Senin, 26 Oktober 2015

ASAS PERTANAHAN, FUNGSI SOSIAL, DAN FUNGSI SOSIO-EKONOMI PERTANAHAN (Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960)





BAB 1. PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pengertian asas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah dasar yang teruraikan bahwa sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.[1]
Asas (prinsip) merupakan suatu pernyataan fundamental atau kebenaran umum yang dapat dijadikan pedoman pemikiran dan tindakan. Asas-asas muncul dari hasil penelitian dan tindakan. Asas sifatnya permanen, umum dan setiap ilmu pengetahuan memiliki asas yang mencerminkan “intisari” kebenaran-kebenaran dasar dalam bidang ilmu tersebut. Asas adalah dasar tapi bukan suatu yang absolut atau mutlak, artinya penerapan asas harus mempertimbangkan keadaan khusus dan keadaan yang berubah-ubah.[2]
Sedangkan tanah sendiri adalah kumpulan tubuh alam yang menduduki sebagian besar daratan pelanet Bumi, yang mampu menumbuhkan tanaman dan sebagai tempat mahkluk hidup lainya dalam melangsungkan kehidupanya. Tanah memiliki sifat yang mudah dipengaruhi oleh iklim, serta jasad hidup yang bertindak terhadap bahan induk dalam jangka waktu tertentu.[3]
Sehingga dapat dikatakan bahwa asas pertanahan perupakan suatu prinsip yang fundamental atau kebenaran umum yang dijadikan sebagai tumpuan berpikir, berpendapat, dan bertindak dalam menangani suatu aspek pertanahan sebagai lahan hidup manusia dengan berbagai perangkat kandunganya.
Dalam pelaknaanya, asas pertanahan di Indonesia diatur dalam  undang-undang agraria, dan dalam undang-undang yang mengatur mengenai pertanahan tersebut terdapat beberapa uraian mengenai asas yang benar adanya digunakan sebagai dasar pelaksaan pertanahan. Dari asas-asas tersebut mengatur tanah dalam berbagai keadaan yang disesuaikan dengan segala aspek yang menjadi pertimbangan.
Suatu pemahaman mendalam mengenai asas pertanahan memanglah begitu penting adanya, dikarenakan hal tersebut menyangkut dengan pelaksanaan kehidupan manusia yang tidak terpisahkan dengan tanah sebagai lahan hidupnya. Oleh karena itu diperlukan suatu kajian mendalam yang membahas akan asas pertnahan sesuai dengan Undang-Undang Agraria yang ada.
Selain asas yang begitu penting sebagai bagian satu-kesatuan dari suatu peraturan khususnya adalah peraturan/ undang-undang agraria khususnya, terdapat beberapa fungsi yang dimiliki dari acuan perundang-undangan agraria di Indonesia, Yaitu UUPA No. 5 Tahun 1960.
Yang dimaksud fungsi sosial dalam hal ini dengan acuan pertanahan, dapat diartikan bahwa tanah sebagai lahan hidup manusia yang pada dasarnya selalu hidup bersosial sudah semestinya dapat berfungsi untuk memfasilitasi kegiatan sosial manusia pada seharusnya. Dan dalam hal ini tidak saja berjalan begitu saja, melainkan berlandaskan suatu Undang-Undang, yaitu UUPA No. 5 Tahun 1960.
Dalam uraianya, terdapat lebih bayak suatu kajian yang perlu jabarkan secara mendalam. Lebih-lebih pada penjabaran suatu perundang-undangan. Dari suatu kegiatan ini, diharapkan atau ditujuakan sebagai suatu upaya dalam pengembangan implememtasi asas dan fungsi sosial pertanahan, supaya dapat berjalan dengan benara dan semestinya.
Oleh karena itu, perlu adanya suatu kajian yang mendalam akan hal ini, sehingga dari uraian makalah ini akan lebih dapat dipahami mengenai aspek asas dan fungsi sosial yang tentunya sangat diharapkan suatu kebaikan dalam implementasinya dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang ada, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1)      Apa yang dimaksud dengan asas pertanahan?
2)      Bagaimana asas pertanahan di Indonesia menurut Undang-Undang Agraria?
3)      Apa yang dimaksud dengan fungsi sosial?
4)      Bagaimana fungsi sosial dan fungsi sosio-ekonomi tanah menurut UUPA No. 5 Tahun 1960?
5)      Bagaimana implementasi atas asas pertanahan, fungsi sosial dan fungsi sosio-ekonomi tanah bagi masyarakat Indonesia?
1.3  Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1)      Mengetahui dan memahami akan pengertian asas pertanahan;
2)      Mengetahui dan memahami asas pertanahan di Indonesia menurut Undang-Undang Agraria;
3)      Mengetahui dan memahami akan pengertian fungsi Sosial;
4)      Mengetahui dan memahami fungsi sosial tanah menurut UUPA No. 5 Tahun 1960;
5)      Mengetahui dan memahami implementasi asas pertanahan dan fungsi sosial tanah bagi masyarakat Indonesia.
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka manfaat dari pembuatan makalah ini adalah:
1)      Memahami secara mendalam akan pengertian asas pertanahan serta asas pertanahan di Indonesia menurut Undang-Undang Agraria;
2)      Memahami secara mendalam akan pengertian fungsi Sosial dan fungsi sosial tanah menurut UUPA No. 5 Tahun 1960.
3)      Memahami secara mendalam akan implementasi asas dan fungsi sosial tanah bagi masyarakat Indonesia.


BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Asas Pertanahan
Pengertian asas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah dasar yang teruraikan bahwa sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.[4]
Asas (prinsip) merupakan suatu pernyataan fundamental atau kebenaran umum yang dapat dijadikan pedoman pemikiran dan tindakan. Asas-asas muncul dari hasil penelitian dan tindakan. Asas sifatnya permanen, umum dan setiap ilmu pengetahuan memiliki asas yang mencerminkan “intisari” kebenaran-kebenaran dasar dalam bidang ilmu tersebut. Asas adalah dasar tapi bukan suatu yang absolut atau mutlak, artinya penerapan asas harus mempertimbangkan keadaan khusus dan keadaan yang berubah-ubah.[5]
Sedangkan tanah sendiri adalah kumpulan tubuh alam yang menduduki sebagian besar daratan pelanet Bumi, yang mampu menumbuhkan tanaman dan sebagai tempat mahkluk hidup lainya dalam melangsungkan kehidupanya. Tanah memiliki sifat yang mudah dipengaruhi oleh iklim, serta jasad hidup yang bertindak terhadap bahan induk dalam jangka waktu tertentu.[6]
Sehingga dapat dikatakan bahwa asas pertanahan perupakan suatu prinsip yang fundamental atau kebenaran umum yang dijadikan sebagai tumpuan berpikir, berpendapat, dan bertindak dalam menangani suatu aspek pertanahan sebagai lahan hidup manusia dengan berbagai perangkat kandunganya.

2.2.1 Asas Pertanahan sebagai Asas Hukum
Menurut Van Eikema Hommes asas hukum tdak boleh dianggap sebagai norma hukum yang konkret, tetapi perlu dipandang sebagai dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku.
Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan kata lain bahwa asas hukum ialah dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.
The Liang Gie berpendapat bahwa asas merupakan suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara khusus mengenai pelaksanaannya yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.
Menurut P. Scolten, Asas hukum adalah kecenderungan yang diisyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum yang merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan umum, tetapi tdak boleh tidak harus ada.
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut, kemudian dapat disimpulkan bahwa asas hukum baru merupakan cita-cita suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpukan berpikir untuk menciptakan norma hukum.
Jadi Asas Hukum adalah suatu alam pikiran atau cita-cita ideal yang melatarbelakangi pembentukan norma hukum, yang konkret dan bersifat umum dan abstrak (khususnya dalam bidang-bidang hukum yang erat hubungannya dengan agama dan budaya). Agar supaya asas hukum berlaku dalam praktek maka isi asas hukum itu harus dibentuk yang lebih konkret.[7]
Dari hal tersebut dapat disimpulakan bahwa asas pertanahan dalam peraturan Undang-Undang Agraria Indonesia merupakan suatu dasar atau petunjuk bagi hukum yang konkret mengenai pertanahan yang terwujud dalam UUPA No. 5 Tahun 1960.
2.2 Asas Pertanahan di Indonesia Menurut Undang-Undang Agraria (UUPA No. 5 Tahun 1960)
Dalam UUPA dimuat sebelas asas dari Hukum Agraria Nasioanal. Asas-asas ini karena sebagai dasar dengan sendirinya harus menjiwai pelaksanaan dari UUPA dan segenap peraturan pelaksanaannya. Sebelas asas tersebut, adalah sebagai berikut :
a.      Asas Kenasionalan
Asas kenasionalan ditemukan dalam Pasal 1 ayat (1). Ayat (2), dan ayat (3) UUPA, yaitu :
1)      Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan Tanah Air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
2)      Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang  Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
3)      Hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan ruang angkasa termasuk dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.

b.      Asas pada Tingkatan Tertinggi, Bumi, Air, Ruang Angkasa, dan Kekayaan Alam yang Terkandung di Dalamnya Dikuasai oleh Negara.
Asas ini ditemukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa : “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasan seluruh rakyat”.
UUPA berpangkal pada pendirian bahwa untuk mencapai apa yang ditetapkan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 tidaklah perlu dan tidaklah pada tempatnya bahwa Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut, perkataan “dikuasai” disini bukan berarti “dimiliki”, akan tetapi pengertian yang memberi wewenag kepada negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat untuk pada tingkatan tertinggi.
1)      Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa.
2)      Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
3)      Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hokum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hokum yang menenai bumi, air, dan ruang angkasa.

c.       Asas Mengutamakan Kepentingan Nasional dan Negara yang Berdasarkan atas Persatuan Bangsa daripada Kepentingan Perseorangan atau Golongan
Asas ini ditemukan dalam Pasal 3 UUPA, yaitu: “Dengan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarka atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.”

d.      Asas Semua Hak Atas Tanah Mempunyai Fungsi Sosial
Asas semua ha katas tanah mempunyai fungsi sosial ditemukan dalam Pasal 6 UUPA, yaitu: “Semua ha katas tanah mempunyai fungsi sosial.” Hak atas tanah mempunyai fungsi sosial tidak hanya berupa Hak Milik, akan tetapi juga Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Sewa Untuk Bangunan.



e.       Asas Hanya Warga Negara Indonesia yang Mempunyai Hak Milik Atas Tanah
Asas hanya warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik atas tanah ditemukan dalam pasal 9 ayat (1) UUPA, yaitu: “hanya warga negara Indonesia mempunyai hubungan yang sepunuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan pasal 2.” Asas ini juga ditemukan dalam pasal 21 ayat (1) UUPA, yaitu: “Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai Hak Milik.” Prinsip ini menegaskan bahwa hanya warga negara Indonesia yang berkedudukan sebagai subjek Hak Milik. Orang yang berkewarganegaraan Indonesia di samping juga berkewarganegaraan asing tidak dapat mempunyai tanah Hak Milik. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia tidak dapat mempunyai tanah berstatus Hak Milik, melainkan hanya dapat menguasai tanah berstatus Hak Pakai dan Hak Sewa Untuk Bangunan dengan jangka waktu yang terbatas.

f.       Asas Persamaan Bagi Setiap Warga Negara Indonesia
Asas ini ditemukan dalam pasal 9 ayat (2) UUPA, yaitu: “tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.” Asas ini menetapkan bahwa warga negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperolah hak atas tanah. Di sisni tidak dipersoalkan warga negara Indonesianya itu warga negara Indonesia asli, warga negara Indoneisa keturunan, ataukah warga negara Indonesia naturalisasi. Demikian juga tidak dibedakan agama maupun suku dari warga negara Indonesia tersebut. Hak atas tanah yang diperoleh adalah semua hak atas tanah yang meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, maupun Hak Sewau Untuk bangunan. Manfaat dan hasil yang diperoleh dari hak atas tanah tidak hanya dirasakan oleh dirinya sendiri, akan tetapi keluarganya juga dapat memperolehnya.

g.      Asas Tanah Pertanian Harus Dikerjakan atau Diusahakan Secara Aktif oleh Pemiliknya Sendiri dan Mencegah Cara-Cara yang Bersifat Pemerasan
Asas ini ditemukan dalam pasal 10 ayat (1) UUPA, yaitu: “setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuai hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara oemerasan.” Prinsip ini menegaskan bahwa siapa pun yang mempunyai hak atas tanah untuk kepentingan wajib mengerjakan atau mengusahakan sendiri tanah pertaniannya secara aktif dan dalam mengerjakan atau mengusahakan tanah pertaniaan tersebut harus dicegah cara-cara yang bersifat pemerasan.

h.      Asas Tata Guna Tanah/Penggunaan Tanah Secara Berencana
Asas ini ditemukan dalam pasal 2 ayat (2) huruf a UUPA, yaitu: “Hak menguasai negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa.” Asas ini juga ditemukan dalam pasal 14 ayat (1) UUPA, yaitu: “dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:
1)      Untuk keperluan negara;
2)      Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sesuai dengan dasar ketuhanan yang maha esa;
3)      Untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan, dan lain kesejahteraan;
4)      Untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan, dan perikanan serta sejalan dengan itu;
5)      Untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi, dan pertambangan.”


i.        Asas Kesatuan Hukum
Asas kesatuan ditemukan dalam Diktum UUPA di bawah perkataan “Dengan Mencabut” ditetaokan bahwa UUPA mencabut Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55, Agrarische Belsuit (Keputusan Raja) Stb. 1870 No. 118 yang memuat Domein Verklaring, Koninkelijk Belsuit (Keputusan Raja) Stb. 1872 No. 117, dan Buku II Burgerlijk Wetboek (BW) sepanjang mengenai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku. Asas kesatuan hukum juga ditemukan dalam pasal 5 UUPA, yaitu: “Hukum Agraria yang masih berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”

j.        Asas Jaminan Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum
Asas jaminan kepastian hukum ditemukan dalam pasal 19 ayat (1) UUPA, yakni: “untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah.” Asas perlindungan hukum ditemukan dalam pasal 18 UUPA, yaitu: “untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat , hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.

k.      Asas Pemisahan Horizontal
Asas pemisahan horizontal ditemukan dalam pasal 44 ayat (1) UUPA, yaitu: “Seorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya, sejumlah uang sebagai uang sewa.”[8]

2.3 Hakikat Fungsi Sosial
Fungsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diartikan sebagai kegunaan suatu hal[9]. Adapun menurut para ahli, definisi fungsi yaitu menurut The Liang Gie menyatakan bahwa Fungsi merupakan sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis yang sama berdasarkan sifatnya, pelaksanaan ataupun pertimbangan lainnya. Definisi tersebut memiliki persepsi yang sama dengan definisi fungsi menurut Sutarto yaitu Fungsi adalah rincian tugas yang sejenis atau erat hubungannya satu sama lain untuk dilakukan oleh seorang pegawai tertentu yang masing-masing berdasarkan sekelompok aktivitas sejenis menurut sifat atau pelaksanaannya. Sedangkan pengertian singkat dari definisi fungsi menurut Moekijat yaitu fungsi adalah sebagai suatu aspek khusus dari suatu tugas tertentu.[10]
Sedangkan pengertian sosial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan berkenaan dng masyarakat; suka memperhatikan kepentingan umum.[11] Adapun pengertian sosial menurut para ahli antara lain; Lewis yang menyatakan bahwa Sosial adalah sesuatu yang dicapai, dihasilkan dan ditetapkan dalam interaksi sehari-hari antara warga negara dan pemerintahannya; menurut Keith Jacobs menyatakan Sosial adalah sesuatu yang dibangun dan terjadi dalam sebuah situs komunitas; sedangkan Sosial menurut Ruth Aylett adalah sesuatu yang dipahami sebagai sebuah perbedaan namun tetap inheren dan terintegrasi.[12]
Kemudian kedua komponen kata tersebut disimpulkan melalui pandangan kamus antropologi, yang mengartikan gabungan kata tersebut yaitu “fungsi sosial” yang diartikan sebagai kegunaan suatu hal bagi hidup suatu masyarakat[13].
Sehingga dapat dikatakan bahwa fungsi sosial adalah suatu kegunaan yang melekat pada suatu hal yang memiliki kegunaan pada suatu perkumpulan individu-individu yang membentuk suatu kolektif kelompok, yang tentunya kegunaan tersebut adalah mengakomodasi suatu kepentingan bersama atau kepentingan sosial.

2.4 Fungsi Sosial dan Sosio-ekonomi Tanah Menurut UUPA No. 5 Tahun 1960
2.4.1 Fungsi Sosial Tanah
Menurut sejarahnya, fungsi sosial lahir di Barat merupakan reaksi terhadap pelaksanaan/penggunaan hak milik secara berlebihan sehingga menimbulkan kerugian kepentingan bagi orang lain. Sejarah hukum mengenalnya sebagai suatu penyalahgunaan hak (misbruik van eigendomsreicht).
Konsep hak milik (eigendom) lahir dalam situasi liberalisme. Oleh sebab itu maka hak milik akan mencerminkan karakter dari masyarakatnya. Problematik mencerminkan karakter dari masyarakatnya. Problematik eigendom antara lain mengenai seberapa luas kebebasan seseorang menggunakan haknya. Hal ini berbeda dengan sistem hukum yang satu dengan sistem hukum yang lainya. Bagi masyarakat yang mengikuti paham liberal tentu berlainan dengan masyarakat yang mengikuti paham sosialis. Pembatasan terhadap kebebasan penggunaan hak milik itu merupakan pembatasan terhadap kebebasan seseorang dalam melaksanakan haknya hubunganya dengan perlindungan kepentingan orang lain yang kesemuanya hendak ditentukan dalam hukum. Artinya bukan kebebasan yang tanpa batas, namun suatu kebebasan dalam cakupan itu “Libertas Sublege” atau “Vrijheid onder de wer”. Kebebasan sesuangguhnya hanyalah dapat terwujud bilamana dapat diciptakan harmoni antara hak-hak individual dengan kesejahteraan umum. Jadi dengan demikian tidak ada lagi kemutlakan hak milik. Hak milik mengingat kepentingan sosial, telah disosialkan (vermaatschappelijking functie).[14]
Dalam paparan UUPA No. 5 Tahun 1960, terdapat apa yang disebut sebagai fungsi sosial tanah. Hal tersebut teruraiakan pada pasal 6, UUPA No. 5 Tahun 1960 yang menyebutkan “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.[15]
Maksud dari pasal 6, UUPA No. 5 Tahun 1960 tersebut telah teruraikan melalui Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pada Penjelasan Umum III (4), yang menerangakan bahwa (Dasar yang keempat diletakkan dalam pasal 6, yaitu bahwa: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”).
Ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan digunakan (atau tida digunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadanyaanya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan.
Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok; kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (Pasal 2  ayat 3).
Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya, bahwa tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburanya serta dicegah kerusakanya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya tau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu (pasal 15). Dalam melaksnakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan pihak yang ekonomi lemah.[16]
Sesuatu yang tidak terlepas dari uraian pasal 6 selain Fungsi Sosial yang sebenarnya menjadi obyek dalam kalimatnya yaitu semua hak atas tanah. Sehingga dalam penjelasan mengenai fungsi sosial tanah harus lengkap dengan korelasi hak atas tanah yang membentuk salah satu pasal yaitu pasal 6 UUPA No. 5 Tahun 1960. Dan berikut akan dijelaskan sedikit mengenai hak atas tanah yang dalam perkembangan implementsinya harus memperhatikan fungsi sosialnya.
a.       Hak-hak atas tanah
1)      Ruang lingkup hak atas tanah
Dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu “atas dasar hak mengausai dari negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”. Hak-hak atas tanah bersumber dari hak mengasai dari negara atas tanah dapat diberikan kepada perseorangan baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum privat maupun badan hukum publik.
Menurut Soedikno Mertokusumo dalam Urip Santoso (2012), wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Wewenang umum
Wewenang yang bersifat umum yaitu pmegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi dan air dan ruang yang ada di atasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (pasal 4 ayat (2) UUPA).
b.      Wewenang Khusus
Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenag untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah Hak Milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan/atau mendirikan bangunan, wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan adalah menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada tanah Hak Guna Usaha adalah menggunakan tanah hanya untuk kepentingan perusahaan di bidang pertanian, perikanan, peternakan, atau perkebunan.
Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam pasal 16 dan apasal 53 UUPA, yang dikelompokkan menjadi tiga bidang, yaitu:
a.       Hak atas tanah yang bersifat tetap, yaitu hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan undang-undang baru.
b.      Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang, yaitu hak atas atanah yang akan lahir kemudian, ayang akan ditetapkan dengan undang-undang.
c.       Hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu hak atas tanah ini sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, mengandung sifat feodal, dan bertentangan dengan jiwa UUPA.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah hak Gadai (Gadai Tanah), hak usaha bagi hasil (perjanjian bagi hasil), hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian.
Pada hak atas tanah yang bersifat tetap diatas, sebenarnya hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan bukanlah hak atas tanah dikarenakan keduanya tidak memberikan wewenang kepada pemegang hanya untuk menggunakan tanah atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Namun, sekedar menyesuaikan dengan sistematika Hukum Adat, maka kedua hak tersebut dicamtumkan juga ke dalam hak atas tanah yang bersifat tetap. Sebenarnya kedua hak tersebut dicamtumkan juga ke dalam hak atas tanah yang bersifat tetap. Sebenarnya kedua hak tersebut merupakan “pengejawantahan” dari hak ulayat masyarakat Hukum Adat.
Hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam pasal 16 jo. Pasal 53 UUPA tidak bersifat limitatif, artinya disamping hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam UUPA, kelak dimungkinkan lahirnya hak atas tanah baru yang diatur secara khusus dengan undang-undang.
Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
a.       Hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah negara.
macam-macam hak atas tanah ini adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atas tanah negara, hak pakai atas tanah negara.
b.      Hak atas tanah yang bersifat sekunder, yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan, hak guna bangunan atas tanah hak milik, hak sewa untuk bangunan, hak gadai (gadai tanah), hak usaha bagi hasil (perjanjian bagi hasil), hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian.
Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) No. ... Tahun 2001 tentang pertanahan dimuat penyederhanaan hak-hak atas tanah, yaitu dari hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa untuk bangunan disederhanakan menjadi hak milik dan hak pakai. Hak paki akan menggantikan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak sewa untuk bangunan.
Begutu pula dalam Rancangan Undang-Undang No. .... Tahun 2004 tentang sumber daya agraria, ahak atas tanah meliputi hak milik, hak pakai dengan jangka waktu tertentu, hak pakai khusus dengan jangka waktu selama tanahnya digunakan, dan hak pakai khusus dengan jangka waktu selama tanahnya digunakan.[17]
Namun sesuai dengan acuan saat ini tentunya menggunakan UUPA No.5 Tahun 1960,  Menguraikan pasal 16 ayat (1) mengenai hak atas tanah sebagai berikut.
(1)   Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 4 ayat (1) ialah:
a.       Hak milik;
b.      Hak guna usaha;
c.       Hak guna bangunan;
d.      Hak pakai;
e.       Hak sewa;
f.       Hak membuka tanah;
g.      Hak memungut hasil hutan;
h.      Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.[18]
Sehingga lebih jauh kita saksikan bahwa secara tegas dinyatakan “semua hak atas tanah mempunyai “fungsi sosial” (pasal 6). Dalam memori penjelasan ditegaskan apakah yang diartikan dengan pertanyaan ini. Ketentuan ini bukan hanya merupakan suatu pertanyaan demonstratif belaka! Secara tegas dinyatakan, bahwa hak atas tanah papun yang ada pada seseorang tidaklah boleh dipergunakan (atau tidak dipergunakan) psemata-mata untuk kepentingan pribadinya. Pemakaian (atau tidak dipergunakan) tanah dengan cara merugikan atau menyebabkan dirugikanya masyarakat, tidak dapat dibenarkan. Hal ini berarti, bahwa tanah itu harus dipergunakan sesuai dengan keadaan dan sifat daripada haknya. Dengan demikian barulah penggunaan itu dapat bermanfaat, baik bagi yang punya, maupun bagi masyarakat dan negara. Pendek kata penggunaan hak milik ini haruslah disesuaikan pula dengan kepentingan masyarakat dan negara. Sebagai misal dapat dikemukakan, bahwa seseorang pemilik tanah pertanian tak dapat dibenarkan bilamana tidak mengerjakan tanahnya dan membiarkanya terlantar dalam waktu serba kekurangan bahan makanan bagi rakyat.[19]
2.4.2 Fungsi Sosio-Ekonomi Tanah
Dari aspek sosiologis-ekonomis, yaitu perkembangan masyarakat, ternyata pengalaman 40 tahun lebih melaksnakan UUPA, banyak hal yang menjadikan bangsa ini terpuruk dan jauh dari sejahtera karena tidak setia dengan apa yang telah dibuatnya sendiri karena berputar haluan mengikuti kehendak kapitalisme global, yakni dengan membuka diri dengan seluas-luasnya terhadap kiprah modal asing dan kebijakan ekonomi yang tidak populer dimata masyarakat. Pernyataanya adalah dengan adanya perananan modal asing yang tidak dapat dilepaskan dari upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat dan adanya kenyataan empiris bahwa kita telah masuk dalam putaran ekonomi global, apakah justru peranan negara sebagai pemegang amanah mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran bagi rakyat seharusnya dikembalikan pada tempatnya yang benar, yakni menjadi pelindung bagi kepentingan rakayat yang tidak berdaya karena berbagai kelemahan dan keterbelakanganya.[20]
Senada dengan fungsi sosial, fungsi ekonomi juga memegang peranan yang begitu penting dalam pelakasanaan Undang-Undang Agraria. Meski tidak memiliki suatu pasal khusus yang menjelaskan fungsi ekonomi secara spesifik, namun pada dasarnya apabila dipahami secara komprehensif mengenai UUPA No.5 Tahun 1960, secara tersirat dalam beberapa pasalnya telah ambil bagian mengenai fungsi ekonomi tanah, seperti pada beberapa pasal berikut:
1)      Pasal 26 ayat (1)
Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2)      Pasal 10 ayat (1)
Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan megerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.
3)      Pasal 11 ayat (1)
Hubungan hukum antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa serta wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur, agar tercapai tujuan yang disebut dalam pasal 2 ayat 3 dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas.
4)      Pasal 12 ayat (1)
Segala usaha bersama dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk gotong royong lainnya.
5)      Pasal 13 ayat (2)
Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
6)      Pasal 13 ayat (3)
Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.
7)      Pasal 13 ayat (4)
Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha di lapangan agraria.[21]
Dari beberapa pasal tersebut, pada dasarnya semua mengatur bagaimana suatu peraturan pertanahan dapat membawa keadilan dan kebaikan bagi masyarakat dalam berbagai keadaan ekonomi, dan disinilah fungsi ekonomi tersendiri bagi Undang-Undang Agraria.

2.5 Implementasi atas Asas Pertanahan, Fungsi Sosial dan Fungsi Sosio-Ekonomi Tanah Bagi Masyarakat Indonesia Sesuai dengan UUPA No. 5 Tahun 1960
2.5.1 Implementasi Asas Pertanahan Bagi Masyarakat Indonesia Sesuai dengan UUPA No. 5 Tahun 1960
Dalam UUPA dimuat sebelas asas dari Hukum Agraria Nasioanal. Asas-asas tersebut seperti yang telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya merupakan sebagai dasar dan dengan sendirinya harus menjiwai pelaksanaan dari UUPA dan segenap peraturan pelaksanaannya. Implementasi dari sebelas asas tersebut, adalah sebagai berikut:
a.      Asas Kenasionalan
Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan Tanah Air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Ini menunjukkan bahwa tanah bagi bangsa Indonesia mempunyai sifat komunalistik, artinya semua tanah yang ada dalam wilayah negara Republik Indonesia merupakan tanah bersama rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Tanah yang ada dalam wilayah Negara Republik Indonesia menjadi hak bagi bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja. Demikian pula, tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyatasli dari daerah atau pulau yang brsangkutan saja.
Tanah bagi bangsa Indonesia mempunyai sifat religious, artinya semua tanah yang ada didalam wilayah negara Republik Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Sifat religius ini merupakan  perwujudan dari dasar falsafah negara, yaitu Pancasila, terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan amanah Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia. Oleh karenanya, tanah harus digunakan dan diusahakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti terwujud kesejahteraan dan kebahagian bagi generasi sekaran maupun generasi yang akan datang.
Hubungan anatara bangsa Indonesia dan bumi, air, serta ruang angkasa Indonesia adalah bersifat abadi. Ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia masih ada pula, maka dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.
b.      Asas pada Tingkatan Tertinggi, Bumi, Air, Ruang Angkasa, dan Kekayaan Alam yang Terkandung di Dalamnya Dikuasai oleh Negara.
Hak menguasai dari Negara tersebut diatas ditunjukkan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti terwujud kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kekuasaan Negara tersebut mengenai semua bumi, air, dan ruang angkasa baik yang sudah dihaki maupun yang tidak dihaki. Kekuasaan negara mengaenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara tersebut.kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseoarng atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh.
Atas dasar hak menguasai dari negara tersebut, negara apat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hokum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai, atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu badan penguasa (departemen, jawatan atau daerah swatantra) untuk digunakan lagi pelaksanaan tugasnya masing-masing.
Dalam pelaksanaannya, hak menguasai dari negara tersebut dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat Hukum Adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurt ketentuan-ketentuan perqaturan pemerintah.
c.       Asas Mengutamakan Kepentingan Nasional dan Negara yang Berdasarkan atas Persatuan Bangsa daripada Kepentingan Perseorangan atau Golongan
Hak ulayat diakui keberadaaannya bagi suatu masyarakat Hukum Adat tertentu sepanjang kenyataan masih ada. Masih adanya hak ulayat pada suatu masyarakat tertentu, antara lain dapat diketahui dari kegiatan sehari-sehari Kepala Adat dalam kenyataannya masih diakui sebagai pengemban tugas kewenangan mengatur dan memimmpin penggunaan tanah ulayat, yang merupakan tanah bersama warga masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan. UUPA menetapkan bahwa pelaksanaan hak ulayat harus sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, berdasarkan atas persatuan bangsa, dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.
Pengakuan mengenai keberadaan hak ulayat masyarakat Hukum Adat sepanjang menurut kenyataan masih ada, artinya apabila kenyataan sudah tidak ada, maka hak ulayat masyarakat Hukum Adat tidak akan dihidupkan lagi dan tidak akan diciptkan hak ulayat baru. Sekalipun hak ulayat masih diakui keberadaannya dalam sistem Hukum Agraira Nasional akan tetapi dalam pelaksanaannya berdasarkan asas ini, maka untuk kepentingan pembangunan tidak dibenarkan jika masyarakat Hukum Adat berdsarkan hak ulayatnya menolak dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar, misalnya pembukaan areal pertanian baru, transmigrasi, dan resettlement. Pengalaman menunjukkan bahwa pembangunan daerah-daerah itu sendiri sering kali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat.
Kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan jika di dalam alam bernegara sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan-akan terlepas hubungan dengan masyarakt-masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya dalam lingkungan negara sebagai kesatuan. Ini tidak berarti bahwa kepentingan masyarakat hukum yang bersangkutan tidak diperhatikan sama sekali.
Asas mengutamakan kepentingan nasional dan negara daripada kepentingan pribadi ditemukan juga di dalam Pasal 18 UUPA, yaitu: “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.” Apabila kepentingan bangsa dan negara menghendaki diambilnya ha katas tanah, maka pemegang ha katas tanah harus melepaskan atau menyerahkan hak katas tanahnya melalui pencabutan hak atas tanah dengan pemberian ganti kerugian yang layak. Hak atas tanah yang ada pada seseoarang atau badan hukum tidak bersifat mutlak, melainkan berfungsi social, sehingga pemegang hak atas tanah harus mengedepankan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadinya. Meskipun kepentingan bangsa dan negara dikedepankan, tidak berarti kepentingan pribadi diabaikan begitu saja, melainkan pemegang ha katas tanah diberikan ganti kerugianyang layak. Pengambilan tanah-tanah hak untuk kepentingan bangsa dan negara dilakukan melalui mekanisme pencabutan ha katas tanah.
d.      Asas Semua Hak Atas Tanah Mempunyai Fungsi Sosial
Hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu digunakan (atau tidak digunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau ini merugikan masyarakat. Penggunaan tanah itu harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagian yang mempunyainya maupun bagi masyarakat dan negara.
Tetapi dalam pada itu, ketentuan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). UUPA memerhatikan pula kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga tercapai tujuan pokok, yaitu kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaanbagi rakyat seluruhnya.
Tanah harus dipelihara baik-baik agar bertambahnya kesuburan serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara ini tidak saja dibebankan kepada pemegang haknya, melainkan menjadi beban pula bagi setiap orang, badan hukum, atau instansi yang memiliki suatu hubungan hukum dengan tanah itu.
Asas fungsi sosial ha katas tanah juga ditemukan dalam Pasal 18 UUPA, yaitu: “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut , dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.” Dalam menggunakan hak atas tanah harus mengedepankan kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat daripada kepentingan pribadinya. Apabila kepentingan umum dikehendaki diambilnya hak atas tanah, maka pemegang hak atas tanah harus melepaskan atau menyerahkan hak atas tanah denganpemberian ganti rugi yang layak melauli mekanisme pencabutan hak atas tanah. Pemberian ganti kerugian yang layak merupakan pengakuan dan penghormatan terhadap hak individu hak atas tanah yang merelakan melepaskan atau menyerahkan hak atas tanah untuk kepentingan umum. Pengambilan tanah untuk kepentingan umum tanpa disertai pemberian ganti kerugian yang layak sama dengan perampasan hak atas tanah.
e.       Asas Hanya Warga Negara Indonesia yang Mempunyai Hak Milik Atas Tanah
Hak Milik tidak dapat dimiliki oleh orang asing dan pemindahan Hak Milik kepada orang asing dilarang dengan ancaman batal demi hukum.orang-orang asing hanya dapat mempunyai hak atas tanah dengan Hak Pakai dan Hak Sewa Untuk Bangunan yang luas dan jangka waktunya terbatas. Demikian pula, badan-badan hukum pada prinsipnya tidak dapat mempunyai tanah Hak Milik.
Adapun pertimbangan untuk melarang badan-badan hukum memiliki Hak Milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai Hak Milik tetapi cukup hak-hak lain, asal saja jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluannya yang khusus (Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan hak-hak lainnnya). Kecuali badan-badan hukum yang bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan dapat mempunyai Hak Milik atas tanah, sepanjang tanahnya diusahakan untuk usahanya dalam lapangan sosial dan keagamaan itu. Dalam hal-hal yang tidak berhubungan dengan bidang itu badan-badan hukum ini dianggap sebagai badan hukum biasa.
Dengan demikian, akan dapat dicegah usaha-usaha penyelundupan hukum yang bermaksud menghindari ketentuan-ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan Hak Milik.
f.       Asas Persamaan Bagi Setiap Warga Negara Indonesia
Dalam pada itu perlu diadakan perlindungan bagi golongan warga negara yang lemah terhadap sesama warga negara yang kuat kedudukan ekonominya. Ditentukan bahwa jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan Hak Milik serta pengawasannya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Ketentuan ini merupakan alat untuk melindungi golongan-golongan yang lemah.
Dalam hubungan itu dibuat ketentuan yang dimaksudkan mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agraria. Hal ini bertentangan dengan asa keadilan sosial yang berperikemanusiaan. Segala usaha bersam dalam lapangan agraria harus didasarkan atas kepepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional dan pemerintah berkewajiban mencegah adanya organisasi dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli swasta.
Bukan saja usah swasta, tetapi juga usaha-suaha Pemerintah yang bersifat monopoli harus dicegah jangan sampai merugikan rakyat banyak. Oleh karena itu, suaha-usaha pemerintah yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang-undang.
g.      Asas Tanah Pertanian Harus Dikerjakan atau Diusahakan Secara Aktif oleh Pemiliknya Sendiri dan Mencegah Cara-Cara yang Bersifat Pemerasan
Pelaksanaan asas tersebut, dewasa ini menjadi dasar hampir di seluruh dunia yang menyelenggarakan land reform atau agrarian reform and rural development, yaitu tanah pertaniaan harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri
Untuk mewujudkan asas ini diadakan ketentuan-ketentuan tentang batas maksimum atau minimum penguasaan/pemilikan tanah agar tidak terjadi penumpukan penguasaan/pemilikan tanah di satu tangan golongan mampu. Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan karena hal yang demikian itu merugikan kepentingan umum. Ketentuan tentang batas maksimum luas tanah yang bisa dimiliki seseorang dimaksudkan supaya ia mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan keluarganya. Ketentuan batas maksimum dan minimum pemilikan tanah pertaniaan diatur dalam pasal 17 UUPA.
Asas tanah pertaniaan harus dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif, mengandung pengertian bahwa tanah pertaniaan tidak boleh ditelantarkan oleh pemiliknya. Yang dimaksud tanah ditelantarkan adalah tanah yang tidak digunakan atau diusahakan sesuai dengan sifat, tujuan, dan keadaannya. Tanah yang ditelantarkan merupakan salah satu penyebab hapusnya hak asats tanah dan berakibat hak atas tanah kembali menjadi tanah yang dikuasai oleh negara atau tanah negara.
h.      Asas Tata Guna Tanah/Penggunaan Tanah Secara Berencana
Untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan negara dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana (planning­) mengenai peruntukan, pengguanaan, dan persediaan bumi, air, dan ruang angkasa untuk berbagai kepentinan hidup rakyat dan negara. Berdasarkan hierarkinya, rencana umum dibagi menjadi dua, yang pertama, rencana umum (national planning) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, dan kedua, rencana umum nasional diperinci menjadi rencana umum daerah (regional panning) dari tiap-tiap daerah. Rencana umum yang diatur adalah rencana umum dalam arti luas, yaitu rencana umum agraria, yang meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Rencana umum agraria ini dikenal dengan sebutan Agrarian Use Planning. Dengan adanya rencana (planning) itu, maka oenggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hinffa dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan rakyat.

i.        Asas Kesatuan Hukum
UUPA menetapkan mencabut peraturan dan keputusan agraria yang dibuat oleh peraturan Hindia-Belanda, dan bertujuan mengahapus dualisme hukum dan mengadakan kesatuan Hukum Pertanahan. Dengan dicabutnya peraturan dan keputusan yang dibuat oleh pemerintah Hindia-Belanda, maka terwujud kesatuan hukum, yaitu hanya ada satu hukum tanah yang berlaku di wilayah negara Republik Indonesia yang diatur dalam UUPA. Kesatuan hukum tersebut menliputi bidang-bidang, yaitu hukum, hak atas tanah, pendaftaran tanah, dan hak jaminan atas tanah.
Kesatuan hukum dalam hukum tanah diwujudkan dengan menjadikan hukum adat sebagai dasar bagi pembentukan hukum tanah nasional. Hukum Adat sebagai dasar bagi pembentukan Hukum Tanah Nasional dikarenakan Hukum Adat tentang tanah digunakan oelh sebagaian besar rakyat Indonesia.
j.        Asas Jaminan Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum
Hukum Tanah Kolonial bagi rakyat Indonesia asli tidak memberikan jaminan kepastian hukum disebabkan tanah-tanah yang dimiliki rakyat Indonesia tidak terdaftar. Kalaupun tanahnya didaftar tidak bersifat rechtscadaster, melainkan fiscaalcadaster, yaitu pendaftaran tanah yang dilaksanakan tidak bertujuan memberikan jaminan kepastian hukum, melainkan bertujuan untuk menetapkan wajib pajak atas tanah.
Jaminan kepastian hukum merupakan salah satu tujuan diundangnya UUPA, yakni meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Untuk mewujudkan jaminan kepastian hukum dilakukan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan yang diperintahkan oleh UUPA dan isinya tidak bertentangan dengan UUPA. Selain itu, dilakukan melalui pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia yang bersifat rechtscadaster.
Asas perlindungan hukum ditemukan dalam pasal 18 UUPA, yaitu meskipun hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, tidak berarti kepentingan pemegang hak atas tanah diabaikan begitu saja. Dalam rangka memberikan penghormatan dan perlindungan hukum, hak atas tanah tidak dapat begitu saja diambil oleh pihak lain meskipun itu untuk kepentingan umum. Kepada pemegang hak atas tanah diberikan ganti kerugian yang layak, artinya kehidupan pemegang hak atas atanh harus lebih baik setelah hak atas tanah diambil oleh pihak lain.
k.      Asas Pemisahan Horizontal
Implementasi dari asas pemisahan horizontal adalah Hak Sewa Untuk Bangunan, yaitu seseorang atau badan hukum menyewa tanah milik orang lain yang kosong atau tidak ada bangunannya dengan membayar sejumlah uang sebagai uang sewa yang besarnya ditetapkan atas dasar kesepakatan, untuk jangka waktu tertentu, dan penyewa diberi hak mendirikan bangunan yang digunakan untuk jangka waktu tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Dalam Hak sewa Bangunan ada pemisahan secara horizontal antara pemilikan tanah dengan pemilikan bangunan yang ada di atasnya, yaitu tanahnya milik pemilik tanah, sedangkan bangunannya milik penyewa tanah.
Ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam undang-undang pokok agraria (UUPA) hanyalah asas-asas dan soal-soal agraria dalam garis besarnya saja, dan oleh karena itu disebut undang-undang pokok. Pengertian pokok dalam UUPA menunjukkan bahwa substansi yang diatur dalam UUPA hanyalah ketentuan-ketentuan pokoknya. Jadi, kata pokok dalam UUPA bukan menunjuk pada jenis peraturan perundang-undangan. Maksud pembentuk UUPA menempatkan UUPA sebagai peraturan inti yang hanaya berfungsi mengatur hal-hal yang pokok tentang agraria. UUPA sebagai undang-undang induk yang harus dijadikan acuan bagi undang-undang lain yang berkaitan dengan agraria. UUPA juga sebagai undang-undang yang meletakkan dasar-dasar bagi pembentukan undang-undang lain yang berkaitan dengan agraria. UUPA masih membutuhkan peraturan pelaksanaan baik yang berbentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden maupun peraturan daerah. Peraturan tersebut bersifat melaksanakan, menjabarkan, dan melengkapi kehendak pasal-pasal dalam UUPA.
Dalam upaya menyusun peraturan perundang-undangan yang diperintahkan oleh UUPA harus memerhatikan sinkronisasi baik secara vertikal maupun horizontal sesuai dengan ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia yang mencabut ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPRGR mengenai sumber tertib hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan RI. Tata urutan peraturan perundan-undangan RI menurut ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 adalah undang-undang dasar, ketetapan MPR RI, undang-undang, peraturan pemerintah, pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, dan peraturan daerah. Dalam undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, ditetapkan bahwa jenis peraturan perundang-undangan secara berurutan adalah undang-undang dasar, undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan daerah. UUPA masih membutuhkan peraturan pelaksanaan yang berbentuk undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan daerah.

2.5.2 Implementasi Fungsi Sosial dan Sosio-Ekonomi Tanah Bagi Masyarakat Indonesia Sesuai dengan UUPA No. 5 Tahun 1960
1)      Implementasi Fungsi Sosial
Dalam membahas implementasi fungsi sosial tanah yang sebelumnya telah diuraiakan mengenai dasarnya pada UUPA No. 5 Tahun 1960. Dan selanjutnya diuraikan mengenai implementasinya, dan penjelasanya sebagai berikut.
a.       Hukum Adat Tidak Boleh Bertentangan dengan “Sosialisme Indonesia”
Tentang penyesuaian hukum adat dengan prinsip sosialisme Indonesia, pembuat UUPA telah memberik penegasanya. Antara lain telah dikemukakan bahwa hukum adat yang diwariskan oleh suatu sistem hukum sediakala acapkali dipengaruhi oleh politik dan masyarakat kolonial. Masyarakat ini adalah masyarakat kapitalis. Pandangan ini memang tak dapat disangkal mempunyai pokok kebenaran. Memang masyarakat kolonial adalah masyarakat yang kapitalis. Sistem ekonomi didasarkan atas liberalisme-kapitalis. Perundang-undangan agraria di tahun 1870 yang diwarisi kepada kita didasarkan melulu  atas sendi-sendi “Laizes Faire, Laizes Aller”. Inisiatif partikelir yang di kedepankan dan hendak diperkembangkan oleh peraturan Agraria Hindia Belanda ini. Perundang-undangan agraria tahun 1870 ini harus dilihat sebagai reaksi terhadap sistem campur tanganya penguasa dalam pertanian dengan Culturstelselnya yang terkenal keburukan-keburukanya. Pihak penguasa swasta telah berhasil dalam perjuangan mereka untuk membuka perusahaan-perusahaan perkebunan besar di negeri ini. Dalam pada itu teranglah bahwa paham-paham liberalisme dan kapitalisme yang dijadikan pegangan oleh penguasa dalam pembuatan peraturan-peraturan di lapangan agraria.
b.      Peraturan-Peraturan Lama Yang Bersifat Sosialis
Tetapi, tidak dapat disangkal pula bahwa berbagai peraturan telah diadakan dengan maksud untuk menghindarkan bahwa pihak ekonomis lemah dijadikan korban semata-mata oleh pihak ekonomis kuat. Dalam hubungan ini dapat kiranya ditunjuk peraturan tentang Larangan Pengasingan Tanah, Staatsblad 1875 no. 179. Dngan adanya peraturan ini diharapkan bahwa proses depossesering daripada petani Indonesia dapat dihalangi. Jika diadakan perbandingan dengan keadaan di lain-lain negara Asia, misalnya Tiongkok dan India, tampaklah bahwa pada taraf tertentu, politik memperlindungi pihak petani kecil ini telah berhasil. Dibandingkan dengan keadaan dalam negara-negara yang disebut tadi, di Indonesia tidak terdapat persoalan “grootgrondbezit” yang demikian besar seperti terdapat pada negara-negara tersebut.
Juga lain-lain peraturan, misalnya seperti Fabriekenordonnantie dan Braakhuurordonnantie dapat dipandang sebagai peraturan-peraturan yang memperlihatkan unsur-unsur untuk memperlindungi rakyat yang ekonomis lemah terhadap eksploitasi oleh penguasa-penguasa pertanian besar.
c.       Sifat Liberalismenya Tidak Dapat Disangkal
Di lain pihak tak dapat disangkal bahwa sistem yang dianut dalam keseluruhanya adalah sistem kapitalis-liberalis. Dan hukum yang diciptakan terpengaruh pula oleh sistem yang dianut ini. Demikian juga sistem hukum adat yang berlaku dapat dikatakan terpengaruh pula oleh pandangan masyarakat yang kapiltalis dan feodal itu. Dalam hukum adat di sana sini kita saksikan corak-corak feodal yang kini tidak sesuai zaman. Oleh pembuat undang-undang tidak diberikan model tentang ini.

d.      Contoh Segi-Segi Feodalisme: Hak-Hak Konversi di Vorstenlanden
Sebagai contoh tentang corak-corak feodal dalam hukum adat ini dapat kiranya kami menunjuk kepada keadaan hukum di wilayah vorstenlanden sebelum revolusi nasional. D sana terdapat suatu keadaan yang khususnya berkenaan dengan hukum pemakaian tanah oleh penguasa-penguasa perkebunan besar dan rakyat jelata. Setelah diadakan reorganisasi agraria di swapraja ini, telah di introdusir suatu hak atas tanah dari penguasa kebun besar Barat yang terkenal dengan nama “hak konversi” (conversierechten). Seluruh stelsel hukum tanah yang berkenaan dengan konversi di swapraja Yogyakarta dan Surakarta ini memperlihatkan ciri-ciri yang feodal. Dalam sistem ini maka si penguasa Barat yang mengadakan perjanjian dengan swapraja dan pejabat-pejabatnya, memperoleh tanah dan air berikut buruh yang mengerjakanya. Buruh ini dipekerjakan secara paksa dan tanpa bayaran. Rakyat turut ikut bekerja paksa dan tak dibayar bagi para pengusaha Barat yang menyewa tanah dari pemangku-pemangku jabatan feodal. Sistem konversi ini hanya dapat berjalan karena disandarkan atas pengertian feodal, bahwa semua tanah itu pada hakikatnya berada dalam kekuasaan sultan. Rakyat hanya dapat dipandang seolah-olah merupakan “pachter” yang memberikan hasil separoh pekerjaanya kepada “Raja” itu. Dalam hubungan ini adalah terkenal dengan sistem apanage dan para bekel-bekel yang mengeruk keuntungan dari hasil perkerjaan penduduk tanah yang besangkutan. Hak-hak konversi ini menurut semula kan berlangsung untuk 50 tahun lamanya (mulai dari kira-kira tahun 1926 hingga lebih kurang tahun 1975). Tetapi kita saksikan dari kenyataan, bahwa sistem feodal yang bersandarkan keadaan hukum adat setemoat ini tidak dapat dipertahakan lebih lama. Maka sesuai dengan panggilan zaman, tatkala Republik Indonesia masih berada di tengah-tengah perjuangan mati-matianuntuk mempertahakankan kehidupanya, kita saksikan, bahwa hak-hak konversi yang bercorak feodal ini telah dibongkar dan dicabut sampai akar-akarnya.
Dengan undang-undang no. 13 tahun 1948 telah dihapuskan pasal-pasal dalam Vorstenlandse Grondhuureglement yang merupakan dasar daripada hak-hak konversi ini. Kemudian telah diadakan peraturan-peraturan berikutnya, yakniperaturan tentang “penambahan dan pelaksnaan undang-undang Nomor 13 tahun 1948 tentang perubahan Vorstenlandse Grondhuureglement” dengan undang-undang no. 5 tahun 1950.
Dengan lembaga hak-hak konversi pada Swapraja Yogyakarta dan Surakarta ini, kita telah memperleh contoh tentang corak-corak feodal yang kadang-kadang terdapat pada hukum adat setempat.
Dalam UUPA secara tegas ditentukan, bahwa tidaklah dapat dipertahankan berlaku terusnya corak-corak feodal dalam hukum adat setempat yang berkenaan dengan hak-hak atas tanah ini.
e.       Istilah “Sosialisme Indonesia” dalam UUPA
Sifat sosialisme dalam UUPA ini dapat kita saksikan dalam berbagai bagian tertentu. Berkali-kali kita ketemukan istilah “Sosialisme Indonesia” ini dalam UUPA, antaranya dalam pasal 5 (hukum adat yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan “sosialisme Indonesia”) dan pasal 14 (pemerintah akan membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa dalam rangka “sosialisme Indonesia”).
Selain daripada disebut secara tegas, maka unsur sosialisme ini dapat kita lihat pula dari berbagai bagian lain.
f.       Asas Keadilan Sosial dalam Pancasila
Dalam pertimbangan-pertimbangan konsiderans dari UUPA ini telah dikemukakanya bahwa UUPA ini harus didasarkan tas pancasila yang sila kelimanya ialah Keadilan Sosial.
g.      Fungsi sosial dari hak-hak atas tanah
Lebih jauh kita saksikan bahwa secara tegas dinyatakan “semua hak atas tanah mempunyai “fungsi sosial” (pasal 6). Dalam memori penjelasan ditegaskan apakah yang diartikan dengan pertanyaan ini. Ketentuan ini bukan hanya merupakan suatu pertanyaan demonstratif belaka! Secara tegas dinyatakan, bahwa hak atas tanah papun yang ada pada seseorang tidaklah boleh dipergunakan (atau tidak dipergunakan) psemata-mata untuk kepentingan pribadinya. Pemakaian (atau tidak dipergunakan) tanah dengan cara merugikan atau menyebabkan dirugikanya masyarakat, tidak dapat dibebarkan. Hal ini berarti, bahwa tanah itu harus dipergunakan sesuai dengan keadaan dan sifat daripada haknya. Dengan demikian barulah penggunaan itu dapat bermanfaat, baik bagi yang punya, maupun bagi masyarakat dan negara. Pendek kata penggunaan hak milik ini haruslah disesuaikan pula dengan kepentingan masyarakat dan negara. Sebagai misal dapat dikemukakan, bahwa seseorang pemilik tanah pertanian tak dapat dibenarkan bilamana tidak mengerjakan tanahnya dan membiarkanya terlantar dalam waktu serba kekurangan bahan makanan bagi rakyat.
Dari beberapa uraian mengenai implementasi fungsi sosial tersebut, dapat membawabeberapa dampak yang diantaranya andalah:
h.      Tanah harus dipelihara dengan baik
Karena fungsi sosial ini pun tanah harus dipelihara dengan baik-baik oleh setiap orang yang bersangkutan. Tanah harus dipelihara sedemikian rupa hingga kerusakan dicegah dan kesuburanya bertambah. Siapa saja yang mempunyai sesuatu hubungan hukum dengan tanah bersangkutan harus memeliharanya (pasal 15 UUPA). Bukan hanya sipemiliknya. Sifat sosialisme tampil ke muka lagi dalam rangka pasal 15 ini. Dikemukakan di sini bahwa kewajiban untuk memelihara tanah dengan baik-baik ini akan diperhatikan supaya dapat berlangsung “naar draagkracht”. Dinyatakan bahwa dalam pelaksanaan ketentuan itu akan diperhatikan kepentingan pihak atau mereka yang ekonomis lemah.
i.        Hak perorangan atas tanah diperhatikan
Apakah fungsi sosial setiap hak tanah berarti bahwa kepentingan perseorangan tidak ada artinya sama sekali? Tidak! Dengan nyata dijelaskan, bahwa tidaklah benar jika dikemukakan, bahwa tidak ada sama sekali tempat bagi kepentingan perseorangan. Tidak pada tempatnya untuk mengatakan bahwa kepentingan perseorangan ini terdesak sama sekali oleh kepentingan masyarakat. Dalam UUPA diperhatikan pula kepentingan dari perseorangan.
Dalam memori penjelasan dikemukakan tentang pasal 6 ini, bahwa harus diadakan keseimbangan di antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum. Kedua-duanya ini harus “saling mengimbangi”. Dengan demikianlah baru dapat diharapkan tercapainya cita-cita yang luhur yakni kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat (pasal 2 ayat 3 UUPA).[22]
2)      Implementasi Fungsi Sosio-Ekonomi
Dalam membahas implementasi fungsi ekonomi tanah yang sebelumnya telah diuraiakan mengenai dasarnya pada UUPA No. 5 Tahun 1960. Dan selanjutnya diuraikan mengenai implementasinya, dan penjelasanya sebagai berikut.
a.       Pihak yang Ekonomi Lemah Tetap Diperlindungi
Hal ini tidak berarti bahwa kepada warga negara yang lemah ekonominya tidak diberikan perlindungan sama sekali. Mereka yang terhitung ekonomis lemah masih perlu dapat perlindungan. Oleh karena itu kita saksikan bahwa penguasa akan mengadakan pengawasan terhadap segala perbuatan yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik atas tanah. Jual beli, penukaran, penghibaan, pemberian dengan wasiat dan segala perbuatan lainya yang dimaksudkan untuk mengalihkan hak milik kepada pihak lain, akan diawasi oleh pemerintah. Untuk itu akan diadakan peraturan tersendiri (pasal 26 ayat 1 UUPA). Dengan demikian diharapkan agar pihak yang benar-benar lemah ekonominya tidak menjadi korban dari mereka yang ekonominya kuat.
b.      Pengawasan atas Peralihan Hak Milik
Oleh karena itu adanya pada tempatnya untuk minta perhatian pula untuk apa yang telah diutarakan berkenaan dengan hal tersebut dalam seminar tentang Landreform yang diadakan di Kebayoran pada bulan Oktober-November 1960. Oleh seminar tersebut telah diambil keputusan untuk menganjurkan kepada pemerintah agar melakukan pengawasan yang sebaik-baiknya tas tiap-tiap peralihan hak setelah 24 September 1960 (tanggal mulai berlakunya UUPA). Diusulkan agar dilarang saja semua peralihan hak milik. Satu dan lain karena dengan masih diperbolehkanya peralihan hak milik kepada pihak-pihak ini dalam praktik akan diselundupkan ketentuan-ketentuan dalam UUPA tentang asas-asas Landreform. Dikhawatirkan bahwa dengan masih diperbolehkanya peralihan hak ini, maka pemilik-pemilikdari bidang-bidang tanah yang luas-luas akan mengadakan pemecahan-pemecahan (verkavelingen) tanah0tanah mereka hingga menjadi persil-persil kecil-kecil. Dengan demikian mereka ini hendak mencoba meloloskan diri dari apa ayang ditentukan dalam pasal 10 UUPA tentang batas-bats maksimum luasnya tanah yang dapat dipunyai oleh seseorang. Juga perlu dihindarkan adanya pemecahan-pemecahan dari bidang-bidang tanah oleh yang bersangkutan hingga menjadi kecil-kecil dan di bawah batas-batas minimum.
c.       Pemerasan harus dicegah
Berkenaan dengan pengawasan dan perlindungan yang akan diadakan oleh penguasa ini dapat ditunjuk pula pada ketentuan-ketentuan yang mengemukakan bahwa harus dicegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas (pasal 11 ayat 1). Segala usaha di bidang agraria yang mengakibatkan bahwa orang-orang lain diperas, adalah bertentangan dengan jiwa pembuat UUPA. Penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas harus dicegah. Pemerasan ini adalah bertentangan dengan asas keadilan sosial dan perikemanusiaan.
d.      Usaha bersama berdasarkan kepentingan bersama
Uasaha bersama di bidang agraria harus didasarkan atas kepentingan bersama. Segala sesuatu ini harus disesuaikan pula dengan kepentingan nasional (pasal 12 ayat 1).


e.       Monopoli swasta tidak diperbolehkan
Pemerintah menghindarkan terbentuknya organisasi dan usaha perseorangan dalam bidang agraria yang bersifat monopoli swasta. Demikian ditentukan dalam pasal 13 ayat 2. Pemerintah masih diperbolehkan mengadakan usaha-usaha monopoli.
Pihak swasta tidak boleh bermonopoli di bidang agraria. Tetapi bukan usaha swasta yang monopolistis saja yang dicegah. Juga harus dilihat supaya usaha-usaha pemerintah yang monopolistis tidak merugikan rakyat. Karenanya penyeenggaraan uasaha-usaha pemerintah yang bersifat monopoli hanya dapat berlangsung dengan adanya undang-undang (pasal 13 ayat 3).
Dalam melakukan tugasnya sebagai pengawas ini, pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial di bidang perburuhan berkenaan dengan usaha-usaha agraria (pasal 13 ayat 4).[23]













BAB 3. PENUTUP
3.1 Simpulan
Asas pertanahan perupakan suatu prinsip yang fundamental atau kebenaran umum yang dijadikan sebagai tumpuan berpikir, berpendapat, dan bertindak dalam menangani suatu aspek pertanahan sebagai lahan hidup manusia dengan berbagai perangkat kandunganya.
Asas pertanahan dalam peraturan Undang-Undang Agraria Indonesia merupakan suatu dasar atau petunjuk bagi hukum yang konkret mengenai pertanahan yang terwujud dalam UUPA No. 5 Tahun 1960.
Dalam UUPA dimuat sebelas asas dari Hukum Agraria Nasioanal. Asas-asas ini karena sebagai dasar dengan sendirinya harus menjiwai pelaksanaan dari UUPA dan segenap peraturan pelaksanaannya.
Fungsi sosial dapat diartikan sebagai kegunaan suatu hal bagi hidup suatu masyarakat[24]. Sehingga dapat dikatakan bahwa fungsi sosial adalah suatu kegunaan yang melekat pada suatu hal yang memiliki kegunaan pada suatu perkumpulan individu-individu yang membentuk suatu kolektif kelompok, yang tentunya kegunaan tersebut adalah mengakomodasi suatu kepentingan bersama atau kepentingan sosial.
Menurut sejarahnya, fungsi sosial lahir di Barat merupakan reaksi terhadap pelaksanaan/penggunaan hak milik secara berlebihan sehingga menimbulkan kerugian kepentingan bagi orang lain. Sejarah hukum mengenalnya sebagai suatu penyalahgunaan hak (misbruik van eigendomsreicht).[25]
Dalam paparan UUPA No. 5 Tahun 1960, terdapat apa yang disebut sebagai fungsi sosial tanah. Hal tersebut teruraiakan pada pasal 6, UUPA No. 5 Tahun 1960 yang menyebutkan “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.[26]
Maksud dari pasal 6, UUPA No. 5 Tahun 1960 tersebut telah teruraikan melalui Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pada Penjelasan Umum III (4), yang menerangakan bahwa (Dasar yang keempat diletakkan dalam pasal 6, yaitu bahwa: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”).
Dari aspek sosiologis-ekonomis, yaitu perkembangan masyarakat, ternyata pengalaman 40 tahun lebih melaksnakan UUPA, banyak hal yang menjadikan bangsa ini terpuruk dan jauh dari sejahtera karena tidak setia dengan apa yang telah dibuatnya sendiri karena berputar haluan mengikuti kehendak kapitalisme global, yakni dengan membuka diri dengan seluas-luasnya terhadap kiprah modal asing dan kebijakan ekonomi yang tidak populer dimata masyarakat. Pernyataanya adalah dengan adanya perananan modal asing yang tidak dapat dilepaskan dari upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat dan adanya kenyataan empiris bahwa kita telah masuk dalam putaran ekonomi global, apakah justru peranan negara sebagai pemegang amanah mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran bagi rakyat seharusnya dikembalikan pada tempatnya yang benar, yakni menjadi pelindung bagi kepentingan rakayat yang tidak berdaya karena berbagai kelemahan dan keterbelakanganya.[27]

3.2 Saran
Dalam penyebutanya, yaitu apa yang dikatakan sebagai asas merupakan suatu tumpuan berpikir, berpendapat, dan bertindak dalam mengerjakan suatu hal. Dan dalam hal ini lebih spesifik digunakan untuk permasalahan pertanahan. Asas pertanahan digunakan sebagai suatu pedoman dari hukum yang konkret untuk dilaksanakan pada tindakan masyarakat dalam hal pertanahan supaya tetap dalam aturan negara.
Sedangkan fungsi sosial, merupakan suatu kegunaan dalam hal ini adalah undang-undang atau hukum konkret tersebut bagi kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Ketika menilai kedua hal tersebut, sesungguhnya pada dasarnya bagaimana suatu aturan tersebut dapat mengatur dan berfungsi sebagaimana mestrinya, untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam menjalankan aktivitas kehidupanya di atas muka bumi atau yang berhubungan dengan pertanahan.
Suatu undang-undang yang sudah tersusun dengan baik, hendaknya bukanlah hanya menjadi hiasan formalitas belaka. Yang menjadi seharusnya terjadi adalah bagaimana tujuan dan fungsi tersebut dapat terwujud dengan baik sesuai dengan harapan setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu perlu adanya suatu sinergi yang terbentuk antara penyelenggara hukum dengan masyarakat sebagai objek hukum, sehingga apa yang diharapkan dapat terlaksana dengan baik, tentunya dengan ketertiban yang seharusnya terjadi.












DAFTAR PUSTAKA
Gautama, Sudargo., Soetijarto, T. Ellyda. 1997. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria (1960) dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaanya (1996). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Hlm. 16-20.
http://www.kbbi.web.id/asas. [29 September 2015].
http://kbbi.web.id/fungsi. [10 Oktober 2015].
http://kbbi.web.id/sosial. [10 Oktober 2015].
.......... 2012. Pengertian dan Definisi Sosial Menurut Para Ahli. https://buntokhacker.wordpress.com/materi-pemelajaran/sosial/pengertian-dan-definisi-sosial-menurut-para-ahli/. [10 Oktober 2015].
Malayu, S. P Hasibuan. 2006. Menejemen - Dasar, Pengertian, dan Masalah. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Serizawa, Ali. 2014. Pengertian Asas Hukum dan Contohnya.
Santoso, Urip. 2012. Hukum Agraria-Kajian Komprehensif. Jakarta: Kencana.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 No. 104-TLNRI No. 2043.



[1] http://www.kbbi.web.id/asas. [29 September 2015].
[2] Malayu, S. P Hasibuan. 2006. Menejemen - Dasar, Pengertian, dan Masalah. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Hlm. 9.
[3]
[4] http://www.kbbi.web.id/asas. [29 September 2015].
[5] Malayu, S. P Hasibuan. 2006. Menejemen - Dasar, Pengertian, dan Masalah. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Hlm. 9.
[6]
[7] Serizawa, Ali. 2014. Pengertian Asas Hukum dan Contohnya. http://www.hukumsumberhukum.com/2014/06/apakah-itu-asas-hukum.html#_. [10 Oktober 2015].
[8] Santoso, Urip. 2012. Hukum Agraria-Kajian Komprehensif. Jakarta: Kencana. Hlm. 53-66.
[9] http://kbbi.web.id/fungsi. [10 Oktober 2015].
[11] http://kbbi.web.id/sosial. [10 Oktober 2015].
[12] .......... 2012. Pengertian dan Definisi Sosial Menurut Para Ahli. https://buntokhacker.wordpress.com/materi-pemelajaran/sosial/pengertian-dan-definisi-sosial-menurut-para-ahli/. [10 Oktober 2015].
[14] Hlm. 178-179.
[15] Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 No. 104-TLNRI No. 2043.
[16] Santoso, Urip. Hukum Agraria – Kajian Komprehensif. 2012. Jakarta: Kencana.Hlm. 352-353.
[17] Santoso, Urip. Hukum Agraria – Kajian Komprehensif. 2012. Jakarta: Kencana.Hlm. 89-92.
[18] Gautama, Sudargo., Soetijarto, T. Ellyda. 1997. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria (1960) dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaanya (1996). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Hlm. 189.
[19] Ibid. Hlm. 20.
[20] Hlm. 193-194.
[21] Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 No. 104-TLNRI No. 2043.
[22] Gautama, Sudargo., Soetijarto, T. Ellyda. 1997. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria (1960) dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaanya (1996). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Hlm. 16-20.
[23] Gautama, Sudargo., Soetijarto, T. Ellyda. 1997. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria (1960) dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaanya (1996). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Hlm. 65-66.
[25] Hlm. 178.
[26] Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 No. 104-TLNRI No. 2043.
[27] Hlm. 193-194.

1 komentar:

Unordered List

Sample Text

Sample text

Total Tayangan Halaman

Social Icons

Blogger templates

Feature (Side)

Blogger news

Pages

AD (728x90)

Diberdayakan oleh Blogger.

Wikipedia

Hasil penelusuran

Pengikut

Featured Posts

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget