan di Ethiopia terjadi?
5)      Bagaimana akhir dari pergolakan di etiopia dan dampaknya?

1.3  Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1)      Mengetahui dan memahami dengan apa yang dimaksud dengan pergolakan;
2)      Mengetahui dan memahami mengenai Ethiopia dan posisinya dalam kawasan Tanduk Afrika;
3)      Mengetahui dan memahami latar belakang dari pergolakan yang terjadi di Etiophia;
4)      Mengetahui dan memahami proses dari pergolakan kyang terjadi di Ethiopia;
5)      Mengetahui dan memahami akhir dan dampak dari pergolakan yang terjadi di Ethiopia.
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka manfaat dari pembuatan makalah ini adalah:
1)      Dapat mengetahui dan memahami lebih jauh akan pengertian pergolakan;
2)      Dapat mengetahui dan memahami lebih jauh akan negara Ethiopia serta posisinya di Tanduk Afrika;
3)      Dapat mengetahui dan memahami lebih jauh mengenai latar belakang dari terjadinya pergolakan di Ethiopia;
4)      Dapat mengetahui dan memahami lebih jauh mengenai proses dari pergolakan yang ada di Ethiopia;
5)      Dapat mengetahui dan memahami lebih jauh mengenai akhir dan dampak dari pergolakan di Ethiopia.














BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pergolakan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pergolakan diartikan sebagai keadaan tidak tenang, kekeruhan di lapangan politik, huru-hara, dan lain sebagainya[1]
Dari artian tersebut dapat diuraikan bahwa yang dinamakan suatu keadaan bergolak, merupakan suatu keadaan yang tidak kondusif atau tidak dapat dikendalikan untuk suatu perdamian. Dalam keadaan yang bergolak dapat disebabkan oleh berbagai faktor, sesuai dengan wujud manifestasi dari pergolakan itu sendiri.
Pada intinya pergolakan merupakan suatu keadaan yang tidak tenang, tidak kondusif, terjadi kekeruhan suasana sehingga tidak terkendali seperti yang diinginkan. Dalam pendapat awam, pergolakan lebih diidentikkan kepada suatu keadaan huru-hara atau terjadi pertikaian fisik yang tidak terkendalikan untuk suatu alasan.
2.2 Negara Ethiopia
Republik Demokratik Federal Etiopia atau Etiopia adalah sebuah negara yang terletak di Afrika. Etiopia mempunyai salah satu sejarah terlengkap sebagai negara merdeka di benua tersebut. Merupakan negara tertua di dunia, kawasan Etiopia juga merupakan salah satu tempat peradaban yang terawal di dunia. Pemerintahan Etiopia pertama dibentuk sekitar tahun 980 SM dan menerima agama Kristen pada abad ke-4 M. Negara ini cukup unik jika dibandingkan dengan negara-negara Afrika lainnya karena tidak pernah dijajah selama masa Perebutan Afrika, dan terus merdeka hingga tahun 1936, saat pasukan Italia menguasai negara tersebut. Pasukan-pasukan Britania Raya dan Etiopia mengalahkan tentara Italia pada 1941, dan Etiopia memperoleh kembali kedaulatannya setelah menanda tangani Perjanjian Britania-Etiopia pada Desember 1944. Etiopia dulu pernah bernama Abisinia. Dan Ethiopia berada di daerah yang dikenal sebagai Tanduk Afrika.
Saat ini Etiopia merupakan negara berbentuk republik dan mengambil bagian secara aktif dalam aktivitas-aktivitas kerjasama internasional. Ibukotanya, Addis Ababa merupakan pusat administrasi Kesatuan Afrika (AU).
Nama "Etiopia" konon berasal dari "Ityopp'is", yaitu nama anak cucu Ham, pembentuk kota Aksum. Nama lama "Abbesinia" atau "Habsyah" berasal dari kelompok suku Habesha, yaitu kaum yang mendiami kawasan Etiopia sejak tahun 3000 SM.[2]
Kaisar terakhir Ethiopia adalah Haile Selassie I. Dia digulingkan pada tahun 1974 dalam sebuah kudeta militer yang dipimpin oleh perwira tentara komunis. Tahun berikutnya, raja berusia 83 tahun itu dibunuh atas perintah penguasa baru. Rezim ini memerintah Ethiopia dengan tangan besi sampai tahun 1991, ketika digulingkan oleh pasukan pemberontak. Sejak saat itu, para pemimpin Ethiopia harus berhadapan dengan negerinya yang hancur oleh kelaparan, perang saudara, dan hilangnya wilayah utara, Eritrea.
·         Letak Geografi Ethiopia
Ethiopia terletak di belahan Afrika Bagian Timur (Tanduk Afrika). Letak Geografis dan Penduduk Ethiopia berbatasan dengan Somalia, Kenya, Sudan, Eritrea dan Djibouti, dengan luas wilayah 1.127.127 km2.[3]
·         Penduduk
Medan Ethiopia yang sangat kasar telah mengisolasi banyak orang dan seringkali malah melestarikan cara hidup dan bahasa kuno mereka. Ada tiga kelompok utama di Ethiopia, yakni orang Oromo, Amhara, dan Tigray. Nenek moyang orang Amhara dan Tigray berasal dari Arab selatan. Mereka umumnya berkulit gelap dan berpostur ramping. Mereka mendiami bagian utara negara itu. Ada juga sejumlah orang berkulit hitam Nilotik dan nomaden Somalia. Orang Somalia hidup terutama di wilayah Ogaden di tenggara Ethiopia.
Selama berabad-abad, keluarga penguasa Ethiopia berasal dari suku Amhara. Sampai tahun 1974, bahasa Amhar adalah bahasa resmi Ethiopia. Saat ini, bahasa utama Ethiopia selain Amhar adalah bahasa Tigrinya, Gallinya, dan Arab. Bahasa Amhar berasal dari bahasa Semit kuno yang disebut Ge’ez dan digunakan dalam peribadatan Gereja Ortodoks Ethiopia.
Sekitar 45 persen dari penduduk Ethiopia adalah orang Kristen, dan sekitar 45 persennya Muslim. Sebagian besar sisanya mengikuti keyakinan agama tradisional Afrika kuno. Ada segelintir orang Yahudi Ethiopia (kadang-kadang disebut Falasha) di negara itu sampai tahun 1991, ketika 17.000 orang terakhir diungsikan ke Israel.
·         Iklim dan Sumber Daya Alam
Iklim Ethiopia bervariasi menurut elevasinya. Dataran rendah sangat panas, dengan suhu sekitar 50 °C sering terjadi di sepanjang pantai Laut Merah. Namun, dataran tinggi tengah memiliki iklim moderat. Kebanyakan hujan turun antara bulan Juni dan September. Tapi hujan tidak menentu dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 1992-1993, Ethiopia menderita kekeringan terburuk sepanjang abad ini.
Beberapa sumber daya mineral telah ditemukan dalam berbagai jumlah, meskipun Ethiopia diyakini memiliki simpanan mineral yang belum dimanfaatkan. Ada cadangan kecil platinum dan kalium (digunakan dalam pembuatan pupuk). Beberapa emas juga ditambang di sini. Hutan, yang pernah menutupi lebih dari seperempat wilayah Ethiopia, telah jauh berkurang. Hilangnya kawasan hutan, bersama dengan praktek penebangan pohon untuk bahan bakar, telah menyebabkan erosi tanah yang luas.
·         Ekonomi
a.       Pertanian
Pertanian telah lama menjadi dasar ekonomi Ethiopia. Tanaman komersial yang paling penting adalah kopi, yang menyumbang 60 persen dari pendapatan ekspor. Kata “coffee,” pada kenyataannya, diduga berasal dari Kaffa, wilayah di barat daya Ethiopia di mana sebagian besar kopi nasional diproduksi. Tanaman pangan utama meliputi teff, barley, jagung, sorgum, kacang polong, kacang-kacangan, lentil, dan minyak biji. Teff adalah biji-bijian sereal yang menjadi bahan pembuatan injera. Tebu dan buah-buahan tropis tumbuh di dataran rendah.
b.      Industri dan Transportasi
Pengolahan produk pertanian adalah industri utama Ethiopia. Industri pengolahan hasil ternak meliputi daging kalengan, kulit, dan alas kaki dari kulit. Produk industri lainnya antara lain tekstil, semen, pulp kayu, dan barang pecah belah.
Kebanyakan orang tinggal jauh dari jalanan dan biasanya melakukan perjalanan dengan berjalan kaki. Di daerah pedesaan, keledai merupakan sarana transportasi penting. Ethiopia memiliki dua jalur rel kereta api utama. Ethiopian Airlines terbang ke negara-negara tetangga serta ke Eropa dan Asia.
·         Bentuk Pemerintahan
Sampai tahun 1974, Ethiopia adalah sebuah monarki konstitusional. Meski demikian, kekuatan politik yang nyata ada di tangan kaisar, yang memerintah dengan otoritas hampir mutlak. Setelah revolusi yang menggulingkan monarki, konstitusi baru yang diadopsi pada tahun 1987, secara resmi mendirikan bentuk pemerintahan Komunis dengan partai politik tunggal, yakni Partai Buruh Ethiopia. Pemerintah Komunis itu sendiri digulingkan pada tahun 1991.
Sebuah pemerintahan transisi (sementara) dibentuk oleh Front Demokratik Revolusioner Rakyat Ethiopia (EPRDF), sebuah aliansi dari banyak kelompok politik tetapi didominasi oleh Front Pembebasan Rakyat Tigre (TPLF). Pemerintah transisi terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat, yang 87 anggotanya mewakili banyak kelompok etnis dan politik yang berbeda. Dewan itu memilih presiden, yang pada gilirannya menunjuk perdana menteri.
Pada tahun 1994, pemilu diadakan untuk memilih majelis konstituante, dan EPRDF memenangkan sebagian besar kursi. Tapi tidak semua partai oposisi berpartisipasi. Majelis menyetujui konstitusi baru, yang dibuat untuk jenis pemerintahan federal dan membagi Ethiopia menjadi sembilan negara bagian. Di bawah konstitusi itu, negara bagian memiliki pemerintahan sendiri dan hak untuk memisahkan diri dari Ethiopia, jika mereka ingin. Pemilihan pertama untuk memilih dewan legislatif baru, Majelis Nasional, diadakan pada tahun 1995.[4]

2.3 Penyebab Pergolakan di Ethiopia
2.3.1 Hubungan Ethiopia dengan Bangsa Eropa
Mengenai latar belakang terjadinya gejolak di Ethiopia, apabila ditelusuri ke belakang sangaatlah tidak terlepas atas apa yang terjadi antara Ethiopia dengan bangsa-bangsa Eropa yang pada saat itu memang mencita-citakan kekuasaan seluas-luasnya di Afrika. Mengenai kasus afrika, negara Eropa yang paling menonjol kaitanya adalah Italia, dengan beberapa negara eropa lainya yang berkuasa disekitar kawasan Ethiopia.
·         Kegiatan Italia di Afrika sampai Perang Dunia I
Walaupun Italia telah dapat dipersatukan pada 1870, namun Italia tidak tergolong negara terkemuka. Letak geografisnya, kekayaan alam yang berupa tambang-tambang dan perkembangan kapitalisme yang lemah menyebabkan negeri tersebut tidak menyamai perkembangan negara-negara besar di Eropa Barat.
Sesudah kekalahan Italia dalam pertempuran Adua (1896) melawan Ethiopia. Fernando Martini, seorang politikus dari Toskane mengutarakan masalah “Imperialisme of the Have Nots” (1897) dalam bukunya Cose Africane atau Concerning Africa. Martini mendukung politik imigrasi penduduk koloni-koloni Italia.
Kepadatan penduduk yang sangat cepat mengakibatkan ratusan ribu penduduk berimigrasi ke negeri lain, terutama ke Amerika Serikat. Jika hal ini terus berlangsung, akan membahyakan hari depan politik dan ekonomi Italia. Sebab memang benar bahwa orang orang yang berimigrasi itu menyebarluaskan peradaban. Bahasa dan prestise Italia, tetapi mereka hanya akan menambah jumlah bangsa-bangsa lain, karena anak cucunya akan lupa terhadap bahasa dan peradaban orang tua dan nenek moyangnya. Oleh sebab itu maka jumlah penduduk yang berlebihan itu ditampung di koloni-koloni yang langsung diawasi oleh negeri induk, maka bahaya yang mengancam politik dan ekonomi hari depan dapat diatasi.
Sebelum Perang Dunia I berkobar, koloni Italia di Afrika meliputi daerah Libia, Eritrea dan tanah Somali. Luas seluruhnya 700.000 mil persegi, berarti enam kali luas negara metropole. Pada 1912 daerah tersebut menjadi milik Italia dan pada 1913 Italia memperluas koloni tersebut makin kepedalaman. Dalam Perang Dunia I Italia tidak hanya mempertahankan wilayahnya di Afrika tetapi ia berusaha untuk memperluasnya. Oleh sebab itu Italia menerima tawaran Inggris untuk menggabung pada sekutu.
Apa yang dilakukan oleh sekutu dalam perjanjian di London, tidak semuanya dipenuhi. Tambahan daerah yang diterima pada 1919 hanya sedikit sekali dan dari Prancis mendapat daerah oase Ghadames dan Ghat; Inggris tidak keberatan apabila Italia menduduki osase Kufra dan sekitarnya, tempat pusat gerakan Sanusi.
Sesudah Perang Dunia I berakhir, Italia sangat kecewa terhadap keputusan-keputusan perdamaian berhubung:
a.       Harapannya memperoleh daerah-daerah di Afrika bekas koloni Jerman tidak terpenuhi; bekas koloni Jerman dijadikan daerah mandate dan yang ditunjuk sebagai mandataris adalah Inggris, Prancis, Belgia dan Uni Afrika Selatan;
b.      Harapan memperoleh kembali daeerah-daerah Italia Irredenta dibawah kekuasaan Inggris, Perancis dan Austria: Tessano, Savoya, Corsica dan Malta tidak tercapai;
c.       Harapan untuk mendapatkan tambahan daerah di Asia Kecil tidak terpenuhi.
Dengan demikian Italia satu-satunya negara imperialis yang selama Perang Dunia I berlangsung berusaha melakuakan ekspansi, terutama di Afrika mengalami kegagalan.
·         Ekspansi Fasis Italia Di Afrika dan Ethiopia
Ambisi memperluas daerah koloni timbul lagi sesudah Italia dikuasai oleh kaum fasis. dalam usaha merebut supremasi di Laut Tengah, Tunis menjadi daerah rebutan. Seakan-akan pertentangan Kartago dengan Roma pada zaman kuno itu timbul kembali yang tujuannya juga untuk merebut supremasi di Laut Tengah.
Hasil yang dicapai oleh pemerintah Mussolini dihubungkan dengan politik imperialismnya adalah:
a.       Menduduki oase Kufra, pusat kedudukan tentara Sanusi (1931);
b.      Menduduki Ethiopia (1936) dan Raja Italia Victor Emanuel III dinobatkan menjadi kaisar Ethiopia;
c.       Albania digabungkan pada Italia, merupakan Uni personil; Raja Victor Emmanuel III menjadi raja Albania di samping Raja Italia (1939); dengan ini Laut Adriatik dapat dikuasai.
Pada waktu Ethiopia diserbu oleh Italia (1953), penguasa negeri tersebut adalah Kaisar Haile Selassie I, yang menggantikan Empress Zaiditu pada 1930. Ia memodernisasikan negerinya dengan cara memberikan konstitusi tertulis dan Parlemen yang terdiri atas dua kamar, ditambah dengan badan Pertimbangan dan angkatan perangnya di perluas.pada waktu itu ia menggunakan pengaruhnya yang besar untuk mengatur kembali negerinya, membangun sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit dan mengirim putera-putera Ethiopia masuk sebagai anggota Lembanga Bangsa-Bangsa. Pada 1924 ia berjasa dapat menghapus perbudakan.
Pada 1902 Inggris mendapat janji dari Ethiopia bahwa tidak ada negeri lain yang akan menggunakan air danau Tana. Untuk Inggris danau Tana sangat pentinga artinya, sebab dari danau tersebut mengalirlah salah satu sumber sungai Bil Biru yang dipergunakan untuk mengairi perkebunan kapas di Sudan.
Pada 1906 tercapai penjanjian antara Inggris-Prancis-Italia, yang berisi bahwa tiada satu negara ntersebut dapat melakukan tindakan atas Ethiopia tanpa pengetahuan atau persetujuan dua negara lainnya.
Pada 1919 janji yang diberika Sekutu kepada Italia dalam perjanjian rahasia di London (1915), pelaksanaannya tidak memenuhi kehendak Italia, terutama pasal yang menyangkut tambahan daerah di Afrika. Di terangkan bahwa Italia akan mendapat kompensasi terutama dalam hubungan penentuan batas-batas koloni Italia Eritrea, Somali, dan Libia dengan daerah-daerah koloni Inggris dan Prancis yang ada disekitarnya. Sebagai ganti atas kekecewaan itu, pada 1919 Italia mengusulkan supaya ia diberi kompensasi yang menyangkut Ethiopia. Karena bendungan Kindaruma di Danau Tana akan menjadi milik Inggris, Italia bersedia membantu rencana-rencana Inggris di Ethiopia, misalnya dalam permintaan kepada Negus untuk membuat jalan raya dari Danau Tana ke Sudan. Sebaliknya Inggris akan membantu Italia dalam permintaan yang diajukan kepada Negus untuk mendirikan jalan kereta api dari Eritrea ke Somali Italia melalui daerah Ethiopia. Dengan ini seakan-akan berlaku lagi daerah pengaruh Italian di Ethiopia berdasarkan perjanjian Inggris-Italia.
Pada 1928 masih dapat dicapai perjanjian yang sifatnya bersahabat antara Italia dan Ethiopia, berisi perluasan perkembangan ekonomi baik untuk Ethiopia maupun Eritrea dengan mendirikan jalan raya yang menghubungkan Dessi, ibukota provinsi Wollo di Ethiopia, dengan Assab, kota di Eritrea yang terletak di pantai laut Merah.
Pada 1934 Italia tidak senang melihat tindakan Haile Selassie yang memodernisasi negerinya dan memperluas angkatan perangnya. Padahal tindakan kaisar Ethiopia itu adalah sebagai reaksi terhadap perluasan pertahanan yang dilakukan oleh Italia di Somali dan Eritea.
Bagi Italia, Ethiopia akan dijadikan sumber bahan mentah yang akan memperkaya Italia, sumber bahan pangan bagi Italia dan sumber tenaga manusia untuk fasis Italia. Bagi Italia pasal yang berbunyi “memberikan kebebasan bertindak terhadap Ethiopia” sangat penting, karena Italia mengetahui bahwa Kaisar Haile Selassie merintangi terlaksananya perjanjian 1928. Maka hanya dengan perang, Ethiopia akan menjadi koloni Italia.
Pada 1935 diadakan pengadilan mengenai insiden Walwal. Kaisar Haile Selassie bersedia memegang teguh perjanjian Italia-Ethiopia (1925). Italia mula-mula setuju, tetapi kemudian atas saran Lembaga Bangsa-Bangsa wakil-wakil Prancis. Inggris dan Italia supaya berbanding untuk memperoleh suatu penyelesaian bagi seluruh masalah Ethiopia. Ketiga penguasa tersebut yang masing-masing mempunyai daerah sekitar Ethiopia, menghendaki agar Ethiopia dibagi menjadi daerah pengaruh mereka. Tetapi Perancis yang terikat oleh pakta 1935, lalu menganjurkan agar Haile Selassie memberi konsesi ekonomi yang banyak kepada Italia. Inggris dapat menyetujui, tetapi Italia menolak  karena Mussolini menghendaki menganeksasi Ethiopia.
Sementara Lembaga Bangsa-Bangsa sedang sibuk mencari penyelesaian tentang masalah Ethiopia (Oktober 1935), tentara Italia dengan perlengkapan modern menyerbu Ethiopia dari jurusan utara, timur, dan selatan. Sesudah Ethiopia diduduki (1936), Kaisar Selassie melarikan diri ke London dan mengajukan protes kepada Lembaga Bangsa-Bangsa mengenai agresi Italia terhadap negerinya.
Pada  1936-1942 Ethiopia kehilangan kemerdekaannya. Victor Emmanuel III diangkat menjadi kaisar Ethiopia. Pada 1936 dibentuk Afrika Timur Italia meliputi Ethiopia, Somali Italia dan Eritrea. Untuk dapat mengambil hasil kekayaan alam Ethiopia, Italia membuat “rencana 6 tahun”. Barang-barang yang diharapkan ialah bahan-bahan mentah seperti kapas, wool dan bahan pangan seperti gandum disamping hasil pertambangan. Dari tambang-tambang besi dan batu bara akan diusahakan untuk membuat pabrik baja, jalan-jalan kereta api, meriam dan senjata api.
Tetapi sesudah 1,5 tahun “rencana” tersebut dijalankan, hasil yang diimpi-impikan belum dapat di petik, karena adanya sangsi-sangsi dari Lembaga Bangsa-Bangsa dan perlawanan rakyat Ethiopia yang masih terus dilanjutkan. Karena kekurangan modal, banyak tambang-tambang yang kaya tidak dapat dieksploitir menurut rencana.
Setelah Italia menduduki Ethiopia, politik luar negerinya berubah. Italia makin menjauhi bekas sekutunya dan mendekati Jerman. Hal ini disebabkan karena Jerman tidak ikut menjalankan sangsi Lembaga Bangsa-Bangsa terhadap Italia. Di samping itu Jerman juga mengakui kekuasaan Italia di Ethiopia.[5]
2.3.2 Latar Belakang Pergolakan di Ethiopia
Dari penjelasan sebelumnya mengenai hubungan Ethiopia dengan bangsa barat begitu memberikan pengaruh mengenai latar belakang pergolakan yang terjadi di Etiopia nantinya. Dan berikut uraian beberapa hal yang melatar belakangi terjadinya pergolakan di Ethiopia:
1)      Pembagian wilayah di daerah-daerah Afrika yang sepihak oleh bangsa Eropa pada Kongres Berlin II, yang akhirnya membawa asumsi batas wilayah sampai setelah masa kolonial;
2)      Ekspansi wilayah kekuasaan tanah jajahan bangsa-bangsa Eropa pada masa kolonial yang menciptakanya kericuhan fisik atau peperangan yang berujung pada permainan politik negara-negara Eropa dengan berbagai tujuanya masing-masing;
3)      Demi tercapainya sepakat antara negara-negara Eropa mengenai batas wilayah jajahan dan pengaruhnya di Afrika, terjdilah perjanjian-perjanjian mengenai kekuasaan baik yang diperebutkan ataupun diberikan. Dan hal ini dibiarkan bangsa Eropa dalam konflik terbuka sepeninggalnya dari Benua Afrika;
4)      Dengan keadaan yang tidak pasti akan batas wilayah negara setelah kepergian Bangsa Eropa dari Afrika khususnya di Ethiopia dan sekitarnya, masing-masing pemimpin wilayah menginginkan perluasan wilayah negara dengan saling memperebutkan daerah-daerah dan menggunakan upaya kekerasan, sehingga menimbulkan pergolakan.

2.4 Proses Pergolakan di Ethiopia
2.4.1 Ethiopia Sebelum Terjadinya Pergolakan (Masa Kolonial Eropa)
Pada sekitar 1875 barulah 10.8% dari daerah Afrika berada di bawah kekuasaan atau pengaruh bangsa barat. Belgia, Jerman dan Italia belum ikut bicara dalam masalah Afrika. Pada waktu itu daerah di Afrika seluas 1.250.000 mil persegi adalah milik Spanyol, Prancis, dan Inggris. Sebagian besar daerah Sahara meliputi daerah seluas 40.000.000 sampai 50.000.000 mil persegi berada di bawah kekuasaan Islam dan daerah di sepanjang pantai timur dikuasai oleh Sultan Zanzibar. Di luar daerah-daerah tersebut yang terasing didiami oleh penduduk bumiputra.
Perhatian bangsa barat terhadap Afrika menjadi bertambah besar sesudah rahasia kekayaan alam benua “gelap” itu dibuka oleh penjelajah-penjelajah terkemuka. Dalam usaha memperluas tanah jajahan di Afrika, para pedagang dan penjelajah memegang peranan yang sangat penting. Kongres Berlin II (1885) adalah sidang yang pertama-tama merundingkan soal Afrika di antara negara-negara barat. Yang hadir pada kongres tersebut adalah semua benua Eropa, selain Swiss dan negara-negara Balkan, ditambah Amerika Serikat. Kongres tersebut berakhir dengan pembagian Benua Afrika oleh orang-orang Eropa secara sepihak. Namun persaiangan antar negara Eropa di Afrika tidak bisa dihindarkan, meskipun tidak sampai peperangan, dan untuk mengatasi kesulitan tersebut dibuatlah berbagai macam perjanjian[6]. Salah satu perjanjian yang nantinya memiliki pengaruh yang begitu erat dengan Ethiopia adalah perjanjian Inggris, Italia, dan Portugal untuk menentukan tapal batas daerah jajahan masing-masing.
Pada abad ke-20 hampir semua bangsa barat yang memiliki kekuasaan di Afrika bercita-cita membentuk imperium di benua itu. Dengan diakhiri jatuhnya Libia ke tangan Italia, maka seluruh Afrika selain Liberia dan Ethiopia telah dikuasai oleh bangsa-bangsa barat[7].
Selama berabad-abad, Abessinia atau Ethiopia kurang lebih adalah suatu negara kesatuan, yang pusat politiknya telah berpindah antara bangsa Amharik Kristen dan bangsa Tigrean dan jangkauan kekuasannya sedikit banyak telah meluas, tergantung pada kekuatan kerajaan pusat dan kekuatan saingan-saingan seperti orang-orang Arab, Turki, Portugis, Mesir, dan terakhir negara-negara kolonial Eropa. Ethiopia adalah satu-satunya negara di Afrika yang berhasil mempertahankan kemerdekaannya dengan mengalahkan usaha Mesir untuk mengurungnya pada tahun-tahun 1870-an dan usaha Italia menaklukkannya pada tahun 1896.
Setelah itu ditandatangani perjanjian-perjanjian dengan Italia, Prancis, dan Inggris, untuk menentukan perbatasan-perbatasan dengan negara-negara ini. sebagai akibatnya Erthiopia terkurung daratan, sedangkan Italia menguasai Eritrea dan negara-negara Eropa membagi pantai Somalia antara mereka, sekalipun sementara ketentuan menjamin jalan ke laut bagi perdagangan Ethiopia. Meskipun menghilangkan kedaulatan Ethiopia atas beberapa daerah pantai dan beberapa bagian Eritrea, perjanjian itu juga mendatangkan keuntungan bagi Ethiopia, yaitu diakuinya kemerdekaan Ethiopia maupun ekspansinya ke selatan dalam rangka menangkis berbagi usaha penaklukan asing.
Setelah masa Italia berakhir, kedaulatan atas Ethiopia dikembalikan kepada Haile Selassie pada tahun 1941. Tetapi Inggris tetap menguasai beberapa wilayah Somali di selatan untuk beberapa tahun, sebelum menyerahkan kekuasaan ini kembali kepada Ethiopia dan secara demikian memulihkan pembatasan negara seperti ditetapkan oleh perjanjian terdahulu dan masih membiarkan penentuan perbatasan mereka terbuka terhadap beberapa penjelasan-penjelasan. Eritrea diperintah oleh Inggris sampai tahun 1952 ketika PBB memutuskan untuk menyatukannya dengan Ethiopia dalam suatu federasi, yang akhirnya membawa kepada aneksasi pada tahun 1962[8].
2.4.2 Terjadinya Pergolakan di Ethiopia
Sejarah baru Afrika penuh dengan sengketa perbatasan dan pemberontakan separatis. Organisasi Persatuan Afrika (OPA) kerapkali tidak mampu menyelesaikanya. Negara-negara asing melibatkan pasukan-pasukan dan penasihat-penasihat militer mereka, dan kadang-kadang kemerdekaan benua itu sendiri rupanya dalam taruhan.
Suatu pealihan yang mudah menuju suatu masyarakat post-kolonial yang merdeka, mantap, dan mampu untuk berkembang secara swadaya tidaklah mungkin bagi negara-negara baru Afrika.  Mengingat adanya masalah-masalah struktur dan kebudayaan yang diwarisi dari masa lampau, baik pra-kolonial maupun kolonial, yang mengherankan ialah perdamaian relatif yang berlangsung sejak proses menuju terbentuknya negara modern mulai menanjak pada pertengahan 1950-an. Peperangan dan tembak menembak memang terjadi sejak itu.[9]
Dalam situasi ini, dengan situasi sejalan di Eropa dan Asia, terus berlangsungnya intransigensi nasionalis rupanya akan mendatangkan konflik yang lebih buruk. Suatu kasus yang jelas sekarang ini, yaitu Etiopia, boleh jadi hanya merupakan tanda suatu kondisi umum. Kasusnya mungkin luar biasa karena Etiopia adalah suatu negara merdeka dan bukan koloni Eropa. Tetapi hakikat luar biasa Ethiopia itu menjadi berkurang akibat kenyataan bahwa sebagian besar perbatasan Ethiopia dibentuk dengan pengepungan imperialis. Kaisar Menelik mendapatkan wilayah Somali Ogoaden berdasarkan persetujuan pembagian dengan Italia dan Inggris, seperti Kaisat Haile Selassie menambahkan Eritea kepada diminionnya pada tahun 1962. Itu adalah tindakan-tindakan ekspansi kolinial. Kalau peraturan-peraturan yang sama diterapkan pada koloni-kolini Ethiopia juga harus menjadi sasaran dekolonisasi. Kiranya dapat diperkirakan bahwa tiada perdamaian di kawasan itu sebelum dilangsungkanya dekolonisasi.
Intervensi asing kadang-kadang dikemukakan sebagai suatu alasan penting mengapa konflik-konflik serupa itu tidak dapat disingkirkan dengan pemindahan kedaulatan antar Afrika atau dengan peleburan konfederal kedaulatan-kedaulatan. Tidak diragukan hal itu ada benarnya karena adalah jelas bahwa hanya intervensi asing telah mempertahankan aneksasi Ethiopia itu (berupa bantuan militer Amerika Serikat sampai 1976 atau bantuan Soviet dan kuba sesudah itu). Namun dalam kenyataan intervensi asing tidak akan dapt mencegah penyesuaian perbatasan-perbatasan warisan kolonial yang progresif kalua negara-negara Afrika yang bersangkutan bersedia atau bertekad untuk melakukanya. Suatu kecenderungan untuk menyalahkan orang-orang asing adalah inhern dalam kodrat kita, tetapi jarang merupakan suatu keterangan cukup untuk menolak apa yang menurut keadilan dan akal adalah bijaksana[10].
Berikut ini wujud pergolakan-pergolakan yang menyangkut Ethiopia didalamnya, antara lain:
1.      Persengketaan di Ogaden
Sengketa di Ogaden antara Ethiopia dan Somalia pada bulan Juni 1977 telah meningkat menjadi suatu peperangan yang akhirnya dimenangkan oleh Ethiopia berkat bantuan militer Uni Soviet dan Kuba. Akan tetapi sengketa itu berlangsung terus. Somalia tidak bersedia melepaskan klaimnya atas Ogaden dan para pejuang Front Pembebasan Somalia Barat meneruskan perjuangan mereka.
a.       Sengketa Ethiopia-Somalia
Dari bulan Juni sampai pertengahan Maret 1978 terjadi pertempuran di daerah Ogaden antara pasukan Ethiopia dan pasukan Front pembebasan Somalia Barat (WSLF) yang dibantu oleh pasukan Somalia. Pada bulan Desember 1977 90% lebih dari wilayah Ogaden dapat dikuasai oleh WSLF dan Somalia. Tetapi pada akhir bulan Januari 1978 situasinya berbalik, pasukan Ethiopia yang mendapat bantuan moral, personal, termasuk teknisi dan militer, serta senjata-senjata dari Uni Soviet, mendesak pasukan Somalia dan setapak demi setapak menguasai kembali daerah Ogaden.
Selama berkecamuknya perang di Ogaden itu timbul pendapat-pendapat yang bertentangan satu sama lain dan menyalahkan pihak-pihak yang berperang. Tetapi ditilik dari pertikaian-pertikaian yang kini masih berlangsung di Tanduk Afrika itu, pada hemat kami sedikit-sedikitnya ada tiga masalah pokok yang saling berkitan dan memperuncing konflik di wilayah tersebut. Masalah itu adalah persengketaan-persengketaan antara Ethiopia-Djibouti, terutama persengketaan antara Ethiopia dan Somalia; arti strategis kawasan itu baik sebagai jalur pelayaran perekonomian maupun pangkalan militer; dan campur tangan asing dalam konflik-konflik di kawasan itu.
Persengketaan antara Ethiopia dan Somalia berpangkal pada ambisi para pemimpin Somalia untuk merealisasi negara “Somalia Barat”, yang meliputi wilayah Somalia sekarang ini, Kenya Timur Laut, Ethiopia Timur (Somalia Barat= Ogaden) dan Djibouti. Wilayah-wilayah itu diklaim oleh Somalia, karena sebagian besar penduduknya sebangsa dengan rakyat Somalia. Dengan dalih membantu Front Pembebasan Somalia Barat, pada pertengahan tahun 1977 Somalia memberanikan diri untuk mengerahkan pasukannya ke daerah Ogaden. Tetapi tujuan utamanya adalah merealisasi ambisinya untuk membentuk Somalia Raya. Sebagai akibat intervensi Somalia ini bentrokan senjata antara Somalia dan Ethiopia tidak dapat dielakkan lagi.
Ditilik dari sebabnya, konflik ini merupakan kelanjutan dari pertentangan yang telah berlangsung sejak tahun 1960. Bila demikian halnya, maka persoalannya kembali ke kasus klasik, yakni warisan jaman kolonial di Afrika. Benih sengketa itu ditanam ketika Inggris membagi-bagi Afrika Timur menjadi bagian Ethiopia, Somalia dan Kenya tanpa memperhatikan macam suku bangsa yang tinggal di daerah-daerah tersebut. Sebagai akibat politik Inggris itu, pada tahun 1960 Somalia mengklaim Djibouti, Somalia Barat (Ogaden) dan Kenya Timur Laut, untuk merealisasi gagasan Somalia Raya. Persoalan ini akhirnya menjadi sumber pertentangan Somalia-Ethiopia, yang mengakibatkan terjadinya pertempuran sampai tahun 1964. Tetapi penyelesaiannya tidak kunjung datang juga.
Masalah yang menarik di sini adalah keberanian Somalia untuk menyerbu Ethiopia. Ditinjau dari jumlah penduduk maupun pasukan dan perlengkapanya, Somalia adalah jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan Ethiopia. Oleh sebab itu, Somalia tidak dapat disamakan dengan Israel yang telah begitu tinggi mutu tempurnya dan begitu mutakhir perlengkapan militernya. Sebagai bahan pertimbangan, menurut The Military Balance 1977-978 terbitan The International Institute for Strategic Studies tahun 1977 jumlah penduduk Ethiopia dewasa ini adalah sekitar 29.335.000 orang, sedangkan penduduk Somalia hanya 3.335.000 orang; dan seluruh tentara reguler (AD, AL, dan AU) Ethiopia meliputi 53.500 orang, sedangkan tentara Somalia hanya 31.500 orang. Kekacauan dalam negeri Ethiopia seperti pergolakan dalam tubuh DERG, pemberontakan yang sedang berlangsung di Eritrea, Gondar, Tigrasi dan Sidamo serta oposisi bawah tanah di kota-kota, merupakan salah satu sebab mengapa Somalia berani mengadakan intervensi ke Ogaden. Kekacauan itu memang sangat membantu intervensi Somalia, sehingga sampai kira-kira pertengahan Januari 1978 sebagian besar wilayah Ogaden dapat dikuasainya. Di samping itu, sikap Somalia yang menjauhi Uni Soviet dan mulai berpaling ke Barat diperkirakan merupakan usaha untuk mendapatkan bantuan, termasuk bantuan senjata, dari AS dan sekutu-sekutunya serta beberapa negara Arab yang moderat, yang diperlukan untuk mendukung intervensinya ke Ogaden. Tetapi bantuan senjata itu tidak kunjung datang, sedangkan bantuan besar-besaran dari beberapa negara komunis mengalir ke Ethiopia. Hal inilah yang merupakan faktor utama kekalahan Somalia di Ogaden. Besarnya bantuan negara-negara komunis dapat dilihatdata berikut ini: 400 tank buatan Uni Soviet, termasuk T-62, 60 pesawat tempur MIG-17, MIG-21 dan MIG-23, 7.000 sampai 8.000 tentara Uni Soviet dan 10.000 sampai 12.000 tentara Kubah kini berada di Ethiopia. Bahkan sumber-sumber dari medan pertempuran menyebutkan bahwa bekas penasihat pertama Uni Soviet di Somalia, Jenderal Gregori Gregorovich, kini juga berada di Ethiopia untuk ikut memimpin serangan balasan ke Ogaden. Juga Jenderal Vasily Ivanovich Petrov (Deputy Menteri Pertahanan Kuba) berada di Ethiopia untuk maksud yang sama. Demikian juga pada awal April 1978 jumlah tentara Kuba di Ethiopia terus meningkat dan diperkirakan mencapai 16.000 – 17.000 orang sedangkan bantuan Uni Soviet kepada Ethiopia telah mencapai U$$ 1 milyar. Menurut Bulletin Satuan Pembebasan Somalia, Danab, tanggal 18 April 1978, jumlah tentara Kubah di Ethiopia bahkan mencapai 37.000 orang.
2.      Perebutan Pengaruh di Djibouti
Djibouti, yang pada tanggal 27 Juni 1977 mendapat kemerdekaan dari Prancis, juga merupakan salah satu bahan sengketa antara Somalia dan Ethiopia. Djibouti merupakan salah satu wilayah yang diklaim oleh Somalia sebagai bagian Somalia Raya, yang sangat didambakan oleh para pemimpin Somalia. Di samping itu, dukungan penduduk Issa (suku terbesar di Djibouti yang masih sebangsa dengan rakyat Somalia) dan Front Pembebasan Pantai Somalia (FLCS), yang berusaha menyatukan dirinya dengan Somalia, merupakan salah satu dasar semakin meningkatnya usaha Somalia untuk memasukkan Djibouti ke dalam negara Somalia Raya.
Tetapi sebaliknya Djibouti juga sangat penting bagi Ethiopia; di samping ada kaitan historis, Djibouti merupakan satu satunya ujung jalur kereta api dari Addis Abeba, yang sangat penting bagi pengangkutan barang barang ekspor maupun impor Ethiopia. Serangan balasan Ethiopia ke Ogaden yang menyusur perbatasan Ethiopia Djibouti, rupanya merupakan usaha Ethiopia untuk mencegah terjadinya infiltrasi besar besaran pasukan Somalia ke Djibouti. Jadi bolehlah dikatakan bahwa keamanan dan perkembangan selanjutnya dari Djibouti sangat penting bagi perekonomian Ethiopia. Oleh sebab itu, Ethiopia sangat menentang keinginan Somalia untuk memasukkan Djibouti ke dalam wilayah Somalia Raya.
Keinginan para pemimpin Somalia untuk merealisasi gagasan Somalia Raya itu juga ditentang oleh pemerintah Djibouti yang berkat bantuan keamanan Prancis mampu membela kemerdekaannya.
3.      Masalah Eritrea
Masalah Eritrea adalah persengketaan antara pemerintah Ethiopia dan kaum nasionalis Eritrea. Karena negara ini mempunyai arti strategi yang penting berkat letaknya di tepi Laut Merah, maka sengketa itu mudah mengundang campur tangan asing yang membuatnya lebih kompleks.
a.       Arti Strategis Eritrea
Eritrea adalah suatu negeri di Afrika yang terletak di tepi laut Merah antara Sudan dan Djibouti yang pada tahun 1950 mendapat otonomi dari PBB, pada tahun 1952 digabung dengan kekaisaran Ethiopia sebagai negara bagian dan pada tahun 1962 dijadikan propinsi. Sebagaimana halnya dengan wilayah-wilayah di Tanduk Afrika, wilayah ini tidak subur dan miskin akan barang barang tambang. Tetapi bukan kekayaan daerah inilah yang menjadi alas an mengapa daerah yang kering dan miskin ini menjadi bahan sengketa yang mengobarkan suatu peperangan yang sekarang belum menampakkan tanda tanda kapan berakhir. Berkat letaknya di tepi Laut Merah Eritrea penting artinya bagi Ethiopia. Hanya melalui dan di wilayah inilah Ethiopia mempunyai jalan ke laut. Pelabuhan Massawa dan pulau pulau di sekitarnya sangat penting artinya bagi perkembangan Angkatan Laut dan perdagangan luar negerinya.
Di samping itu, meningkatnya persaingan antara AS dan Uni Soviet, terutama di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, meningkatkan arti penting wilayah tersebut, karena di pelabuhan pelabuhan Eritrea dan beberapa pulaunya dapat didirikan pangkalan pangkalan militer untuk mengawasi ataupun memonitor kapal kapal musuh  yang lewat Laut Merah. Karena arti strategis wilayah itu sengketa antara pemerintah Ethiopia dan para pejuang Eritrea mudah mengundang campur tangan asing baik secara langsung maupun tidak langsung.
b.      Persengketaan antara Ethiopia dan Eritrea
Perang di Eritrea antara pasukan pemerintah Ethiopia dan para pejuang Eritrea pada awal tahun 1978 belum menunjukkan tanda tanda akan berakhir. Perang itu mulai pada tahun 1962, ketika Parlemen Federal Ethiopia Eritrea mengesahkan usul Parlemen Eritrea untuk menghapuskan federasi Ethiopia Eritrea dan menjadikan Eritrea propinsi Ethiopia yang ke 14. Aneksasi Eritrea oleh Ethiopia itulah yang menjadi akar persengkataan yang kemudian menimbukan perang Eritrea.
Besarnya jumlah pasukan Ethiopia yang tewas, luka luka dan ditawan, serta besarnya jumlah pasukan sukarelawan Ethiopia yang terdiri dari kaum tani dan buruh yang diterjunkan dalam pertempuran itu merupakan petunjuk betapa hebatnya perang dan sulitnya pasukan Ethiopia untuk menguasai Eritrea.
Hal ini disebabkan oleh hebatnya perlawanan para pejuang Eritrea. Pasukan Ethiopia dapat menguasai beberapa kota, tetapi daerah daerah di sekitarnya ataupun desa desa di Eritrea praktis dikuasai oleh para pejuang Eritrea. Di samping bertempur melawan gerilyawan gerilyawan Eritrea, pasukan Ethiopia juga menghadapi hampir seluruh rakyat Eritrea. Sekitar 20.000 orang Eritrea yang bekerja di Addis Abeba pada awal tahun 1975 kembali ke negeri mereka untuk membantu para perjuangannya. Mereka tidak bersedia untuk hidup di bawah kekuasaan orang orang Ethiopia. Medan pertempuran yang ganas dan kualitas pasukan milisi yang baru saja memasuki dinas militer juga mempersulit gerakan pasukan Ethiopia, tetapi menguntungkan para pejuang Eritrea. Perang itu bisa berakhir dengan kekalahan tentara Eritrea karena pasukan milisi bukan tentara yang sungguh sungguh, persenjataannya kuno dan perbekalannya sangat kurang, sedangkan pasukan pasukan Eritrea yang mendapat bantuan negara negara Arab sangat tangguh. Di samping itu iklim yang kering di Eritrea merupakan medan yang sangat berat bagi kaum milisi.
Kendati besarnya jumlah korban dalam perang Eritrea, besarnya bantuan negara negara Arab kepada gerilyawan di wilayah itu serta derasnya desakan desakan dunia agar Ethiopia segera menyelesaikan konflik Eritrea secara damai, Ethiopia tidak bersedia melepaskan wilayah di tepi Laut Merah itu seperti terungkap dalam pernyataan pernyataan DERG. Addis Abeba rupanya justru akan meningkatkan usahanya untuk mempertahankan kekuasaannya di wilayah tepi Laut Merah tersebut. Hal ini dapat kita maklumi, karena kemerdekaan Eritrea berarti bahwa Ethiopia akan kehilangan propinsinya yang ke 14 dan satu satunya jalur ke laut, sehingga menjadi negara daratan yang tertutup.
Kunjungan para pemimpin Ethiopia ke beberapa negara Arab, Uni Soviet dan Kuba, pada tahun 1975, 1976, 1977 dan 1978, merupakan usaha diplomasinya untuk mendesak negara negara tersebut agar tidak member bantuan kepada para pejuang Eritrea,sebaliknya agar mendukung usahanya untuk tetap menguasai wilayah di tepi Laut Merah itu. Desakan desakan dunia serta keengganan Uni Soviet dan Kuba untuk melibatkan pasukannya da dalam perang Eritrea, untuk sementara waktu mungkin dapat mengerem operasi operasi militer Ethiopia di Eritrea atau sedikit meredahkan peperangan di wilayah itu, tetapi usaha Ethiopia untuk tetap bertahan di Eritrea akan masih terus dilaksanakan. Usul Sembilan pasal yng diajukan oleh pemerintah Addis Abeba dapat member petunjuk mengenai kemauan Ethiopia tsebut.
Para pejuang Eritrea menuntut kemerdekaan berdasarkan Resolusi PBB tahun 1950 mengenai otonomi negeri Eritrea, dan akan berjuang terus untuk menegakkan kembali hak hak nasionalnya. Sebaliknya dalam usahanya mempertahankan wilayah Eritrea tu Ethiopia berpegang teguh pada Resolusi PBB tahun 1951 mengenai penggabungan Eritrea sebagai negara bagiannya dan pada keputusan formal tahun 1962 yang mengesahkan Eritrea sebagai propinsinya.
Kemungkinan kemungkinan akan berbentuk atau menjadi wilayah siapakah Eritrea itu, belum jelas. Suatu federasi, yang diusulkan oleh pemerintah Ethiopia pada tahun 1976, rupanya sulit dilaksanakan, karena ditolak oleh rakyat Eritrea. Begitu pula kemerdekaan penuh seperti yang diperjuangkan oleh rakyat Eritrea, karena Addis Abeba berjuang mati matian untuk mempertahankan wilayah itu. Tetapi kemerdekaan Eritrea supaya semakin mendapat angin. Desaan desakan negara negarea nonblok atas Kuba agar tidak melibatkan pasukannya dalam perang Eritrea; keengganan Uni Soviet untuk melibatkan pasukannya dalam perang Eritrea; dukungan negara negara Arab dan beberapa negara Afrika terhadap perjuangan kemerdekaan rakyat Eritrea serta desakan desakan dunia, termasuk AS dan Uni Soviet atas Ethiopia agar menyelesaikan masalah Eritrea secara damai, semuanya itu memperkuat perjuangan rakyat Eritrea untuk kemerdekaan[11].

2.5 Akhir Pergolakan dan Dampaknya
Usaha usaha penyelesaian dengan cara militer telah lama dicoba. Usaha usaha itu telah membebani sementara negara termiskin di dunia dengan banyak pengorbanan dan kerugian ekonomi, ratusan ribu korban jiwa dan pengungsi. Namun semua usaha itu telah gagal, tanpa menunjang penyelesaian satu pertikaian pun, dan juga tidak mencapai semua perdamaian. Kalau tidak ditemukan penyelesaian yang lain, perang akan terus berlangsung untuk waktu yang lama dan mungkin mencapai tingkat internasional lagi. Konflik konflik itu tetap urusan Ethiopia dan sekitarnya, walaupun kekuatan asing terlibat di dalamnya, dan oleh karena itu harus menemukan penyelesaiannya di situ, sekalipun pihak luar mungkin bisa membantu dengan penengahan atau memberikan bantuan ekonomi.
Sejarah wilayah ini dengan jelas menunjukkan bahwa setiap penyelesaian akan sukar dan dilaksanakan dan bahwa setiap usul yang sungguh sungguh untuk mencapai penyelesaian harus mempelajari kesukaran kesukaran ini dengan seksama.
Ethiopia akan keutuhan wilayah tampak tidak dapat didamaikan, lebih lebih karena semua pihak telah membayar harga yang sangat tinggi. Sesungguhnya, ini suatu petunjuk bahwa mimpi buruk mereka bahkan lebih buruk daripada terus menerus membayar harga itu. Mimpi buruk para pemberontak adalah jelas, yaitu: berlanjutnya pemerintah Ethiopia yang menurut pengalaman mereka yang lama mengerikan. Namun mimpi buruk Ethiopia itu juga harus dipahami dengan jelas: mengalah kepada WSLF dan gerakan gerakan pembebasan Eritrea menghidupkan gerakan gerakan pembebasan yang lain Oromo, Tigrai, Afar, “Somali Abo” sehingga akhirnya  pihak dan Somalia Rapihak lain. Setap penyelesaian yng dapat dipertahankan, harus memberikan kepada semua pihak jaminan yang dapat dipercaya terhadap kasus kasus terburuk yang mereka takutkan dan mengingat pengalaman sejarah mereka, itu berarti bahwa semua pihak harus memiki sungguh sungguh bagaimana mereka dapat saling mempercayai.
Beberapa tanda menunjukkanbahwa pikiran serupa itu telah muncul WSLF secara berangsur angsur telah bersikap lebih lunak mengenai daerah daerah yang dituntutnya sebagai wilayah Somali. Orang orang Eritrea juga telah menunjukkan kesediaan mereka untuk mengadakan perjanjian mengenai hubungan ekonomi dan lau lintas bebas ke Laut Merah, segera setelah mencapai kemerdekaan. Ethiopia juga telah menunjukkan kesediaannya untuk memberikan tingkat otonomi tertentu kepada Eritrea dan kemungkinan juga kepada daerah daerah lain. Sejauh ini semua tawaran itu ditolak oleh pihak lain sebagai tidak dapat diterimanya. Tetapi itu bisa berubah secara berangsurangsur dengan timbulnya kesadarannya dengan memakai kekuatan dan yang dapat mencapai ambisi maksimalnya dengan memakai kekuatan dan bahwa setiap perundingan harus dilakukan untuk mencapai “lebih atau kurang” dan bukan “segala sesuatu tau tidak sama sekali”.
Sejumlah langkah lebih lanjut bisa melicinkan jalan menuju perundingan Somalia bisa melepakan segala ambisinya untuk mendapatkan tambahan wilayah dengan segala cara. WSLF bisa mengatakan dengan jelas bahwa suatu Ogaden merdeka tau otonom tidak akan bergabung dengan Somalia. Ethiopia bisa memberikan komitmen komitmen khusus mengenai tingkat otonomi yang disetujuinya, dan berjanji tidak akan menempatkan angkatSan bersenjata atau hanya menempatkan angkatan bersenjata simbolis di daerah daerah otonomi itu.
Gerakan gerakan Eritrea bisa membuat suatu deklarasi bersama bahwa mereka akan member Ethiopia atau suatu koridor ke laut. Gerakan gerakan ini bahkan bisa bergabung menjadi satu gerakan dan secara demikian mempermudah modifikasi tuntutan dengan menghindari tuduhan tuduhan bahwa salah satu kelompok berkhianat. Untuk sementara waktu semua pihak bisa menghentikan operasi operasi militer dan menghilangkan kata kata yang paling kasar dalam pertanyaan pertanyaan politik mereka.
Semua langkah ini mudah diusulkan secara terpisah. Lebih sukar adalah pemilihan waktu atau pengaitan yang diperlukan agar pihak pihak tidak merasa member suatu konsesi sepihak atau konsesi tanpa imbalan atau membuang kartu kartu yang akan dimainkan di meja perundingan. Sehubungan dengan itu hanya pihak pihak itu sendiri dapat memutuskan waktu dan pengaitan mana dapat diterima, setelah mempertimbangkan apa yang dapat mereka terima pada akhirnya.
Masih terlalu pagi untuk mengatakan apa yang dapat diterima oleh pihak pihak itu, sebagian karena alasan alasan tersebut di atas. Terdapat tiga kemungkinan penyelesaian yang utama dan pilihannya bisa lebih kecil lagi.
Pertama, penyelesaian dalam negeri: memberikan otonomi dalam suatu kerangka federal. Masalahnya di sini ialah bagaimana menciptakan suatu perimbangan dengan membuat orang percaya, bahwa ini bukan langkah pertama menuju pemisahan dan juga bukan pencaplokan kembali khususnya orang orang Eritrea akan sangat curiga sehubungan dengan yang terakhir ini. Bahkan kalau penyelesaian ini dalam beberapa kasus gagal, kita juga dapat menemukan kasus kasus seperti Yugoslavia dan Sudan di mana hal itu berjalan cukup baik.
Kedua, kemungkinan kemerdekaan Eritrea dan Ogaden yang terikat dengan jaminan kepada Ethiopia mengenai jalan ke laut yang bebas, dan mungkin dengan jaminan jaminan bahwa negara negara baru itu akan menganut politik nonblok., bahkan mungkin dengan perjanjian pertahanan atara mereka dan Ethiopia, untuk menghilangkan ketakutan Ethiopia. Di sini kita juga dapat menemukan kasus kasus negative dan positif berupa permusuhan dan persahabatan setelah pemisahan itu. Di antara yang terakhir ini kita dapatlkan Belanda Belgia, Swedia Norwegia dan beberapa kasus, di mana perang kemerdekaan sengit tidak mencegah kerja sama kemudian atas dasar persamaan, misalnya Prancis Aljazair.
Masalah masalah kedua tipe penyelesaian itu mengandung soal siapa akan mengambil resikonya. Dalam tipe pertama terutama Eritrea dan Ogaden dan oleh karena itu Ethiopia harus member mereka jaminan jaminan yang dapat dipercaya. Dalam kasus yang kedua adalah juga jelas bahwa Ethiopia akan menanggung resiko yang lebih besar, dan pihak pihak yang lain harus mengadakan pengorbanan pengorbanan politik agar hal itu dapat diterima.
Kadang kadang perundingan bisa menjadi lebih mudah dengan menambahkan lebih banyak dimensi dan secara demikian lebih member jalan bagi penyelesaian. Mungkin usul yang diajukan oleh Fidel Castro pada tahun 1977 untuk mengadakan suatu konfederasi atara negara negara yang berorientasi radikal di kawasan Djibouti, Ethiopia, Somalia, dan Yaman Selatan dapat menjadi dasar suatu penyelesaian yang lebih luas dan mengurangi resiko resiko semua pihak. Jelas ini juga bukan penyelesaian yang mudah. Adalah sangat sukar menemukan contoh contoh konfederasi yang berhasil, antara lain karena negara negara biasanya sangat tidak senang menyerahkan kedaulatan kepada badan badan supranasional. Suatu masalah lain adalah berapa besar kekuasaan yang akan dipunyai dan prinsip prinsip apa akan dianut mengenai perwakilan. Sistem perwakilan berdasarkan jumlah penduduk akan terlalu merugikannya. Suatu penyelesaian yang mungkin dapat diterima adalah perwakilan distrik distrik dan bukan perwakilan negara negara. Kenya pasti akan takut melihat Ethiopia dan Somalia bersatu dan oleh karena itu memerlukan jaminan yang kuat. Arab Saudi kiranya akan berusaha mencegahnya biarpun mungkin tidak begitu keras kalau Yaman Selatan tidak ikut dalam rencana itu.
Tidak ada penyelesaian yang dapat dipaksakan atas Tanduk Afrika ini dari luar. Namun pihak pihak ketiga mungkin bisa membantu sebagai penengah dan memberikan bantuan untuk pembangunan ekonomi dan pemukiman para pengungsi. Peranan peranan ini mungkin dapat dimainkan oleh Uni Soviet. Pertama, Uni Soviet tidak jelas berkepentingan untuk menciptakan perdamaian di kawasan, karena ini akan membuat kehadirannya tidak begitu controversial dan membebaskannya dari tekanan tekanan silang yang merikuhkan terhadap sahabat sahabat Arabnya. Kedua, Uni Soviet mempunyai atau pernah mempunyai hubungan yang positif dengan semua pihak yang terlibat di dalamnya, sampai sampai ditemukan senjata dan pelatih dari Uni Soviet atau sekutu sekutunya di kedua pihak. Kelihatannya semua gerakan ELF dan EPLF bersedia berunding dengan Uni Soviet, dan pernyataan pernyataan Siyad Barre tahun ini menunjukkan bahwa hal itu juga berlaku bagi Somalia. Penarikan militer Uni Soviet dari Somalia atas permintaan bisa menunjang kredibilitasnya. Dan sekiranya jurangnya masih terlalu lebar, Uni Soviet mungkin bisa bekerja sama dengan sekutu sekutu Arabnya utuk memajukan saling pengertian antara pihak pihak sehingga mau berunding.
Kalau dan bila semua pihak mengakui bahwa penyelesaian militer tidak mungkin, OAU barangkali juga dapat menjadi penengah, tetapi sebagaimana dikemukakan di atas, ini sebagian besar adalah soal apakah Ethiopia menyetujuinya. Selain itu, karena OAU tidak mempunyai “sticks” maupun “carrots”, maka penyelesaian serupa itu mungkin lebih membuthkan kesediaan pihak pihak untuk berkompromi. Di pihak lain, suatu penyelesaian buatan Afrika mungkin meningkatkan kemungkinan kemungkinan bantuan dari PBB.
Kita telah mencoba menyoroti beberapa tanda adanya kemungkinan kemungkinan untuk perundingan dan penyelesaian di sini. Dapat ditambahkan bahwa sikap menahan diri yang ditunjukkan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet mungkin juga merupakan suatu tanda baik bahwa mereka menghindari eskalasi. Di Ogaden sikap menahan diri Uni Soviet ditunjukkan dengan mencegah Ethiopia yang menang melintasi perbatasan Somalia, dan di Eritrea sikap itu dapat dilihat dalam sanggahan resmi bahwa pasukan pasukan Uni Soviet dan Kuba ikut dalam pertarungan. Demikianpun Amerika Serikat menunjukkan sikap menahan diri dengan tidak melibatkan diri dan mendukung Somalia secara langsung.
Tetapi menghindari terjadinya eskalasi saja tidak cukup dan tidak akan menyelesaikan konflik manapun. Paling banyak usaha itu dapat menyingkirkan sementara rintangan bagi suatu penyelesaian damai. Suatu petunjuk jelas dari negara negara besar bahwa mereka tidak bersedia untuk mengirimkan lebih banyak perlengkapan militer ke kawasan itu juga bisa membantu semua pihak yang berkonflik menyadari bahwa suatu penyelesaian militer di luar jangkauan mereka, dan bahwa satu satunya alternative bagi berlarut larutnya perang dan kesengsaraan adlah penyelesaian yang dirundingkan, yang meminta pengorbanan pengorbanan dan resiko kepada semua pihak, betapa sulitpun tampaknya hal ini dari sudut sejarah masa lalu. Kalau pengorbanan pengorbanan masa lalu telah memungkinkan mereka hidup dalam perang, pengorbanan pengorbanan itu harus juga memungkinkan mereka hidup dalam perdamaian, sekali disetuji bahwa semua pihak yang terlibat telah cukup mengadakan pengorbanan di medan perang yang lalu dan mendatang.[12]




BAB 3. PENUTUP
3.1  Simpulan
Pada intinya pergolakan merupakan suatu keadaan yang tidak tenang, tidak kondusif, terjadi kekeruhan suasana sehingga tidak terkendali seperti yang diinginkan. Dalam pendapat awam, pergolakan lebih diidentikkan kepada suatu keadaan huru-hara atau terjadi pertikaian fisik yang tidak terkendalikan untuk suatu alasan.
Republik Demokratik Federal Etiopia atau Etiopia adalah sebuah negara yang terletak di Afrika. Saat ini Etiopia merupakan negara berbentuk republik dan mengambil bagian secara aktif dalam aktivitas-aktivitas kerjasama internasional.
Nama "Etiopia" konon berasal dari "Ityopp'is", yaitu nama anak cucu Ham, pembentuk kota Aksum. Nama lama "Abbesinia" atau "Habsyah" berasal dari kelompok suku Habesha, yaitu kaum yang mendiami kawasan Etiopia sejak tahun 3000 SM.[13]
Mengenai latar belakang terjadinya gejolak di Ethiopia, apabila ditelusuri ke belakang sangaatlah tidak terlepas atas apa yang terjadi antara Ethiopia dengan bangsa-bangsa Eropa yang pada saat itu memang mencita-citakan kekuasaan seluas-luasnya di Afrika. Mengenai kasus afrika, negara Eropa yang paling menonjol kaitanya adalah Italia, dengan beberapa negara eropa lainya yang berkuasa disekitar kawasan Ethiopia.
Sejarah baru Afrika penuh dengan sengketa perbatasan dan pemberontakan separatis. Organisasi Persatuan Afrika (OPA) kerapkali tidak mampu menyelesaikanya. Negara-negara asing melibatkan pasukan-pasukan dan penasihat-penasihat militer mereka, dan kadang-kadang kemerdekaan benua itu sendiri rupanya dalam taruhan. Suatu kasus yang jelas sekarang ini, yaitu Etiopia, boleh jadi hanya merupakan tanda suatu kondisi umum. Kasusnya mungkin luar biasa karena Etiopia adalah suatu negara merdeka dan bukan koloni Eropa. Tetapi hakikat luar biasa Ethiopia itu menjadi berkurang akibat kenyataan bahwa sebagian besar perbatasan Ethiopia dibentuk dengan pengepungan imperialis.
Usaha usaha penyelesaian dengan cara militer telah lama dicoba. Usaha usaha itu telah membebani sementara negara termiskin di dunia dengan banyak pengorbanan dan kerugian ekonomi, ratusan ribu korban jiwa dan pengungsi. Namun semua usaha itu telah gagal, tanpa menunjang penyelesaian satu pertikaian pun, dan juga tidak mencapai semu perdamaian. Kalau tidak ditemukan penyelesaian yang lain, perang akan terus berlangsung untuk waktu yang lama dan mungkin mencapai tingkat internasional lagi. Konflik konflik itu tetap urusan Ethiopia dan sekitarnya, walaupun kekuatan asing terlibat di dalamnya, dan oleh karena itu harus menemukan penyelesaiannya di situ, sekalipun pihak luar mungkin bisa membantu dengan penengahan atau memberikan bantuan ekonomi.

3.2  Saran
Dalam menjalankan suatu kehidupan resiko terjadinya suatu masalah sudahlah hal yang biasa apabila terjadi. Semua itu berlangsung begitusaja, beriringan dengan berjalanya kepentingan hidup masing-masing.
Uraian tersebut juga terimplementasikan dalam kehidupan yang skala besar yaitu pada suatu negara. Dalam kehidupan negara yang tentunya berdampingan dengan negara lain, menjadikan hiasan pro kontra akan terus sejalan dengan berjalanya kehidupan. Dalam sikap yang masih rimba, suatu konflik akan begitu besar ritmenya daripada dalam sikap yang bijaksana serta sangat menjujung tinggi perdamaian.
Meskipun dengan berbagai dalih latar belakang, yang biasa disebut konflik lebih-lebih konflik dengan fisik bukanlah suatu hal yang menghasilkan kebaikkan yang besar melainkan kerugian yang segera menimpa bagi pihak-pihak yang melakukan. Dalam upaya apapun suatu jalan perundingan atau musyawarah, ataupun jalan-jalan baik lainya masih sangat relevan untuk digunakan. Dari hal tersebut tidak ada salahnya untuk mengedepankan yang terbaik terlebih dahulu sebelum melangkah pada suatu hal yang memiliki resiko kerugian yang lebih besar.





















DAFTAR PUSTAKA
Dipoyudo, Kirdi. 1980. Perkembangan di Afrika. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.
Dipoyudo, Kirdi. 1979. Fokus Atas Afrika. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.
Fahlan, Asidah. 2011. Islam di Ethiopia. http:// asidah.kimuin  Islam di Ethiopia.htm. [22 Mei 2015].
Pete. 2014. Profil Lengkap Negara Etiopia. http://www.kembangpete.com/2014/08/14/profil-lengkap-negara-ethiopia. [11 Mei 2015].
Soeratman, Darsiti. 2012. Sejarah Afrika. Yogyakarta: Ombak.


[3] Fahlan, Asidah. 2011. Islam di Ethiopia. http:// asidah.kimuin  Islam di Ethiopia.htm. [22 Mei 2015].
[4] Pete. 2014. Profil Lengkap Negara Etiopia. http://www.kembangpete.com/2014/08/14/profil-lengkap-negara-ethiopia. [11 Mei 2015].
[5] Soeratman, Darsiti. 2012. Sejarah Afrika. Yogyakarta: Ombak. Hlm 331-339.
[6] Soeratman, Darsiti. 2012. Sejarah Afrika. Yogyakarta: Ombak. hlm. 139-141.
[7] Soeratman, Darsiti. 2012. Sejarah Afrika. Yogyakarta: Ombak. Hlm.142-143.
[8] Dipoyudo, Kirdi. 1980. Perkembangan di Afrika. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies. Hlm.
[9] Dipoyudo, Kirdi. 1980. Perkembangan di Afrika. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies. Hlm. 983.
[10] Dipoyudo, Kirdi. 1980. Perkembangan di Afrika. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies. Hlm. 985-986.
[11] Dipoyudo, Kirdi. 1979. Fokus Atas Afrika. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies. Hlm.
[12] Dipoyudo, Kirdi. 1980. Perkembangan di Afrika. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies. Hlm.

0 komentar:

Posting Komentar

Unordered List

Sample Text

Sample text

Total Tayangan Halaman

Social Icons

Blogger templates

Feature (Side)

Blogger news

Pages

AD (728x90)

Diberdayakan oleh Blogger.

Wikipedia

Hasil penelusuran

Pengikut

Featured Posts

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget