BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pergolakan
merupakan suatu keadaan yang tidak tenang, tidak kondusif, terjadi kekeruhan
suasana sehingga tidak terkendali seperti yang diinginkan. Dalam pendapat awam,
pergolakan lebih diidentikkan kepada suatu keadaan huru-hara atau terjadi
pertikaian fisik yang tidak terkendalikan untuk suatu alasan.
Dalam
membahas suatu kasus pergolakan, memang perlu menggunakan berbagai teropong
sudut pandang akan pergolakan yang terjadi, sehingga dapat dimunculkan esensi
dan realitas dari pergolakan.
Negara
Ethiopia merupakan salah satu negara benua Afrika yang berada di daerah Timur
benua, yang menjadi sosorotan dengan gejolak pergolakan yang terjadi pada
negara tersebut. Meskipun dalam perjalananya, negara Ethiopia merupakan negara
yang masih merdeka dengan saat yang sama daerah-daerah lain di Afrika telah
berada di tangan bangsa Eropa.
Runtutan
konflik yang terjadi di Etiopia, merupakan suatu alur cerita yang
sambung-menyambung. Dikatakan demikian karena permasalahan yang timbul dan yang
diatasi bukanlah dalam satu periode waktu saja, melainkan permasalahn yang
menimbulkan efek berkepanjangan, terutama mengenai wilayah.
Dalam
masa kolonial, dengan segala perjuangan dan tekanan dari penguasa barat di
daerah sekitar Ethiopia, akhirnya berimbas pada daerah Ethiopia. Yang tadinya
tidak termasuk kawasan jajahan, dalam selang beberapa tahun dalam dalam
beberapa waktu Ethiopia berada di bawah kekuasaan barat. Namun tidak lama
kemudian Ethiopia mendapatkan kebebasanya kembali dengan berbagai campur tangan
bangsa barat.
Dengan
keadaan bebas, bukan berarti keadaan etiopia terus kondusif. Melainkan
memunculkan kondisi gejolak baru dengan wujud pergolakan diantara Ethiopia
dengan daerah-daerah sekitarnya, yang memang sebelunya terbagi secara sepihak
oleh bangsa barat.
Oleh
karena itu, perlu adanya suatu pembahasan lebih mendalam akan gejolak
pergolakan yang ada di Ethiopia. Sehingga dapat dipahami lebih jauh akan kasus
berkepanjangan yang terjadi di Ethiopia.
1.2 Rumusan Masalah
Dari
latar belakang yang ada, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1) Apa
yang dimaksud dengan pergolakan?
2) Bagaimanakah
negara Ethiopia?
3) Apa
yang melatar belakangi terjadinya pergolakan di Ethiopia?
4) Bagaimana
proses pergolakan di Ethiopia terjadi?
5) Bagaimana
akhir dari pergolakan di etiopia dan dampaknya?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, maka tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1) Mengetahui
dan memahami dengan apa yang dimaksud dengan pergolakan;
2) Mengetahui
dan memahami mengenai Ethiopia dan posisinya dalam kawasan Tanduk Afrika;
3) Mengetahui
dan memahami latar belakang dari pergolakan yang terjadi di Etiophia;
4) Mengetahui
dan memahami proses dari pergolakan kyang terjadi di Ethiopia;
5) Mengetahui
dan memahami akhir dan dampak dari pergolakan yang terjadi di Ethiopia.
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, maka manfaat dari pembuatan makalah ini adalah:
1) Dapat
mengetahui dan memahami lebih jauh akan pengertian pergolakan;
2) Dapat
mengetahui dan memahami lebih jauh akan negara Ethiopia serta posisinya di
Tanduk Afrika;
3) Dapat
mengetahui dan memahami lebih jauh mengenai latar belakang dari terjadinya
pergolakan di Ethiopia;
4) Dapat
mengetahui dan memahami lebih jauh mengenai proses dari pergolakan yang ada di
Ethiopia;
5) Dapat
mengetahui dan memahami lebih jauh mengenai akhir dan dampak dari pergolakan di
Ethiopia.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pergolakan
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, pergolakan diartikan sebagai keadaan tidak
tenang, kekeruhan di lapangan politik, huru-hara, dan lain sebagainya[1]
Dari
artian tersebut dapat diuraikan bahwa yang dinamakan suatu keadaan bergolak,
merupakan suatu keadaan yang tidak kondusif atau tidak dapat dikendalikan untuk
suatu perdamian. Dalam keadaan yang bergolak dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, sesuai dengan wujud manifestasi dari pergolakan itu sendiri.
Pada
intinya pergolakan merupakan suatu keadaan yang tidak tenang, tidak kondusif,
terjadi kekeruhan suasana sehingga tidak terkendali seperti yang diinginkan.
Dalam pendapat awam, pergolakan lebih diidentikkan kepada suatu keadaan
huru-hara atau terjadi pertikaian fisik yang tidak terkendalikan untuk suatu
alasan.
2.2 Negara Ethiopia
Republik Demokratik Federal Etiopia atau Etiopia adalah sebuah negara
yang terletak di Afrika.
Etiopia mempunyai salah satu sejarah terlengkap sebagai negara merdeka di benua
tersebut. Merupakan negara tertua di dunia, kawasan Etiopia juga merupakan
salah satu tempat peradaban yang terawal di dunia. Pemerintahan Etiopia pertama
dibentuk sekitar tahun 980 SM
dan menerima agama Kristen
pada abad ke-4 M. Negara ini cukup unik jika dibandingkan dengan negara-negara
Afrika lainnya karena tidak pernah dijajah selama masa Perebutan Afrika,
dan terus merdeka hingga tahun 1936,
saat pasukan Italia
menguasai negara tersebut. Pasukan-pasukan Britania Raya
dan Etiopia mengalahkan tentara Italia pada 1941, dan Etiopia memperoleh
kembali kedaulatannya setelah menanda tangani Perjanjian
Britania-Etiopia pada Desember 1944. Etiopia dulu pernah
bernama Abisinia. Dan Ethiopia berada di daerah yang dikenal sebagai Tanduk
Afrika.
Saat ini Etiopia
merupakan negara berbentuk republik dan mengambil bagian secara aktif dalam
aktivitas-aktivitas kerjasama internasional. Ibukotanya, Addis Ababa
merupakan pusat administrasi Kesatuan Afrika
(AU).
Nama
"Etiopia" konon berasal dari "Ityopp'is", yaitu nama anak
cucu Ham,
pembentuk kota Aksum. Nama lama "Abbesinia" atau "Habsyah"
berasal dari kelompok suku Habesha, yaitu kaum yang mendiami kawasan
Etiopia sejak tahun 3000 SM.[2]
Kaisar terakhir Ethiopia adalah
Haile Selassie I. Dia digulingkan pada tahun 1974 dalam sebuah kudeta militer
yang dipimpin oleh perwira tentara komunis. Tahun berikutnya, raja berusia 83
tahun itu dibunuh atas perintah penguasa baru. Rezim ini memerintah Ethiopia
dengan tangan besi sampai tahun 1991, ketika digulingkan oleh pasukan
pemberontak. Sejak saat itu, para pemimpin Ethiopia harus berhadapan dengan
negerinya yang hancur oleh kelaparan, perang saudara, dan hilangnya wilayah
utara, Eritrea.
·
Letak
Geografi Ethiopia
Ethiopia
terletak di belahan Afrika Bagian Timur (Tanduk Afrika). Letak Geografis dan
Penduduk Ethiopia berbatasan dengan Somalia, Kenya, Sudan, Eritrea dan
Djibouti, dengan luas wilayah 1.127.127 km2.[3]
·
Penduduk
Medan Ethiopia yang sangat kasar
telah mengisolasi banyak orang dan seringkali malah melestarikan cara hidup dan
bahasa kuno mereka. Ada tiga kelompok utama di Ethiopia, yakni orang Oromo,
Amhara, dan Tigray. Nenek moyang orang Amhara dan Tigray berasal dari Arab
selatan. Mereka umumnya berkulit gelap dan berpostur ramping. Mereka mendiami
bagian utara negara itu. Ada juga sejumlah orang berkulit hitam Nilotik dan
nomaden Somalia. Orang Somalia hidup terutama di wilayah Ogaden di tenggara
Ethiopia.
Selama berabad-abad, keluarga
penguasa Ethiopia berasal dari suku Amhara. Sampai tahun 1974, bahasa Amhar
adalah bahasa resmi Ethiopia. Saat ini, bahasa utama Ethiopia selain Amhar
adalah bahasa Tigrinya, Gallinya, dan Arab. Bahasa Amhar berasal dari bahasa
Semit kuno yang disebut Ge’ez dan digunakan dalam peribadatan Gereja Ortodoks
Ethiopia.
Sekitar 45 persen dari penduduk
Ethiopia adalah orang Kristen, dan sekitar 45 persennya Muslim. Sebagian besar
sisanya mengikuti keyakinan agama tradisional Afrika kuno. Ada segelintir orang
Yahudi Ethiopia (kadang-kadang disebut Falasha) di negara itu sampai tahun
1991, ketika 17.000 orang terakhir diungsikan ke Israel.
·
Iklim dan Sumber Daya Alam
Iklim Ethiopia bervariasi menurut
elevasinya. Dataran rendah sangat panas, dengan suhu sekitar 50 °C sering
terjadi di sepanjang pantai Laut Merah. Namun, dataran tinggi tengah memiliki
iklim moderat. Kebanyakan hujan turun antara bulan Juni dan September. Tapi
hujan tidak menentu dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 1992-1993,
Ethiopia menderita kekeringan terburuk sepanjang abad ini.
Beberapa sumber daya mineral telah
ditemukan dalam berbagai jumlah, meskipun Ethiopia diyakini memiliki simpanan
mineral yang belum dimanfaatkan. Ada cadangan kecil platinum dan kalium
(digunakan dalam pembuatan pupuk). Beberapa emas juga ditambang di sini. Hutan,
yang pernah menutupi lebih dari seperempat wilayah Ethiopia, telah jauh
berkurang. Hilangnya kawasan hutan, bersama dengan praktek penebangan pohon
untuk bahan bakar, telah menyebabkan erosi tanah yang luas.
·
Ekonomi
a. Pertanian
Pertanian telah lama menjadi dasar
ekonomi Ethiopia. Tanaman komersial yang paling penting adalah kopi, yang
menyumbang 60 persen dari pendapatan ekspor. Kata “coffee,” pada kenyataannya,
diduga berasal dari Kaffa, wilayah di barat daya Ethiopia di mana sebagian
besar kopi nasional diproduksi. Tanaman pangan utama meliputi teff, barley,
jagung, sorgum, kacang polong, kacang-kacangan, lentil, dan minyak biji. Teff
adalah biji-bijian sereal yang menjadi bahan pembuatan injera. Tebu dan
buah-buahan tropis tumbuh di dataran rendah.
b. Industri dan Transportasi
Pengolahan produk pertanian adalah
industri utama Ethiopia. Industri pengolahan hasil ternak meliputi daging
kalengan, kulit, dan alas kaki dari kulit. Produk industri lainnya antara lain
tekstil, semen, pulp kayu, dan barang pecah belah.
Kebanyakan orang tinggal jauh dari
jalanan dan biasanya melakukan perjalanan dengan berjalan kaki. Di daerah
pedesaan, keledai merupakan sarana transportasi penting. Ethiopia memiliki dua
jalur rel kereta api utama. Ethiopian Airlines terbang ke negara-negara tetangga
serta ke Eropa dan Asia.
·
Bentuk Pemerintahan
Sampai tahun 1974, Ethiopia adalah
sebuah monarki konstitusional. Meski demikian, kekuatan politik yang nyata ada
di tangan kaisar, yang memerintah dengan otoritas hampir mutlak. Setelah
revolusi yang menggulingkan monarki, konstitusi baru yang diadopsi pada tahun
1987, secara resmi mendirikan bentuk pemerintahan Komunis dengan partai politik
tunggal, yakni Partai Buruh Ethiopia. Pemerintah Komunis itu sendiri
digulingkan pada tahun 1991.
Sebuah pemerintahan transisi
(sementara) dibentuk oleh Front Demokratik Revolusioner Rakyat Ethiopia
(EPRDF), sebuah aliansi dari banyak kelompok politik tetapi didominasi oleh
Front Pembebasan Rakyat Tigre (TPLF). Pemerintah transisi terdiri atas Dewan
Perwakilan Rakyat, yang 87 anggotanya mewakili banyak kelompok etnis dan
politik yang berbeda. Dewan itu memilih presiden, yang pada gilirannya menunjuk
perdana menteri.
Pada tahun 1994, pemilu diadakan
untuk memilih majelis konstituante, dan EPRDF memenangkan sebagian besar kursi.
Tapi tidak semua partai oposisi berpartisipasi. Majelis menyetujui konstitusi
baru, yang dibuat untuk jenis pemerintahan federal dan membagi Ethiopia menjadi
sembilan negara bagian. Di bawah konstitusi itu, negara bagian memiliki
pemerintahan sendiri dan hak untuk memisahkan diri dari Ethiopia, jika mereka
ingin. Pemilihan pertama untuk memilih dewan legislatif baru, Majelis Nasional,
diadakan pada tahun 1995.[4]
2.3 Penyebab Pergolakan di Ethiopia
2.3.1 Hubungan Ethiopia
dengan Bangsa Eropa
Mengenai
latar belakang terjadinya gejolak di Ethiopia, apabila ditelusuri ke belakang
sangaatlah tidak terlepas atas apa yang terjadi antara Ethiopia dengan
bangsa-bangsa Eropa yang pada saat itu memang mencita-citakan kekuasaan
seluas-luasnya di Afrika. Mengenai kasus afrika, negara Eropa yang paling
menonjol kaitanya adalah Italia, dengan beberapa negara eropa lainya yang
berkuasa disekitar kawasan Ethiopia.
·
Kegiatan
Italia di Afrika sampai Perang Dunia I
Walaupun
Italia telah dapat dipersatukan pada 1870, namun Italia tidak tergolong negara
terkemuka. Letak geografisnya, kekayaan alam yang berupa tambang-tambang dan
perkembangan kapitalisme yang lemah menyebabkan negeri tersebut tidak menyamai
perkembangan negara-negara besar di Eropa Barat.
Sesudah
kekalahan Italia dalam pertempuran Adua (1896) melawan Ethiopia. Fernando
Martini, seorang politikus dari Toskane mengutarakan masalah “Imperialisme of the Have Nots” (1897)
dalam bukunya Cose Africane atau
Concerning Africa. Martini mendukung politik imigrasi penduduk
koloni-koloni Italia.
Kepadatan
penduduk yang sangat cepat mengakibatkan ratusan ribu penduduk berimigrasi ke
negeri lain, terutama ke Amerika Serikat. Jika hal ini terus berlangsung, akan
membahyakan hari depan politik dan ekonomi Italia. Sebab memang benar bahwa
orang orang yang berimigrasi itu menyebarluaskan peradaban. Bahasa dan prestise
Italia, tetapi mereka hanya akan menambah jumlah bangsa-bangsa lain, karena
anak cucunya akan lupa terhadap bahasa dan peradaban orang tua dan nenek moyangnya.
Oleh sebab itu maka jumlah penduduk yang berlebihan itu ditampung di
koloni-koloni yang langsung diawasi oleh negeri induk, maka bahaya yang
mengancam politik dan ekonomi hari depan dapat diatasi.
Sebelum
Perang Dunia I berkobar, koloni Italia di Afrika meliputi daerah Libia, Eritrea
dan tanah Somali. Luas seluruhnya 700.000 mil persegi, berarti enam kali luas
negara metropole. Pada 1912 daerah
tersebut menjadi milik Italia dan pada 1913 Italia memperluas koloni tersebut
makin kepedalaman. Dalam Perang Dunia I Italia tidak hanya mempertahankan
wilayahnya di Afrika tetapi ia berusaha untuk memperluasnya. Oleh sebab itu
Italia menerima tawaran Inggris untuk menggabung pada sekutu.
Apa
yang dilakukan oleh sekutu dalam perjanjian di London, tidak semuanya dipenuhi.
Tambahan daerah yang diterima pada 1919 hanya sedikit sekali dan dari Prancis
mendapat daerah oase Ghadames dan Ghat; Inggris tidak keberatan apabila Italia
menduduki osase Kufra dan sekitarnya, tempat pusat gerakan Sanusi.
Sesudah
Perang Dunia I berakhir, Italia sangat kecewa terhadap keputusan-keputusan
perdamaian berhubung:
a. Harapannya
memperoleh daerah-daerah di Afrika bekas koloni Jerman tidak terpenuhi; bekas
koloni Jerman dijadikan daerah mandate dan yang ditunjuk sebagai mandataris
adalah Inggris, Prancis, Belgia dan Uni Afrika Selatan;
b. Harapan
memperoleh kembali daeerah-daerah Italia Irredenta dibawah kekuasaan Inggris,
Perancis dan Austria: Tessano, Savoya, Corsica dan Malta tidak tercapai;
c. Harapan
untuk mendapatkan tambahan daerah di Asia Kecil tidak terpenuhi.
Dengan
demikian Italia satu-satunya negara imperialis yang selama Perang Dunia I
berlangsung berusaha melakuakan ekspansi, terutama di Afrika mengalami
kegagalan.
·
Ekspansi
Fasis Italia Di Afrika dan Ethiopia
Ambisi
memperluas daerah koloni timbul lagi sesudah Italia dikuasai oleh kaum fasis. dalam
usaha merebut supremasi di Laut Tengah, Tunis menjadi daerah rebutan.
Seakan-akan pertentangan Kartago dengan Roma pada zaman kuno itu timbul kembali
yang tujuannya juga untuk merebut supremasi di Laut Tengah.
Hasil
yang dicapai oleh pemerintah Mussolini dihubungkan dengan politik
imperialismnya adalah:
a. Menduduki
oase Kufra, pusat kedudukan tentara Sanusi (1931);
b. Menduduki
Ethiopia (1936) dan Raja Italia Victor Emanuel III dinobatkan menjadi kaisar
Ethiopia;
c. Albania
digabungkan pada Italia, merupakan Uni personil; Raja Victor Emmanuel III
menjadi raja Albania di samping Raja Italia (1939); dengan ini Laut Adriatik
dapat dikuasai.
Pada
waktu Ethiopia diserbu oleh Italia (1953), penguasa negeri tersebut adalah
Kaisar Haile Selassie I, yang menggantikan Empress Zaiditu pada 1930. Ia
memodernisasikan negerinya dengan cara memberikan konstitusi tertulis dan
Parlemen yang terdiri atas dua kamar, ditambah dengan badan Pertimbangan dan
angkatan perangnya di perluas.pada waktu itu ia menggunakan pengaruhnya yang
besar untuk mengatur kembali negerinya, membangun sekolah-sekolah, rumah-rumah
sakit dan mengirim putera-putera Ethiopia masuk sebagai anggota Lembanga
Bangsa-Bangsa. Pada 1924 ia berjasa dapat menghapus perbudakan.
Pada
1902 Inggris mendapat janji dari Ethiopia bahwa tidak ada negeri lain yang akan
menggunakan air danau Tana. Untuk Inggris danau Tana sangat pentinga artinya,
sebab dari danau tersebut mengalirlah salah satu sumber sungai Bil Biru yang
dipergunakan untuk mengairi perkebunan kapas di Sudan.
Pada
1906 tercapai penjanjian antara Inggris-Prancis-Italia, yang berisi bahwa tiada
satu negara ntersebut dapat melakukan tindakan atas Ethiopia tanpa pengetahuan
atau persetujuan dua negara lainnya.
Pada
1919 janji yang diberika Sekutu kepada Italia dalam perjanjian rahasia di
London (1915), pelaksanaannya tidak memenuhi kehendak Italia, terutama pasal
yang menyangkut tambahan daerah di Afrika. Di terangkan bahwa Italia akan
mendapat kompensasi terutama dalam hubungan penentuan batas-batas koloni Italia
Eritrea, Somali, dan Libia dengan daerah-daerah koloni Inggris dan Prancis yang
ada disekitarnya. Sebagai ganti atas kekecewaan itu, pada 1919 Italia
mengusulkan supaya ia diberi kompensasi yang menyangkut Ethiopia. Karena bendungan Kindaruma di Danau Tana akan
menjadi milik Inggris, Italia bersedia membantu rencana-rencana Inggris di
Ethiopia, misalnya dalam permintaan kepada Negus untuk membuat jalan raya dari
Danau Tana ke Sudan. Sebaliknya Inggris akan membantu Italia dalam permintaan
yang diajukan kepada Negus untuk mendirikan jalan kereta api dari Eritrea ke
Somali Italia melalui daerah Ethiopia. Dengan ini seakan-akan berlaku lagi
daerah pengaruh Italian di Ethiopia berdasarkan perjanjian Inggris-Italia.
Pada
1928 masih dapat dicapai perjanjian yang sifatnya bersahabat antara Italia dan
Ethiopia, berisi perluasan perkembangan ekonomi baik untuk Ethiopia maupun
Eritrea dengan mendirikan jalan raya yang menghubungkan Dessi, ibukota provinsi
Wollo di Ethiopia, dengan Assab, kota di Eritrea yang terletak di pantai laut
Merah.
Pada
1934 Italia tidak senang melihat tindakan Haile Selassie yang memodernisasi
negerinya dan memperluas angkatan perangnya. Padahal tindakan kaisar Ethiopia
itu adalah sebagai reaksi terhadap perluasan pertahanan yang dilakukan oleh
Italia di Somali dan Eritea.
Bagi
Italia, Ethiopia akan dijadikan sumber bahan mentah yang akan memperkaya
Italia, sumber bahan pangan bagi Italia dan sumber tenaga manusia untuk fasis
Italia. Bagi Italia pasal yang berbunyi “memberikan kebebasan bertindak
terhadap Ethiopia” sangat penting, karena Italia mengetahui bahwa Kaisar Haile
Selassie merintangi terlaksananya perjanjian 1928. Maka hanya dengan perang,
Ethiopia akan menjadi koloni Italia.
Pada
1935 diadakan pengadilan mengenai insiden Walwal. Kaisar Haile Selassie
bersedia memegang teguh perjanjian Italia-Ethiopia (1925). Italia mula-mula
setuju, tetapi kemudian atas saran Lembaga Bangsa-Bangsa wakil-wakil Prancis.
Inggris dan Italia supaya berbanding untuk memperoleh suatu penyelesaian bagi
seluruh masalah Ethiopia. Ketiga penguasa tersebut yang masing-masing mempunyai
daerah sekitar Ethiopia, menghendaki agar Ethiopia dibagi menjadi daerah
pengaruh mereka. Tetapi Perancis yang terikat oleh pakta 1935, lalu
menganjurkan agar Haile Selassie memberi konsesi ekonomi yang banyak kepada
Italia. Inggris dapat menyetujui, tetapi Italia menolak karena Mussolini menghendaki menganeksasi
Ethiopia.
Sementara
Lembaga Bangsa-Bangsa sedang sibuk mencari penyelesaian tentang masalah
Ethiopia (Oktober 1935), tentara Italia dengan perlengkapan modern menyerbu
Ethiopia dari jurusan utara, timur, dan selatan. Sesudah Ethiopia diduduki
(1936), Kaisar Selassie melarikan diri ke London dan mengajukan protes kepada
Lembaga Bangsa-Bangsa mengenai agresi Italia terhadap negerinya.
Pada 1936-1942 Ethiopia kehilangan kemerdekaannya.
Victor Emmanuel III diangkat menjadi kaisar Ethiopia. Pada 1936 dibentuk Afrika
Timur Italia meliputi Ethiopia, Somali Italia dan Eritrea. Untuk dapat
mengambil hasil kekayaan alam Ethiopia, Italia membuat “rencana 6 tahun”.
Barang-barang yang diharapkan ialah bahan-bahan mentah seperti kapas, wool dan
bahan pangan seperti gandum disamping hasil pertambangan. Dari tambang-tambang
besi dan batu bara akan diusahakan untuk membuat pabrik baja, jalan-jalan
kereta api, meriam dan senjata api.
Tetapi
sesudah 1,5 tahun “rencana” tersebut dijalankan, hasil yang diimpi-impikan
belum dapat di petik, karena adanya sangsi-sangsi dari Lembaga Bangsa-Bangsa
dan perlawanan rakyat Ethiopia yang masih terus dilanjutkan. Karena kekurangan
modal, banyak tambang-tambang yang kaya tidak dapat dieksploitir menurut
rencana.
Setelah
Italia menduduki Ethiopia, politik luar negerinya berubah. Italia makin
menjauhi bekas sekutunya dan mendekati Jerman. Hal ini disebabkan karena Jerman
tidak ikut menjalankan sangsi Lembaga Bangsa-Bangsa terhadap Italia. Di samping
itu Jerman juga mengakui kekuasaan Italia di Ethiopia.[5]
2.3.2 Latar Belakang
Pergolakan di Ethiopia
Dari
penjelasan sebelumnya mengenai hubungan Ethiopia dengan bangsa barat begitu
memberikan pengaruh mengenai latar belakang pergolakan yang terjadi di Etiopia
nantinya. Dan berikut uraian beberapa hal yang melatar belakangi terjadinya
pergolakan di Ethiopia:
1) Pembagian
wilayah di daerah-daerah Afrika yang sepihak oleh bangsa Eropa pada Kongres
Berlin II, yang akhirnya membawa asumsi batas wilayah sampai setelah masa
kolonial;
2) Ekspansi
wilayah kekuasaan tanah jajahan bangsa-bangsa Eropa pada masa kolonial yang
menciptakanya kericuhan fisik atau peperangan yang berujung pada permainan
politik negara-negara Eropa dengan berbagai tujuanya masing-masing;
3) Demi
tercapainya sepakat antara negara-negara Eropa mengenai batas wilayah jajahan
dan pengaruhnya di Afrika, terjdilah perjanjian-perjanjian mengenai kekuasaan
baik yang diperebutkan ataupun diberikan. Dan hal ini dibiarkan bangsa Eropa
dalam konflik terbuka sepeninggalnya dari Benua Afrika;
4) Dengan
keadaan yang tidak pasti akan batas wilayah negara setelah kepergian Bangsa
Eropa dari Afrika khususnya di Ethiopia dan sekitarnya, masing-masing pemimpin
wilayah menginginkan perluasan wilayah negara dengan saling memperebutkan
daerah-daerah dan menggunakan upaya kekerasan, sehingga menimbulkan pergolakan.
2.4 Proses Pergolakan di Ethiopia
2.4.1 Ethiopia Sebelum
Terjadinya Pergolakan (Masa Kolonial Eropa)
Pada
sekitar 1875 barulah 10.8% dari daerah Afrika berada di bawah kekuasaan atau
pengaruh bangsa barat. Belgia, Jerman dan Italia belum ikut bicara dalam
masalah Afrika. Pada waktu itu daerah di Afrika seluas 1.250.000 mil persegi
adalah milik Spanyol, Prancis, dan Inggris. Sebagian besar daerah Sahara
meliputi daerah seluas 40.000.000 sampai 50.000.000 mil persegi berada di bawah
kekuasaan Islam dan daerah di sepanjang pantai timur dikuasai oleh Sultan
Zanzibar. Di luar daerah-daerah tersebut yang terasing didiami oleh penduduk
bumiputra.
Perhatian
bangsa barat terhadap Afrika menjadi bertambah besar sesudah rahasia kekayaan
alam benua “gelap” itu dibuka oleh penjelajah-penjelajah terkemuka. Dalam usaha
memperluas tanah jajahan di Afrika, para pedagang dan penjelajah memegang
peranan yang sangat penting. Kongres Berlin II (1885) adalah sidang yang
pertama-tama merundingkan soal Afrika di antara negara-negara barat. Yang hadir
pada kongres tersebut adalah semua benua Eropa, selain Swiss dan negara-negara Balkan,
ditambah Amerika Serikat. Kongres tersebut berakhir dengan pembagian Benua
Afrika oleh orang-orang Eropa secara sepihak. Namun persaiangan antar negara
Eropa di Afrika tidak bisa dihindarkan, meskipun tidak sampai peperangan, dan
untuk mengatasi kesulitan tersebut dibuatlah berbagai macam perjanjian[6].
Salah satu perjanjian yang nantinya memiliki pengaruh yang begitu erat dengan
Ethiopia adalah perjanjian Inggris, Italia, dan Portugal untuk menentukan tapal
batas daerah jajahan masing-masing.
Pada
abad ke-20 hampir semua bangsa barat yang memiliki kekuasaan di Afrika
bercita-cita membentuk imperium di benua itu. Dengan diakhiri jatuhnya Libia ke
tangan Italia, maka seluruh Afrika selain Liberia dan Ethiopia telah dikuasai
oleh bangsa-bangsa barat[7].
Selama
berabad-abad, Abessinia atau Ethiopia kurang lebih adalah suatu negara
kesatuan, yang pusat politiknya telah berpindah antara bangsa Amharik Kristen
dan bangsa Tigrean dan jangkauan kekuasannya sedikit banyak telah meluas,
tergantung pada kekuatan kerajaan pusat dan kekuatan saingan-saingan seperti
orang-orang Arab, Turki, Portugis, Mesir, dan terakhir negara-negara kolonial
Eropa. Ethiopia adalah satu-satunya negara di Afrika yang berhasil
mempertahankan kemerdekaannya dengan mengalahkan usaha Mesir untuk mengurungnya
pada tahun-tahun 1870-an dan usaha Italia menaklukkannya pada tahun 1896.
Setelah
itu ditandatangani perjanjian-perjanjian dengan Italia, Prancis, dan Inggris,
untuk menentukan perbatasan-perbatasan dengan negara-negara ini. sebagai akibatnya
Erthiopia terkurung daratan, sedangkan Italia menguasai Eritrea dan
negara-negara Eropa membagi pantai Somalia antara mereka, sekalipun sementara
ketentuan menjamin jalan ke laut bagi perdagangan Ethiopia. Meskipun
menghilangkan kedaulatan Ethiopia atas beberapa daerah pantai dan beberapa
bagian Eritrea, perjanjian itu juga mendatangkan keuntungan bagi Ethiopia,
yaitu diakuinya kemerdekaan Ethiopia maupun ekspansinya ke selatan dalam rangka
menangkis berbagi usaha penaklukan asing.
Setelah
masa Italia berakhir, kedaulatan atas Ethiopia dikembalikan kepada Haile
Selassie pada tahun 1941. Tetapi Inggris tetap menguasai beberapa wilayah
Somali di selatan untuk beberapa tahun, sebelum menyerahkan kekuasaan ini
kembali kepada Ethiopia dan secara demikian memulihkan pembatasan negara
seperti ditetapkan oleh perjanjian terdahulu dan masih membiarkan penentuan
perbatasan mereka terbuka terhadap beberapa penjelasan-penjelasan. Eritrea
diperintah oleh Inggris sampai tahun 1952 ketika PBB memutuskan untuk menyatukannya
dengan Ethiopia dalam suatu federasi, yang akhirnya membawa kepada aneksasi
pada tahun 1962[8].
2.4.2 Terjadinya
Pergolakan di Ethiopia
Sejarah
baru Afrika penuh dengan sengketa perbatasan dan pemberontakan separatis.
Organisasi Persatuan Afrika (OPA) kerapkali tidak mampu menyelesaikanya.
Negara-negara asing melibatkan pasukan-pasukan dan penasihat-penasihat militer
mereka, dan kadang-kadang kemerdekaan benua itu sendiri rupanya dalam taruhan.
Suatu
pealihan yang mudah menuju suatu masyarakat post-kolonial yang merdeka, mantap,
dan mampu untuk berkembang secara swadaya tidaklah mungkin bagi negara-negara
baru Afrika. Mengingat adanya
masalah-masalah struktur dan kebudayaan yang diwarisi dari masa lampau, baik pra-kolonial
maupun kolonial, yang mengherankan ialah perdamaian relatif yang berlangsung
sejak proses menuju terbentuknya negara modern mulai menanjak pada pertengahan
1950-an. Peperangan dan tembak menembak memang terjadi sejak itu.[9]
Dalam
situasi ini, dengan situasi sejalan di Eropa dan Asia, terus berlangsungnya
intransigensi nasionalis rupanya akan mendatangkan konflik yang lebih buruk.
Suatu kasus yang jelas sekarang ini, yaitu Etiopia, boleh jadi hanya merupakan
tanda suatu kondisi umum. Kasusnya mungkin luar biasa karena Etiopia adalah suatu
negara merdeka dan bukan koloni Eropa. Tetapi hakikat luar biasa Ethiopia itu
menjadi berkurang akibat kenyataan bahwa sebagian besar perbatasan Ethiopia
dibentuk dengan pengepungan imperialis. Kaisar Menelik mendapatkan wilayah
Somali Ogoaden berdasarkan persetujuan pembagian dengan Italia dan Inggris,
seperti Kaisat Haile Selassie menambahkan Eritea kepada diminionnya pada tahun
1962. Itu adalah tindakan-tindakan ekspansi kolinial. Kalau peraturan-peraturan
yang sama diterapkan pada koloni-kolini Ethiopia juga harus menjadi sasaran
dekolonisasi. Kiranya dapat diperkirakan bahwa tiada perdamaian di kawasan itu
sebelum dilangsungkanya dekolonisasi.
Intervensi
asing kadang-kadang dikemukakan sebagai suatu alasan penting mengapa
konflik-konflik serupa itu tidak dapat disingkirkan dengan pemindahan
kedaulatan antar Afrika atau dengan peleburan konfederal kedaulatan-kedaulatan.
Tidak diragukan hal itu ada benarnya karena adalah jelas bahwa hanya intervensi
asing telah mempertahankan aneksasi Ethiopia itu (berupa bantuan militer
Amerika Serikat sampai 1976 atau bantuan Soviet dan kuba sesudah itu). Namun
dalam kenyataan intervensi asing tidak akan dapt mencegah penyesuaian
perbatasan-perbatasan warisan kolonial yang progresif kalua negara-negara
Afrika yang bersangkutan bersedia atau bertekad untuk melakukanya. Suatu
kecenderungan untuk menyalahkan orang-orang asing adalah inhern dalam kodrat
kita, tetapi jarang merupakan suatu keterangan cukup untuk menolak apa yang
menurut keadilan dan akal adalah bijaksana[10].
Berikut
ini wujud pergolakan-pergolakan yang menyangkut Ethiopia didalamnya, antara
lain:
1.
Persengketaan
di Ogaden
Sengketa
di Ogaden antara Ethiopia dan Somalia pada bulan Juni 1977 telah meningkat
menjadi suatu peperangan yang akhirnya dimenangkan oleh Ethiopia berkat bantuan
militer Uni Soviet dan Kuba. Akan tetapi sengketa itu berlangsung terus.
Somalia tidak bersedia melepaskan klaimnya atas Ogaden dan para pejuang Front
Pembebasan Somalia Barat meneruskan perjuangan mereka.
a. Sengketa
Ethiopia-Somalia
Dari
bulan Juni sampai pertengahan Maret 1978 terjadi pertempuran di daerah Ogaden
antara pasukan Ethiopia dan pasukan Front pembebasan Somalia Barat (WSLF) yang
dibantu oleh pasukan Somalia. Pada bulan Desember 1977 90% lebih dari wilayah
Ogaden dapat dikuasai oleh WSLF dan Somalia. Tetapi pada akhir bulan Januari
1978 situasinya berbalik, pasukan Ethiopia yang mendapat bantuan moral,
personal, termasuk teknisi dan militer, serta senjata-senjata dari Uni Soviet,
mendesak pasukan Somalia dan setapak demi setapak menguasai kembali daerah
Ogaden.
Selama
berkecamuknya perang di Ogaden itu timbul pendapat-pendapat yang bertentangan
satu sama lain dan menyalahkan pihak-pihak yang berperang. Tetapi ditilik dari
pertikaian-pertikaian yang kini masih berlangsung di Tanduk Afrika itu, pada
hemat kami sedikit-sedikitnya ada tiga masalah pokok yang saling berkitan dan
memperuncing konflik di wilayah tersebut. Masalah itu adalah
persengketaan-persengketaan antara Ethiopia-Djibouti, terutama persengketaan
antara Ethiopia dan Somalia; arti strategis kawasan itu baik sebagai jalur
pelayaran perekonomian maupun pangkalan militer; dan campur tangan asing dalam
konflik-konflik di kawasan itu.
Persengketaan
antara Ethiopia dan Somalia berpangkal pada ambisi para pemimpin Somalia untuk
merealisasi negara “Somalia Barat”, yang meliputi wilayah Somalia sekarang ini,
Kenya Timur Laut, Ethiopia Timur (Somalia Barat= Ogaden) dan Djibouti.
Wilayah-wilayah itu diklaim oleh Somalia, karena sebagian besar penduduknya
sebangsa dengan rakyat Somalia. Dengan dalih membantu Front Pembebasan Somalia
Barat, pada pertengahan tahun 1977 Somalia memberanikan diri untuk mengerahkan
pasukannya ke daerah Ogaden. Tetapi tujuan utamanya adalah merealisasi
ambisinya untuk membentuk Somalia Raya. Sebagai akibat intervensi Somalia ini
bentrokan senjata antara Somalia dan Ethiopia tidak dapat dielakkan lagi.
Ditilik
dari sebabnya, konflik ini merupakan kelanjutan dari pertentangan yang telah
berlangsung sejak tahun 1960. Bila demikian halnya, maka persoalannya kembali
ke kasus klasik, yakni warisan jaman kolonial di Afrika. Benih sengketa itu
ditanam ketika Inggris membagi-bagi Afrika Timur menjadi bagian Ethiopia,
Somalia dan Kenya tanpa memperhatikan macam suku bangsa yang tinggal di
daerah-daerah tersebut. Sebagai akibat politik Inggris itu, pada tahun 1960
Somalia mengklaim Djibouti, Somalia Barat (Ogaden) dan Kenya Timur Laut, untuk
merealisasi gagasan Somalia Raya. Persoalan ini akhirnya menjadi sumber
pertentangan Somalia-Ethiopia, yang mengakibatkan terjadinya pertempuran sampai
tahun 1964. Tetapi penyelesaiannya tidak kunjung datang juga.
Masalah
yang menarik di sini adalah keberanian Somalia untuk menyerbu Ethiopia.
Ditinjau dari jumlah penduduk maupun pasukan dan perlengkapanya, Somalia adalah
jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan Ethiopia. Oleh sebab itu, Somalia
tidak dapat disamakan dengan Israel yang telah begitu tinggi mutu tempurnya dan
begitu mutakhir perlengkapan militernya. Sebagai bahan pertimbangan, menurut
The Military Balance 1977-978 terbitan The International Institute for
Strategic Studies tahun 1977 jumlah penduduk Ethiopia dewasa ini adalah sekitar
29.335.000 orang, sedangkan penduduk Somalia hanya 3.335.000 orang; dan seluruh
tentara reguler (AD, AL, dan AU) Ethiopia meliputi 53.500 orang, sedangkan
tentara Somalia hanya 31.500 orang. Kekacauan dalam negeri Ethiopia seperti
pergolakan dalam tubuh DERG, pemberontakan yang sedang berlangsung di Eritrea,
Gondar, Tigrasi dan Sidamo serta oposisi bawah tanah di kota-kota, merupakan
salah satu sebab mengapa Somalia berani mengadakan intervensi ke Ogaden.
Kekacauan itu memang sangat membantu intervensi Somalia, sehingga sampai
kira-kira pertengahan Januari 1978 sebagian besar wilayah Ogaden dapat
dikuasainya. Di samping itu, sikap Somalia yang menjauhi Uni Soviet dan mulai
berpaling ke Barat diperkirakan merupakan usaha untuk mendapatkan bantuan,
termasuk bantuan senjata, dari AS dan sekutu-sekutunya serta beberapa negara
Arab yang moderat, yang diperlukan untuk mendukung intervensinya ke Ogaden.
Tetapi bantuan senjata itu tidak kunjung datang, sedangkan bantuan
besar-besaran dari beberapa negara komunis mengalir ke Ethiopia. Hal inilah
yang merupakan faktor utama kekalahan Somalia di Ogaden. Besarnya bantuan
negara-negara komunis dapat dilihatdata berikut ini: 400 tank buatan Uni
Soviet, termasuk T-62, 60 pesawat tempur MIG-17, MIG-21 dan MIG-23, 7.000
sampai 8.000 tentara Uni Soviet dan 10.000 sampai 12.000 tentara Kubah kini
berada di Ethiopia. Bahkan sumber-sumber dari medan pertempuran menyebutkan
bahwa bekas penasihat pertama Uni Soviet di Somalia, Jenderal Gregori
Gregorovich, kini juga berada di Ethiopia untuk ikut memimpin serangan balasan
ke Ogaden. Juga Jenderal Vasily Ivanovich Petrov (Deputy Menteri Pertahanan
Kuba) berada di Ethiopia untuk maksud yang sama. Demikian juga pada awal April
1978 jumlah tentara Kuba di Ethiopia terus meningkat dan diperkirakan mencapai
16.000 – 17.000 orang sedangkan bantuan Uni Soviet kepada Ethiopia telah
mencapai U$$ 1 milyar. Menurut Bulletin Satuan Pembebasan Somalia, Danab,
tanggal 18 April 1978, jumlah tentara Kubah di Ethiopia bahkan mencapai 37.000
orang.
2.
Perebutan
Pengaruh di Djibouti
Djibouti,
yang pada tanggal 27 Juni 1977 mendapat kemerdekaan dari Prancis, juga
merupakan salah satu bahan sengketa antara Somalia dan Ethiopia. Djibouti
merupakan salah satu wilayah yang diklaim oleh Somalia sebagai bagian Somalia
Raya, yang sangat didambakan oleh para pemimpin Somalia. Di samping itu,
dukungan penduduk Issa (suku terbesar di Djibouti yang masih sebangsa dengan
rakyat Somalia) dan Front Pembebasan Pantai Somalia (FLCS), yang berusaha
menyatukan dirinya dengan Somalia, merupakan salah satu dasar semakin
meningkatnya usaha Somalia untuk memasukkan Djibouti ke dalam negara Somalia
Raya.
Tetapi
sebaliknya Djibouti juga sangat penting bagi Ethiopia; di samping ada kaitan
historis, Djibouti merupakan satu satunya ujung jalur kereta api dari Addis
Abeba, yang sangat penting bagi pengangkutan barang barang ekspor maupun impor
Ethiopia. Serangan balasan Ethiopia ke Ogaden yang menyusur perbatasan Ethiopia
Djibouti, rupanya merupakan usaha Ethiopia untuk mencegah terjadinya infiltrasi
besar besaran pasukan Somalia ke Djibouti. Jadi bolehlah dikatakan bahwa
keamanan dan perkembangan selanjutnya dari Djibouti sangat penting bagi
perekonomian Ethiopia. Oleh sebab itu, Ethiopia sangat menentang keinginan
Somalia untuk memasukkan Djibouti ke dalam wilayah Somalia Raya.
Keinginan
para pemimpin Somalia untuk merealisasi gagasan Somalia Raya itu juga ditentang
oleh pemerintah Djibouti yang berkat bantuan keamanan Prancis mampu membela
kemerdekaannya.
3.
Masalah
Eritrea
Masalah
Eritrea adalah persengketaan antara pemerintah Ethiopia dan kaum nasionalis
Eritrea. Karena negara ini mempunyai arti strategi yang penting berkat letaknya
di tepi Laut Merah, maka sengketa itu mudah mengundang campur tangan asing yang
membuatnya lebih kompleks.
a. Arti
Strategis Eritrea
Eritrea
adalah suatu negeri di Afrika yang terletak di tepi laut Merah antara Sudan dan
Djibouti yang pada tahun 1950 mendapat otonomi dari PBB, pada tahun 1952
digabung dengan kekaisaran Ethiopia sebagai negara bagian dan pada tahun 1962
dijadikan propinsi. Sebagaimana halnya dengan wilayah-wilayah di Tanduk Afrika,
wilayah ini tidak subur dan miskin akan barang barang tambang. Tetapi bukan
kekayaan daerah inilah yang menjadi alas an mengapa daerah yang kering dan
miskin ini menjadi bahan sengketa yang mengobarkan suatu peperangan yang
sekarang belum menampakkan tanda tanda kapan berakhir. Berkat letaknya di tepi
Laut Merah Eritrea penting artinya bagi Ethiopia. Hanya melalui dan di wilayah
inilah Ethiopia mempunyai jalan ke laut. Pelabuhan Massawa dan pulau pulau di
sekitarnya sangat penting artinya bagi perkembangan Angkatan Laut dan
perdagangan luar negerinya.
Di
samping itu, meningkatnya persaingan antara AS dan Uni Soviet, terutama di
kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, meningkatkan arti penting wilayah tersebut,
karena di pelabuhan pelabuhan Eritrea dan beberapa pulaunya dapat didirikan
pangkalan pangkalan militer untuk mengawasi ataupun memonitor kapal kapal
musuh yang lewat Laut Merah. Karena arti
strategis wilayah itu sengketa antara pemerintah Ethiopia dan para pejuang
Eritrea mudah mengundang campur tangan asing baik secara langsung maupun tidak
langsung.
b. Persengketaan
antara Ethiopia dan Eritrea
Perang
di Eritrea antara pasukan pemerintah Ethiopia dan para pejuang Eritrea pada
awal tahun 1978 belum menunjukkan tanda tanda akan berakhir. Perang itu mulai
pada tahun 1962, ketika Parlemen Federal Ethiopia Eritrea mengesahkan usul
Parlemen Eritrea untuk menghapuskan federasi Ethiopia Eritrea dan menjadikan
Eritrea propinsi Ethiopia yang ke 14. Aneksasi Eritrea oleh Ethiopia itulah
yang menjadi akar persengkataan yang kemudian menimbukan perang Eritrea.
Besarnya
jumlah pasukan Ethiopia yang tewas, luka luka dan ditawan, serta besarnya
jumlah pasukan sukarelawan Ethiopia yang terdiri dari kaum tani dan buruh yang
diterjunkan dalam pertempuran itu merupakan petunjuk betapa hebatnya perang dan
sulitnya pasukan Ethiopia untuk menguasai Eritrea.
Hal
ini disebabkan oleh hebatnya perlawanan para pejuang Eritrea. Pasukan Ethiopia
dapat menguasai beberapa kota, tetapi daerah daerah di sekitarnya ataupun desa
desa di Eritrea praktis dikuasai oleh para pejuang Eritrea. Di samping
bertempur melawan gerilyawan gerilyawan Eritrea, pasukan Ethiopia juga
menghadapi hampir seluruh rakyat Eritrea. Sekitar 20.000 orang Eritrea yang
bekerja di Addis Abeba pada awal tahun 1975 kembali ke negeri mereka untuk
membantu para perjuangannya. Mereka tidak bersedia untuk hidup di bawah
kekuasaan orang orang Ethiopia. Medan pertempuran yang ganas dan kualitas
pasukan milisi yang baru saja memasuki dinas militer juga mempersulit gerakan
pasukan Ethiopia, tetapi menguntungkan para pejuang Eritrea. Perang itu bisa
berakhir dengan kekalahan tentara Eritrea karena pasukan milisi bukan tentara
yang sungguh sungguh, persenjataannya kuno dan perbekalannya sangat kurang,
sedangkan pasukan pasukan Eritrea yang mendapat bantuan negara negara Arab
sangat tangguh. Di samping itu iklim yang kering di Eritrea merupakan medan
yang sangat berat bagi kaum milisi.
Kendati
besarnya jumlah korban dalam perang Eritrea, besarnya bantuan negara negara
Arab kepada gerilyawan di wilayah itu serta derasnya desakan desakan dunia agar
Ethiopia segera menyelesaikan konflik Eritrea secara damai, Ethiopia tidak
bersedia melepaskan wilayah di tepi Laut Merah itu seperti terungkap dalam
pernyataan pernyataan DERG. Addis Abeba rupanya justru akan meningkatkan
usahanya untuk mempertahankan kekuasaannya di wilayah tepi Laut Merah tersebut.
Hal ini dapat kita maklumi, karena kemerdekaan Eritrea berarti bahwa Ethiopia
akan kehilangan propinsinya yang ke 14 dan satu satunya jalur ke laut, sehingga
menjadi negara daratan yang tertutup.
Kunjungan
para pemimpin Ethiopia ke beberapa negara Arab, Uni Soviet dan Kuba, pada tahun
1975, 1976, 1977 dan 1978, merupakan usaha diplomasinya untuk mendesak negara
negara tersebut agar tidak member bantuan kepada para pejuang
Eritrea,sebaliknya agar mendukung usahanya untuk tetap menguasai wilayah di
tepi Laut Merah itu. Desakan desakan dunia serta keengganan Uni Soviet dan Kuba
untuk melibatkan pasukannya da dalam perang Eritrea, untuk sementara waktu
mungkin dapat mengerem operasi operasi militer Ethiopia di Eritrea atau sedikit
meredahkan peperangan di wilayah itu, tetapi usaha Ethiopia untuk tetap
bertahan di Eritrea akan masih terus dilaksanakan. Usul Sembilan pasal yng
diajukan oleh pemerintah Addis Abeba dapat member petunjuk mengenai kemauan
Ethiopia tsebut.
Para
pejuang Eritrea menuntut kemerdekaan berdasarkan Resolusi PBB tahun 1950
mengenai otonomi negeri Eritrea, dan akan berjuang terus untuk menegakkan
kembali hak hak nasionalnya. Sebaliknya dalam usahanya mempertahankan wilayah
Eritrea tu Ethiopia berpegang teguh pada Resolusi PBB tahun 1951 mengenai
penggabungan Eritrea sebagai negara bagiannya dan pada keputusan formal tahun
1962 yang mengesahkan Eritrea sebagai propinsinya.
Kemungkinan
kemungkinan akan berbentuk atau menjadi wilayah siapakah Eritrea itu, belum
jelas. Suatu federasi, yang diusulkan oleh pemerintah Ethiopia pada tahun 1976,
rupanya sulit dilaksanakan, karena ditolak oleh rakyat Eritrea. Begitu pula
kemerdekaan penuh seperti yang diperjuangkan oleh rakyat Eritrea, karena Addis
Abeba berjuang mati matian untuk mempertahankan wilayah itu. Tetapi kemerdekaan
Eritrea supaya semakin mendapat angin. Desaan desakan negara negarea nonblok
atas Kuba agar tidak melibatkan pasukannya dalam perang Eritrea; keengganan Uni
Soviet untuk melibatkan pasukannya dalam perang Eritrea; dukungan negara negara
Arab dan beberapa negara Afrika terhadap perjuangan kemerdekaan rakyat Eritrea
serta desakan desakan dunia, termasuk AS dan Uni Soviet atas Ethiopia agar
menyelesaikan masalah Eritrea secara damai, semuanya itu memperkuat perjuangan
rakyat Eritrea untuk kemerdekaan[11].
2.5 Akhir Pergolakan dan Dampaknya
Usaha
usaha penyelesaian dengan cara militer telah lama dicoba. Usaha usaha itu telah
membebani sementara negara termiskin di dunia dengan banyak pengorbanan dan
kerugian ekonomi, ratusan ribu korban jiwa dan pengungsi. Namun semua usaha itu
telah gagal, tanpa menunjang penyelesaian satu pertikaian pun, dan juga tidak
mencapai semua perdamaian. Kalau tidak ditemukan penyelesaian yang lain, perang
akan terus berlangsung untuk waktu yang lama dan mungkin mencapai tingkat
internasional lagi. Konflik konflik itu tetap urusan Ethiopia dan sekitarnya,
walaupun kekuatan asing terlibat di dalamnya, dan oleh karena itu harus
menemukan penyelesaiannya di situ, sekalipun pihak luar mungkin bisa membantu
dengan penengahan atau memberikan bantuan ekonomi.
Sejarah wilayah ini dengan jelas menunjukkan bahwa setiap
penyelesaian akan sukar dan dilaksanakan dan bahwa setiap usul
yang sungguh sungguh untuk mencapai penyelesaian harus mempelajari kesukaran
kesukaran ini dengan seksama.
Ethiopia akan keutuhan wilayah tampak tidak dapat didamaikan, lebih
lebih karena semua pihak telah membayar harga yang sangat tinggi. Sesungguhnya,
ini suatu petunjuk bahwa mimpi buruk mereka bahkan lebih buruk daripada terus
menerus membayar harga itu. Mimpi buruk para
pemberontak adalah jelas, yaitu: berlanjutnya pemerintah Ethiopia yang menurut
pengalaman mereka yang lama mengerikan. Namun mimpi buruk Ethiopia itu
juga harus dipahami dengan jelas: mengalah kepada WSLF dan gerakan gerakan
pembebasan Eritrea menghidupkan gerakan gerakan pembebasan yang lain Oromo,
Tigrai, Afar, “Somali Abo” sehingga akhirnya
pihak dan Somalia Rapihak lain. Setap penyelesaian yng dapat
dipertahankan, harus memberikan kepada semua pihak jaminan yang dapat dipercaya
terhadap kasus kasus terburuk yang mereka takutkan dan mengingat pengalaman
sejarah mereka, itu berarti bahwa semua pihak harus memiki sungguh sungguh
bagaimana mereka dapat saling mempercayai.
Beberapa
tanda menunjukkanbahwa pikiran serupa itu telah muncul WSLF secara berangsur
angsur telah bersikap lebih lunak mengenai daerah daerah yang dituntutnya
sebagai wilayah Somali. Orang orang Eritrea juga telah menunjukkan kesediaan
mereka untuk mengadakan perjanjian mengenai hubungan ekonomi dan lau lintas
bebas ke Laut Merah, segera setelah mencapai kemerdekaan. Ethiopia juga telah
menunjukkan kesediaannya untuk memberikan tingkat otonomi tertentu kepada
Eritrea dan kemungkinan juga kepada daerah daerah lain. Sejauh ini semua
tawaran itu ditolak oleh pihak lain sebagai tidak dapat diterimanya. Tetapi itu
bisa berubah secara berangsurangsur dengan timbulnya kesadarannya dengan
memakai kekuatan dan yang dapat mencapai ambisi maksimalnya dengan memakai
kekuatan dan bahwa setiap perundingan harus dilakukan untuk mencapai “lebih
atau kurang” dan bukan “segala sesuatu tau tidak sama sekali”.
Sejumlah langkah lebih lanjut bisa melicinkan jalan menuju
perundingan Somalia bisa melepakan segala ambisinya untuk mendapatkan tambahan
wilayah dengan segala cara. WSLF bisa mengatakan dengan jelas
bahwa suatu Ogaden merdeka tau otonom tidak akan bergabung dengan Somalia.
Ethiopia bisa memberikan komitmen komitmen khusus mengenai tingkat otonomi yang
disetujuinya, dan berjanji tidak akan menempatkan angkatSan bersenjata atau
hanya menempatkan angkatan bersenjata simbolis di daerah daerah otonomi itu.
Gerakan gerakan Eritrea bisa membuat suatu deklarasi bersama bahwa
mereka akan member Ethiopia atau suatu koridor ke laut. Gerakan
gerakan ini bahkan bisa bergabung menjadi satu gerakan dan secara demikian
mempermudah modifikasi tuntutan dengan menghindari tuduhan tuduhan bahwa salah
satu kelompok berkhianat. Untuk sementara waktu semua pihak bisa menghentikan
operasi operasi militer dan menghilangkan kata kata yang paling kasar dalam
pertanyaan pertanyaan politik mereka.
Semua langkah ini mudah diusulkan secara terpisah. Lebih sukar
adalah pemilihan waktu atau pengaitan yang diperlukan agar pihak pihak tidak
merasa member suatu konsesi sepihak atau konsesi tanpa imbalan atau membuang
kartu kartu yang akan dimainkan di meja perundingan. Sehubungan
dengan itu hanya pihak pihak itu sendiri dapat memutuskan waktu dan pengaitan
mana dapat diterima, setelah mempertimbangkan apa yang dapat mereka terima pada
akhirnya.
Masih terlalu pagi untuk mengatakan apa yang dapat diterima oleh
pihak pihak itu, sebagian karena alasan alasan tersebut di atas. Terdapat tiga
kemungkinan penyelesaian yang utama dan pilihannya bisa lebih kecil lagi.
Pertama, penyelesaian dalam negeri: memberikan otonomi dalam suatu
kerangka federal. Masalahnya di sini ialah bagaimana
menciptakan suatu perimbangan dengan membuat orang percaya, bahwa ini bukan
langkah pertama menuju pemisahan dan juga bukan pencaplokan kembali khususnya
orang orang Eritrea akan sangat curiga sehubungan dengan yang terakhir ini.
Bahkan kalau penyelesaian ini dalam beberapa kasus gagal, kita juga dapat
menemukan kasus kasus seperti Yugoslavia dan Sudan di mana hal itu berjalan
cukup baik.
Kedua, kemungkinan kemerdekaan Eritrea dan Ogaden yang terikat
dengan jaminan kepada Ethiopia mengenai jalan ke laut yang bebas, dan mungkin
dengan jaminan jaminan bahwa negara negara baru itu akan menganut politik
nonblok.,
bahkan mungkin dengan perjanjian pertahanan atara mereka dan Ethiopia, untuk
menghilangkan ketakutan Ethiopia. Di sini kita juga dapat menemukan kasus kasus
negative dan positif berupa permusuhan dan persahabatan setelah pemisahan itu.
Di antara yang terakhir ini kita dapatlkan Belanda Belgia, Swedia Norwegia dan
beberapa kasus, di mana perang kemerdekaan sengit tidak mencegah kerja sama
kemudian atas dasar persamaan, misalnya Prancis Aljazair.
Masalah
masalah kedua tipe penyelesaian itu mengandung soal siapa akan mengambil
resikonya. Dalam tipe pertama terutama Eritrea dan Ogaden dan oleh karena itu
Ethiopia harus member mereka jaminan jaminan yang dapat dipercaya. Dalam kasus
yang kedua adalah juga jelas bahwa Ethiopia akan menanggung resiko yang lebih
besar, dan pihak pihak yang lain harus mengadakan pengorbanan pengorbanan
politik agar hal itu dapat diterima.
Kadang
kadang perundingan bisa menjadi lebih mudah dengan menambahkan lebih banyak
dimensi dan secara demikian lebih member jalan bagi penyelesaian. Mungkin usul
yang diajukan oleh Fidel Castro pada tahun 1977 untuk mengadakan suatu
konfederasi atara negara negara yang berorientasi radikal di kawasan Djibouti,
Ethiopia, Somalia, dan Yaman Selatan dapat menjadi dasar suatu penyelesaian
yang lebih luas dan mengurangi resiko resiko semua pihak. Jelas ini juga bukan
penyelesaian yang mudah. Adalah sangat sukar menemukan contoh contoh
konfederasi yang berhasil, antara lain karena negara negara biasanya sangat
tidak senang menyerahkan kedaulatan kepada badan badan supranasional. Suatu
masalah lain adalah berapa besar kekuasaan yang akan dipunyai dan prinsip
prinsip apa akan dianut mengenai perwakilan. Sistem perwakilan berdasarkan
jumlah penduduk akan terlalu merugikannya. Suatu penyelesaian yang mungkin
dapat diterima adalah perwakilan distrik distrik dan bukan perwakilan negara
negara. Kenya pasti akan takut melihat Ethiopia dan Somalia bersatu dan oleh
karena itu memerlukan jaminan yang kuat. Arab Saudi kiranya akan berusaha
mencegahnya biarpun mungkin tidak begitu keras kalau Yaman Selatan tidak ikut
dalam rencana itu.
Tidak ada penyelesaian yang dapat dipaksakan atas Tanduk Afrika ini
dari luar. Namun pihak pihak ketiga mungkin bisa membantu sebagai penengah dan
memberikan bantuan untuk pembangunan ekonomi dan pemukiman para pengungsi.
Peranan peranan ini mungkin dapat dimainkan oleh Uni Soviet. Pertama, Uni
Soviet tidak jelas berkepentingan untuk menciptakan perdamaian di kawasan,
karena ini akan membuat kehadirannya tidak begitu controversial dan
membebaskannya dari tekanan tekanan silang yang merikuhkan terhadap sahabat
sahabat Arabnya. Kedua, Uni Soviet mempunyai atau pernah mempunyai hubungan yang
positif dengan semua pihak yang terlibat di dalamnya, sampai sampai ditemukan
senjata dan pelatih dari Uni Soviet atau sekutu sekutunya di kedua pihak.
Kelihatannya semua gerakan ELF dan EPLF bersedia berunding dengan Uni Soviet,
dan pernyataan pernyataan Siyad Barre tahun ini menunjukkan bahwa hal itu juga
berlaku bagi Somalia. Penarikan militer Uni Soviet dari Somalia atas permintaan
bisa menunjang kredibilitasnya. Dan sekiranya jurangnya masih terlalu lebar,
Uni Soviet mungkin bisa bekerja sama dengan sekutu sekutu Arabnya utuk
memajukan saling pengertian antara pihak pihak sehingga mau berunding.
Kalau dan bila semua pihak mengakui bahwa penyelesaian militer tidak
mungkin, OAU barangkali juga dapat menjadi penengah, tetapi sebagaimana
dikemukakan di atas, ini sebagian besar adalah soal apakah Ethiopia
menyetujuinya. Selain itu, karena OAU tidak mempunyai “sticks”
maupun “carrots”, maka penyelesaian serupa itu mungkin lebih membuthkan
kesediaan pihak pihak untuk berkompromi. Di pihak lain, suatu penyelesaian
buatan Afrika mungkin meningkatkan kemungkinan kemungkinan bantuan dari PBB.
Kita
telah mencoba menyoroti beberapa tanda adanya kemungkinan kemungkinan untuk
perundingan dan penyelesaian di sini. Dapat ditambahkan bahwa sikap menahan
diri yang ditunjukkan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet mungkin juga
merupakan suatu tanda baik bahwa mereka menghindari eskalasi. Di Ogaden sikap
menahan diri Uni Soviet ditunjukkan dengan mencegah Ethiopia yang menang
melintasi perbatasan Somalia, dan di Eritrea sikap itu dapat dilihat dalam
sanggahan resmi bahwa pasukan pasukan Uni Soviet dan Kuba ikut dalam
pertarungan. Demikianpun Amerika Serikat menunjukkan sikap menahan diri dengan
tidak melibatkan diri dan mendukung Somalia secara langsung.
Tetapi
menghindari terjadinya eskalasi saja tidak cukup dan tidak akan menyelesaikan
konflik manapun. Paling banyak usaha itu dapat menyingkirkan sementara
rintangan bagi suatu penyelesaian damai. Suatu petunjuk jelas dari negara
negara besar bahwa mereka tidak bersedia untuk mengirimkan lebih banyak
perlengkapan militer ke kawasan itu juga bisa membantu semua pihak yang
berkonflik menyadari bahwa suatu penyelesaian militer di luar jangkauan mereka,
dan bahwa satu satunya alternative bagi berlarut larutnya perang dan kesengsaraan
adlah penyelesaian yang dirundingkan, yang meminta pengorbanan pengorbanan dan
resiko kepada semua pihak, betapa sulitpun tampaknya hal ini dari sudut sejarah
masa lalu. Kalau pengorbanan pengorbanan masa lalu telah memungkinkan mereka
hidup dalam perang, pengorbanan pengorbanan itu harus juga memungkinkan mereka
hidup dalam perdamaian, sekali disetuji bahwa semua pihak yang terlibat telah
cukup mengadakan pengorbanan di medan perang yang lalu dan mendatang.[12]
BAB 3. PENUTUP
3.1 Simpulan
Pada
intinya pergolakan merupakan suatu keadaan yang tidak tenang, tidak kondusif,
terjadi kekeruhan suasana sehingga tidak terkendali seperti yang diinginkan.
Dalam pendapat awam, pergolakan lebih diidentikkan kepada suatu keadaan
huru-hara atau terjadi pertikaian fisik yang tidak terkendalikan untuk suatu
alasan.
Republik Demokratik Federal Etiopia
atau Etiopia adalah sebuah negara
yang terletak di Afrika.
Saat ini Etiopia merupakan negara berbentuk republik dan mengambil bagian
secara aktif dalam aktivitas-aktivitas kerjasama internasional.
Nama
"Etiopia" konon berasal dari "Ityopp'is", yaitu nama anak
cucu Ham,
pembentuk kota Aksum. Nama lama "Abbesinia" atau "Habsyah"
berasal dari kelompok suku Habesha, yaitu kaum yang mendiami kawasan
Etiopia sejak tahun 3000 SM.[13]
Mengenai
latar belakang terjadinya gejolak di Ethiopia, apabila ditelusuri ke belakang
sangaatlah tidak terlepas atas apa yang terjadi antara Ethiopia dengan
bangsa-bangsa Eropa yang pada saat itu memang mencita-citakan kekuasaan
seluas-luasnya di Afrika. Mengenai kasus afrika, negara Eropa yang paling
menonjol kaitanya adalah Italia, dengan beberapa negara eropa lainya yang
berkuasa disekitar kawasan Ethiopia.
Sejarah
baru Afrika penuh dengan sengketa perbatasan dan pemberontakan separatis.
Organisasi Persatuan Afrika (OPA) kerapkali tidak mampu menyelesaikanya.
Negara-negara asing melibatkan pasukan-pasukan dan penasihat-penasihat militer
mereka, dan kadang-kadang kemerdekaan benua itu sendiri rupanya dalam taruhan.
Suatu kasus yang jelas sekarang ini, yaitu Etiopia, boleh jadi hanya merupakan
tanda suatu kondisi umum. Kasusnya mungkin luar biasa karena Etiopia adalah
suatu negara merdeka dan bukan koloni Eropa. Tetapi hakikat luar biasa Ethiopia
itu menjadi berkurang akibat kenyataan bahwa sebagian besar perbatasan Ethiopia
dibentuk dengan pengepungan imperialis.
Usaha
usaha penyelesaian dengan cara militer telah lama dicoba. Usaha usaha itu telah
membebani sementara negara termiskin di dunia dengan banyak pengorbanan dan
kerugian ekonomi, ratusan ribu korban jiwa dan pengungsi. Namun semua usaha itu
telah gagal, tanpa menunjang penyelesaian satu pertikaian pun, dan juga tidak
mencapai semu perdamaian. Kalau tidak ditemukan penyelesaian yang lain, perang
akan terus berlangsung untuk waktu yang lama dan mungkin mencapai tingkat
internasional lagi. Konflik konflik itu tetap urusan Ethiopia dan sekitarnya,
walaupun kekuatan asing terlibat di dalamnya, dan oleh karena itu harus
menemukan penyelesaiannya di situ, sekalipun pihak luar mungkin bisa membantu
dengan penengahan atau memberikan bantuan ekonomi.
3.2 Saran
Dalam
menjalankan suatu kehidupan resiko terjadinya suatu masalah sudahlah hal yang
biasa apabila terjadi. Semua itu berlangsung begitusaja, beriringan dengan
berjalanya kepentingan hidup masing-masing.
Uraian
tersebut juga terimplementasikan dalam kehidupan yang skala besar yaitu pada
suatu negara. Dalam kehidupan negara yang tentunya berdampingan dengan negara
lain, menjadikan hiasan pro kontra akan terus sejalan dengan berjalanya
kehidupan. Dalam sikap yang masih rimba, suatu konflik akan begitu besar
ritmenya daripada dalam sikap yang bijaksana serta sangat menjujung tinggi
perdamaian.
Meskipun
dengan berbagai dalih latar belakang, yang biasa disebut konflik lebih-lebih
konflik dengan fisik bukanlah suatu hal yang menghasilkan kebaikkan yang besar
melainkan kerugian yang segera menimpa bagi pihak-pihak yang melakukan. Dalam
upaya apapun suatu jalan perundingan atau musyawarah, ataupun jalan-jalan baik
lainya masih sangat relevan untuk digunakan. Dari hal tersebut tidak ada
salahnya untuk mengedepankan yang terbaik terlebih dahulu sebelum melangkah
pada suatu hal yang memiliki resiko kerugian yang lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA
Dipoyudo, Kirdi. 1980. Perkembangan di
Afrika. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.
Dipoyudo, Kirdi. 1979. Fokus Atas
Afrika. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.
Fahlan, Asidah. 2011. Islam di Ethiopia. http:// asidah.kimuin Islam di Ethiopia.htm. [22 Mei 2015].
http://id.wikipedia.org/wiki/Etiopia.
[11 Mei 2015].
http://www.artikata.com/arti-364510-pergolakan.html.
[11 Mei 2015].
Pete. 2014. Profil Lengkap Negara Etiopia. http://www.kembangpete.com/2014/08/14/profil-lengkap-negara-ethiopia.
[11 Mei 2015].
Soeratman,
Darsiti. 2012. Sejarah Afrika. Yogyakarta: Ombak.
[1] http://www.artikata.com/arti-364510-pergolakan.html. [11 Mei 2015].
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Etiopia.
[11 Mei 2015].
[3] Fahlan,
Asidah. 2011. Islam di Ethiopia.
http:// asidah.kimuin Islam di
Ethiopia.htm. [22 Mei 2015].
[4] Pete.
2014. Profil Lengkap Negara Etiopia. http://www.kembangpete.com/2014/08/14/profil-lengkap-negara-ethiopia.
[11 Mei 2015].
[5] Soeratman,
Darsiti. 2012. Sejarah Afrika.
Yogyakarta: Ombak. Hlm 331-339.
[6] Soeratman, Darsiti. 2012. Sejarah
Afrika. Yogyakarta: Ombak. hlm. 139-141.
[7] Soeratman,
Darsiti. 2012. Sejarah Afrika. Yogyakarta: Ombak. Hlm.142-143.
[8] Dipoyudo,
Kirdi. 1980. Perkembangan di Afrika.
Jakarta: Centre for Strategic and International Studies. Hlm.
[9] Dipoyudo,
Kirdi. 1980. Perkembangan di Afrika.
Jakarta: Centre for Strategic and International Studies. Hlm. 983.
[10] Dipoyudo,
Kirdi. 1980. Perkembangan di Afrika.
Jakarta: Centre for Strategic and International Studies. Hlm. 985-986.
[11]
Dipoyudo, Kirdi. 1979. Fokus
Atas Afrika. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies. Hlm.
[12]
Dipoyudo, Kirdi. 1980. Perkembangan di Afrika. Jakarta: Centre
for Strategic and International Studies. Hlm.
[13] http://id.wikipedia.org/wiki/Etiopia.
[11 Mei 2015].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar