BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perang
Dunia merupakan perang global, yaitu perang yang aktor dalam kejadian tersebut
adalah tidak hanya dalam lingkup suatu daerah atau tempat saja, melainkan
antara negara-negara yang ada diseluruh dunia meskipun tidak semuanya menjadi
pelaku perang. Tetapi sebagian besar negara-negara di dunia telah bergejolak
karena melakukan perang ini.
Dalam
sejarahnya, perang dunia berlangsung selama dua kali yaitu Perang Dunia 1 pada
tahun 1914 sampai 1918 dan Perang Dunia 2 yang terjadi pada tahun 1939-1935.
Perang yang terjadi dalam kurun beberapa tahun dan dalam beberapa perode ini
telah membawa suatu pengaruh yang besar bagi kehidupan masyarakat dunia. Tentu
saja dalam hal yang mendasar dalam hidup manusia yang utama, Perang Dunia juga
membawa suatu pengaruh yang besar bagi kehidupan dunia yaitu yang bersangkutan
dengan negara-negara yang ada di dunia baik yang ikut dalam perang dunia maupun
yang tidak.
Di
Indonesia sendiri, meletusnya Perang Dunia 1 dan Perang Dunia 2 dibarengi
dengan keadaan di Indonesa saat itu adalah dalam masa pergerakan nasional
melawan penjajah (Belanda). Tentunya keadaan sebelum maupun keadaan sesudah
Perang Dunia sangatlah berbeda di Indonesia, banyak pengaruh yang diberikan
oleh Perang Dunia terhadap Indonesia baik yang positif maupun negatif.
Dari
pengaruh-pengaruh yang diberikan sedikit banyak telah mengantarkan pergerakan
rakyat Indonesia pada wujud nyata keinginan bangsa yaitu meredeka. Oleh karena
itu perlu adanya suatu kajian yang mendalam mengenai pengaruh Perang Dunia 1
dan Perang Dunia 2 terhadap pergerakan
nasional Indonesia, sehingga akan tampak seberapa besar pengaruhnya bagi bangsa
Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan
masalah dalam makalah ini adalah
1) Apakah
yang dimaksud dengan Perang Dunia Satu dan Perang Dunia Dua?
2) Bagaimana
keadaan pergerakan nasional Indonesia sebelum terjadi Perang Dunia Satu?
3) Apa
Pengaruh Perang Dunia Satu Terhadap Pergerakan Nasional Indonesia dan Bagaiman
Dampaknya Setelah Terjadi Perang Dunia Satu?
4) Apa
Pengaruh Perang Dunia Dua Terhadap Pergerakan Nasional Indonesia dan Bagaiman
Dampaknya Setelah Terjadi Perang Dunia Satu?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan
dari pembuatan makalah ini adalah
1) Mengetahui
dan memahami apa yang dimaksud dengan Perang Dunia Satu dan Perang Dunia Dua
beserta aspek di dalamnya;
2) Mengetahui
dan memahami keadaan pergerakan nasional Indonesia sebelum Perang Dunia;
3) Mengetahui
dan memahami pengaruh yang diberikan dari kejadian Perang Dunia satu dan
dampaknya setelah perang dunia terjadi;
4) Mengetahui
dan memahami pengaruh yang diberikan dari kejadian Perang Dunia dua dan
dampaknya setelah perang dunia terjadi;
Manfaat
dari pembuatan makalah ini adalah
1) Dapat
mengetahui lebih jauh akan pengertian Perang Dunia Satu dan Perang Dunia Dua serta
aspek-aspek didalamnya secara lebih mendalam;
2) Dapat
mengetahui lebih dalam akan keadaan pergerakan nasional Indonesia sebelum dan
sesudah Perang Dunia Satu dan Perang Dunia Dua;
3) Dapat
mengetahui lebih jauh akan pengaruh Perang Dunia Satu dan Perang Dunia Dua
terhadap pergerakan nasional Indonesia.
BAB 2.
PEMBAHASAN
2.1 Perang Dunia 1 dan Perang Dunia
2
2.1.1 Perang Dunia 1
Perang Dunia I (PDI) adalah sebuah perang
global terpusat di Eropa yang dimulai pada tanggal 28 Juli 1914 sampai 11 November
1918. Perang ini sering disebut Perang
Dunia atau Perang Besar
sejak terjadi sampai dimulainya Perang
Dunia II pada tahun 1939, dan Perang
Dunia Pertama atau Perang Dunia I setelah itu. Perang ini melibatkan
semua kekuatan besar dunia, yang terbagi menjadi dua
aliansi bertentangan, yaitu Sekutu (berdasarkan Entente
Tiga yang terdiri dari Britania Raya, Perancis, dan Rusia) dan Kekuatan Sentral
(terpusat pada Aliansi Tiga yang terdiri dari Jerman, Austria-Hongaria,
dan Italia;
namun saat Austria-Hongaria melakukan serangan sementara persekutuan ini
bersifat defensif, Italia tidak ikut berperang). Kedua aliansi ini
melakukan reorganisasi (Italia berada di pihak Sekutu) dan memperluas diri saat
banyak negara ikut serta dalam perang. Lebih dari 70 juta tentara militer,
termasuk 60 juta orang Eropa, dimobilisasi dalam salah satu perang terbesar
dalam sejarah. Lebih dari 9 juta prajurit gugur, terutama
akibat kemajuan teknologi yang meningkatkan tingkat mematikannya suatu senjata
tanpa mempertimbangkan perbaikan perlindungan atau mobilitas. Perang Dunia I
adalah konflik
paling mematikan keenam dalam sejarah dunia, sehingga membuka jalan untuk
berbagai perubahan politik seperti revolusi di beberapa negara yang terlibat.
Penyebab
jangka panjang perang ini mencakup kebijakan luar negeri imperialis
kekuatan besar Eropa, termasuk Kekaisaran
Jerman, Kekaisaran Austria-Hongaria, Kesultanan Utsmaniyah, Kekaisaran
Rusia, Imperium Britania, Republik
Perancis, dan Italia. Pembunuhan
tanggal 28 Juni 1914 terhadap Adipati
Agung Franz Ferdinand dari Austria, pewaris tahta Austria-Hongaria,
oleh seorang nasionalis Yugoslavia
di Sarajevo,
Bosnia dan Herzegovina adalah pencetus perang ini. Pembunuhan tersebut
berujung pada ultimatum Habsburg terhadap
Kerajaan
Serbia.[10][11]
Sejumlah aliansi yang dibentuk selama beberapa dasawarsa sebelumnya terguncang,
sehingga dalam hitungan minggu semua kekuatan besar terlibat dalam perang;
melalui koloni mereka, konflik ini segera menyebar ke seluruh dunia.
Pada tanggal
28 Juli, konflik ini dibuka dengan invasi ke Serbia oleh
Austria-Hongaria, diikuti invasi Jerman ke Belgia, Luksemburg,
dan Perancis; dan serangan Rusia ke Jerman. Setelah pawai Jerman di Paris tersendat, Front Barat
melakukan pertempuran atrisi statis dengan jalur parit yang mengubah
sedikit suasana sampai tahun 1917. Di Timur,
angkatan darat Rusia berhasil mengalahkan pasukan Kesultanan Utsmaniyah, namun
dipaksa mundur dari Prusia Timur dan Polandia oleh
angkatan darat Jerman. Front lainnya dibuka setelah Kesultanan Utsmaniyah ikut
serta dalam perang tahun 1914, Italia dan Bulgaria
tahun 1915, dan Rumania
tahun 1916. Kekaisaran Rusia runtuh bulan Maret 1917, dan Rusia menarik
diri dari perang setelah Revolusi Oktober pada akhir tahun itu. Setelah
serangan Jerman di sepanjang front barat tahun 1918, Sekutu memaksa pasukan
Jerman mundur dalam serangkaian serangan yang sukses dan pasukan Amerika
Serikat mulai memasuki parit. Jerman, yang bermasalah dengan revolusi
pada saat itu, setuju melakukan gencatan senjata pada tanggal 11 November 1918
yang kelak dikenal sebagai Hari Gencatan Senjata.
Perang ini berakhir dengan kemenangan di pihak Sekutu.
Peristiwa di front
Britania sama rusuhnya seperti front depan, karena para pihak terlibat
berusaha memobilisasi tenaga manusia dan sumber daya ekonomi mereka untuk
melakukan perang total. Pada akhir perang, empat kekuatan
imperial besar Kekaisaran Jerman, Rusia,
Austria-Hongaria, dan Utsmaniyah bubar. Negara pengganti dua
kekaisaran yang disebutkan pertama tadi kehilangan banyak sekali wilayah,
sementara dua terakhir bubar sepenuhnya. Eropa Tengah terpecah menjadi beberapa
negara kecil. Liga Bangsa-Bangsa dibentuk dengan harapan
mencegah konflik seperti ini selanjutnya. Nasionalisme Eropa yang muncul akibat
perang dan pembubaran kekaisaran, dampak kekalahan Jerman dan masalah dengan Traktat Versailles
diyakini menjadi faktor penyebab pecahnya Perang
Dunia II.
·
Latar
Belakang Perang Dunia 1
Penyebab Perang Dunia I, yang dimulai
di Eropa Tengah
pada akhir Juli 1914, termasuk faktor saling terkait, seperti konflik dan
permusuhan dari empat dekade menjelang perang. Militerisme,
aliansi, imperialisme,
dan nasionalisme
juga memainkan peran utama dalam konflik ini. Meskipun begitu, asal usul
langsung dari perang terletak pada keputusan yang diambil oleh para negarawan
dan jenderal selama Krisis 1914, casus
belli yang merupakan pembunuhan
Archduke Franz Ferdinand dari Austria dan istrinya oleh Gavrilo
Princip, seorang Serbia.
Krisis itu
terjadi setelah serangkaian pertikaian diplomatik yang panjang dan sulit antara
negara-negara besar (Italia, Prancis, Jerman, Kerajaan Inggris, Kekaisaran Austria-Hongaria dan Rusia) atas isu-isu
Eropa dan kolonial di dekade sebelum 1914 yang telah meninggalkan ketegangan
tinggi. Pada gilirannya, bentrokan diplomatik ini dapat ditelusuri dengan
perubahan keseimbangan kekuatan di Eropa sejak tahun 1867. Penyebab lebih cepat
untuk perang adalah ketegangan atas wilayah di Balkan.
Austria-Hungaria bersaing dengan Serbia dan Rusia untuk wilayah dan pengaruh di wilayah ini dan mereka
menarik seluruh negara-negara besar ke dalam konflik melalui berbagai aliansi
dan perjanjian.
Topik penyebab
Perang Dunia I adalah salah satu yang paling banyak dipelajari dalam sejarah
dunia. Para ahli telah menafsirkan topik tersebut secara berbeda.
Latar Belakang
dari perang ini adalah Pada bulan November 1912, karena Rusia dipermalukan
oleh ketidakmampuannya untuk mendukung Serbia selama krisis Bosnia pada 1908 dan Perang
Balkan I, negara itu mengumumkan rekonstruksi militernya secara
besar-besaran.
Pada tanggal
28 November, Menteri Luar Negeri Jerman, Gottlieb von Jagow
mengatakan kepada Reichstag (parlemen Jerman), bahwa "Jika Austria dipaksa,
untuk alasan apa pun, untuk memperjuangkan posisinya sebagai negara adidaya,
maka kita harus mendampinginya." Akibatnya, Menteri Luar Negeri Inggris
Sir Edward Grey menanggapi dengan
memperingati Pangeran Karl
Lichnowsky, Duta Besar Jerman di London, bahwa jika
Jerman menawarkan Austria "cek kosong" untuk perang di Balkan, maka
"konsekuensi dari kebijakan tersebut tak akan bisa dihitung." Untuk
mempertegas peringatan ini, R.B.
Haldane, Lord Chancellor, bertemu dengan Pangeran Lichnowsky untuk memberi
peringatan eksplisit bahwa jika Jerman yang menyerang Perancis,
Inggris akan mengintervensi untuk mendukung Perancis.
Dengan
rekonstruksi militer Rusia dan komunikasi eksplisit dari Inggris, kemungkinan
perang merupakan topik utama di Dewan
Perang Kerajaan Jerman tanggal 8 Desember 1912 di Berlin, pertemuan
informal dari beberapa pucuk pimpinan militer Jerman yang dipanggil dalam waktu
singkat oleh Kaiser.[3]
Yang menghadiri konferensi itu antara lain Kaiser Wilhelm II, Laksamana Alfred von Tirpitz, Sekretaris Angkatan Laut,
Laksamana Georg Alexander von
Müller, Ketua Kabinet
Angkatan Laut Kekaisaran Jerman (Marinekabinett), Jenderal von
Moltke, Kepala Staf Angkatan Darat , Laksamana August von Heeringen,
Kepala Staf Umum Angkatan Laut dan Jenderal Moriz von Lyncker,
Kepala Kabinet
Militer Kerajaan Jerman.[3]
Kehadiran para pemimpin dari Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jerman di Dewan
Perang membuktikan pentingnya pertemuan ini. Namun, Kanselir Theobald von Bethmann-Hollweg
dan Jenderal Josias von Heeringen,
Menteri Urusan
Perang Prusia, tidak diundang.
Wilhelm II
menyebut prinsip penyeimbangan kekuasaan Inggris sebagai sebuah
"kebodohan," tapi setuju bahwa pernyataan Haldane adalah sebuah
"klarifikasi yang diinginkan" dari kebijakan Inggris. Pendapatnya
adalah bahwa Austria harus menyerang Serbia pada bulan Desember, dan jika
"Rusia mendukung Serbia, yang ia jelas tidak ... maka perang akan dihindari
untuk kita juga," dan itu akan lebih baik daripada pergi berperang setelah
Rusia menyelesaikan modernisasi besar-besaran dan ekspansi militer mereka, yang
baru saja dimulai. Moltke setuju. Dalam pendapat profesional militer
"adalah perang dapat dihindari dan lebih cepat lebih baik". Moltke
"ingin melancarkan serangan langsung".
Baik Wilhelm
II maupun pimpinan Angkatan Darat setuju bahwa jika perang diperlukan, perang
itu lebih baik dilancarkan segera. Laksamana Tirpitz, bagaimanapun, meminta
"penundaan pertempuran besar untuk satu setengah tahun" karena
Angkatan Laut Jerman tidak siap untuk perang besar, dimana Inggris termasuk
sebagai lawan. Dia bersikeras bahwa penyelesaian pembangunan dasar U-boat di Heligoland
dan pelebaran Terusan Kiel adalah prasyarat Angkatan Laut untuk
perang. Sejarawan Inggris, John Röhl mencat, tanggal untuk
penyelesaian pelebaran Terusan Kiel adalah musim panas 1914. Meskipun
Moltke keberatan dengan penundaan perang, Wilhelm memihak Tirpitz. Moltke
"setuju untuk penundaan dengan enggan."
Sejarawan
lebih bersimpati kepada pemerintah Wilhelm II, sering menolak pentingnya Dewan
Perang karena hanya menunjukkan pemikiran dan rekomendasi dari mereka yang
hadir, tanpa keputusan yang diambil. Mereka sering mengutip bagian dari buku
harian Laksamana Müller,
yang menyatakan: "Itu adalah akhir dari konferensi Hasilnya tak
ada.." Tentu saja keputusan yang diambil adalah tak melakukan apa-apa.
Sejarawan
lebih simpatik terhadap Entente, seperti sejarawan Inggris, John Rohl,
kadang-kadang agak ambisius menafsirkan kata-kata Laksamana Müller yang
mengatakan bahwa "tidak ada" diputuskan untuk 1912-1913, tapi perang
itu diputuskan selama musim panas 1914. Rohl berpendapat bahwa bahkan jika
Dewan Perang tidak mencapai keputusan yang mengikat yang jelas tidak, itu tetap
menawarkan pandangan yang jelas tentang niat mereka, atau setidaknya
pikiran mereka, yang adalah bahwa jika harus ada perang, tentara Jerman ingin
sebelum program persenjataan baru Rusia mulai menghasilkan sesuatu.
Pada November
1912, program restrukturisasi militer Rusia diumumkan, pimpinan Angkatan Darat
Jerman mulai menyuarakan "perang pencegahan" melawan Rusia. Moltke
menyatakan bahwa Jerman tidak bisa memenangkan perlombaan senjata dengan Perancis, Inggris dan Rusia, yang dia
sendiri telah mulai pada tahun 1911, karena struktur keuangan dari negara, yang
memberikan memberi pemerintahan Reich sangat sedikit kekuasaan atas pajak, dan
berarti Jerman akan membangkrutkan diri mereka sendiri dalam perlombaan
senjata. Dengan demikian, Moltke dari akhir 1912 dan seterusnya
adalah advokat terkemuka untuk perang besar, dan lebih cepat lebih baik.
2.1.2 Perang Dunia 2
Perang Dunia II, atau Perang Dunia Kedua (biasa disingkat
menjadi PDII atau PD2), adalah sebuah perang global yang
berlangsung mulai tahun 1939 sampai 1945. Perang ini melibatkan banyak sekali negara di dunia —termasuk
semua kekuatan besar—yang pada akhirnya membentuk dua
aliansi militer
yang saling bertentangan: Sekutu dan Poros.
Perang ini merupakan perang terluas dalam sejarah yang melibatkan lebih dari
100 juta orang di berbagai pasukan militer. Dalam
keadaan "perang total", negara-negara besar memaksimalkan
seluruh kemampuan ekonomi, industri, dan ilmiahnya untuk keperluan perang,
sehingga menghapus perbedaan antara sumber daya sipil dan militer. Ditandai
oleh sejumlah peristiwa penting yang melibatkan kematian massal warga sipil, termasuk
Holocaust
dan pemakaian senjata nuklir dalam
peperangan, perang ini memakan korban jiwa sebanyak 50 juta sampai 70 juta
jiwa. Jumlah kematian ini menjadikan Perang Dunia II konflik
paling mematikan sepanjang sejarah
umat manusia.
Kekaisaran
Jepang berusaha mendominasi Asia Timur
dan sudah memulai perang dengan Republik Tiongkok pada tahun 1937,[2]
tetapi perang dunia secara umum pecah pada tanggal 1 September 1939 dengan
invasi
ke Polandia
oleh Jerman
yang diikuti serangkaian pernyataan perang terhadap Jerman oleh Perancis dan Britania. Sejak
akhir 1939 hingga awal 1941, dalam serangkaian kampanye dan perjanjian, Jerman
membentuk aliansi Poros bersama Italia,
menguasai atau menaklukkan sebagian besar benua Eropa. Setelah Pakta
Molotov–Ribbentrop, Jerman dan Uni Soviet berpisah dan menganeksasi wilayah
negara-negara tetangganya sendiri di Eropa, termasuk Polandia. Britania Raya, dengan imperium
dan Persemakmurannya, menjadi satu-satunya
kekuatan besar Sekutu yang terus berperang melawan blok Poros, dengan
mengadakan pertempuran di Afrika Utara dan Pertempuran Atlantik.
Bulan Juni 1941, Poros Eropa melancarkan invasi terhadap Uni Soviet yang
menandakan terbukanya teater perang darat terbesar sepanjang
sejarah, yang melibatkan sebagian besar pasukan militer Poros sampai akhir
perang. Pada bulan Desember 1941, Jepang bergabung dengan blok Poros, menyerang Amerika Serikat dan teritori Eropa di Samudra
Pasifik, dan dengan cepat menguasai sebagian besar Pasifik Barat.
Serbuan Poros
berhenti tahun 1942, setelah Jepang kalah dalam berbagai pertempuran laut dan
tentara Poros Eropa dikalahkan di Afrika Utara
dan Stalingrad. Pada tahun 1943, melalui
serangkaian kekalahan Jerman di Eropa Timur,
invasi Sekutu ke Italia, dan kemenangan
Amerika Serikat di Pasifik, Poros kehilangan inisiatif mereka dan mundur secara
strategis di semua front. Tahun 1944, Sekutu Barat menyerbu Perancis, sementara Uni Soviet
merebut kembali semua teritori yang pernah dicaplok dan menyerbu Jerman beserta
sekutunya. Perang di Eropa berakhir dengan pendudukan Berlin oleh tentara Soviet dan
Polandia dan penyerahan tanpa
syarat Jerman pada tanggal 8 Mei 1945. Sepanjang 1944 dan 1945,
Amerika Serikat mengalahkan Angkatan Laut Jepang dan menduduki beberapa pulau
di Pasifik Barat, menjatuhkan bom atom di negara itu menjelang invasi
ke Kepulauan Jepang. Uni Soviet kemudian mengikuti melalui negosiasi dengan
menyatakan perang terhadap Jepang dan menyerbu Manchuria. Kekaisaran Jepang
menyerah pada tanggal 15 Agustus 1945, sehingga mengakhiri perang di Asia
dan memperkuat kemenangan total Sekutu atas Poros.
Perang
Dunia II mengubah haluan politik dan struktur sosial dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
didirikan untuk memperkuat kerja sama internasional dan mencegah
konflik-konflik yang akan datang. Para kekuatan besar yang merupakan pemenang
perang—Amerika Serikat, Uni Soviet, Cina, Britania Raya, dan Perancis—menjadi anggota
permanen Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Uni Soviet dan Amerika Serikat muncnul sebagai kekuatan
super yang saling bersaing dan mendirikan panggung Perang
Dunia yang kelak bertahan selama 46 tahun selanjutnya. Sementara itu,
pengaruh kekuatan-kekuatan besar Eropa mulai melemah, dan dekolonisasi Asia dan Afrika dimulai.
Kebanyakan negara yang industrinya terkena dampak buruk muali menjlaani pemulihan
ekonomi. Integrasi politik, khususnya di
Eropa, muncul sebagai upaya untuk menstabilkan hubungan pascaperang.
·
Penyebab
Perang Dunia 2
1. Secara
umum
- Kegagalan Liga Bangsa-bangsa (LBB) dalam menciptakan perdamaian dunia. LBB bukan lagi alat untuk mencapai tujuan, tetapi menjadi alat politik negara-negara besar untuk mencari keuntungan. LBB tidak dapat berbuat apa-apa ketika negara-negara besar berbuat semaunya, misalnya pada tahun 1935 Italia melakukan serangan terhadap Ethiopia.
- Negara-negara maju saling berlomba memperkuat militer dan persenjataan. Dengan kegagalan LBB tersebut, dunia Barat terutama Jerman dan Italia mencurigai komunisme Rusia tetapi kemudian Rusia mencurigai fasisme Italia dan nasionalis-sosialis Jerman. Oleh karena saling mencurigai akhirnya negara-negara tersebut memperkuat militer dan persenjataannya.
- Adanya politik aliansi (mencari kawan persekutuan). Kekhawatiran akan adanya perang besar, maka negara-negara mencari kawan dan muncullah dua blok besar yakni:
- Blok Fasis, terdiri atas Jerman, Italia, dan Jepang.
- Blok Sekutu, terdiri atas:
- Blok demokrasi yaitu Perancis, Inggris, Amerika Serikat, dan Belanda.
- Blok komunis yaitu Rusia, Polandia, Hongaria, Bulgaria, Yugoslavia, Rumania, dan Cekoslovakia.
- Adanya pertentangan-pertentangan akibat ekspansi.
- Jerman mengumumkan Lebensraumnya (Jerman Raya) yang meliputi Eropa Tengah.
- Italia menginginkan Italia Irredenta yang meliputi seluruh laut Tengah dan Abyssinia.
- Jepang mengumumkan Kemakmuran Bersama di Asia Timur Raya.
- Adanya pertentangan faham demokrasi, fasisme, dan komunisme.
- Adanya politik balas dendam Revanche Idea Jerman terhadap Perancis karena Jerman merasa dihina dengan Perjanjian Versailes.
2. Secara
Khusus
·
Di Eropa, sebab khusus terjadinya Perang Dunia II adalah
serbuan Jerman ke Kota Danzig, Polandia pada
tanggal 1 September 1939. Polandia merupakan negara dibawah
pengawasan Liga-Liga Bangsa. Hitler menuntut Danzig karena penduduknya
adalah bangsa Jerman, tetapi Polandia menolak tuntutan itu. Pada tanggal 3 September 1939 negara-negara pendukung LBB
terutama Inggris dan Perancis mengumumkan
perang kepada Jerman, kemudian
diikuti sekutu-sekutunya.
·
Asia Pasifik
·
Perang Dunia di Pasifik disebabkan
oleh serbuan Jepang terhadap Pangkalan Armada Angkatan Laut
Amerika di Pearl Harbour, Hawai 7 Desember 1941.
2.2
Keadaan
Pergerakan Nasional Sebelum Perang Dunia
Dalam
penjelasan mengenai keadaan pergerakan nasioan Indonesia sebelum terjadinya
Perang Dunia atau yang awal terjadi adalah Perang Dunia satu, dapat diuraiakan
dalam beberapa tahapan sebagai berikut:
·
Politik
Kolonial Menjelang Akhir Abad Ke-19
Menjelang
akhir abad ke-19 masyarakat Indonesia merupakan masyarakat kolonial yang serba
terbelakang. Penjajahan serta penindasan mengakibatkan kemunduran segala
bidang, baik dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya maupun pendidkan.
Dalam bidang
politik misalnya dalam pemerintahan, semua jabatan-jabatan rendah penting
berada di tangan bangsa asing, sedangkan bangsa Indonesia hanya menduduki
jabatan-jabatan rendah, selain itu pihak penjajah selalu menanmkan benih-benih
perpecahan dengan menjalankan politik “devide et impera”.
Dalam bidang
ekonomi, keadaan bangsa Indonesia sangat menderita karena penghasilan, yang
sangat rendah diterima oleh rakyat Indonesia dengan bekerja sebagai buruh upah
pada perkebunan-perkebunan milik swasta. Rakyat dipaksa untuk meningkatkan
produksi, sedangkan dalam lingkungan ekonomi tradisional, masyarakat Indonesia
hanya mengenal perusahaan rumah atau kerajinan tangan sehingga tidak ada
ketrampilan yang berkembang
Dalam bidang
pendidikan, pihak penjajah tidak memperhatikan kepentingan pendidikan bagi
bangsa Indonesia, sehingga pada umumnya rakyat indonesia tidak pandai membaca
dan menulis. Sedangkan kesempatan pendidikan hanya diberikan kepada anak-anak
kaum bangsawan, pegawai negeri, anak-anak orang yang berkedudukan atau
berstatus tinggi.
Dalam bidang
budaya, kaum penjajah berhasil memasukkan nilai-nilai budaya asing, sehingga
mengakibatkan merosotnya beberapa budaya Indonesia dan hampir kehilangan
kepribadianya.
Kesemuanya
merupakan akibat langsung dari politik Kolonial Belanda. Bumi Indonesia
merupakan objek eksploitasi untuk diambil keuntungan sebesar-besarnya bagi
penjajah, sistem tanam paksa berkembang sebagai suatu usaha berskala tinggi dengan
mengidentifikasikan pemerintah sebagai pengusaha dengan Nederlandsche Handels
Schappij sebagai agen tunggal dan pulau jawa merupakan sebuah perusahaan negara
besar.
Menjelang
pergantian abad ke -19 semakin gencar dilontarkan kritik-kritik terhadap pemerintahan
Belanda terutama yang menyangkut nasib rakyat Indonesia. Hal ini disebabkan karena
kalangan masyarakat luas kemudian timbul kesadaran akan sikap humanitarisme
dalam hubungan kolonial yaitu memperhatikan nasib rakyat pribumi.
Program dari
berbagai golongan politik semuanya dan secara serentak menitik beratkan
tanggung jawab moril dalam melaksanakan politik kolonial. Kesadaran akan tujuan
kolonial ini diperkuat oleh masalah-masalah yang timbul pada dasa warsa
terakhir abad ke-19, yaitu masalah keuangan bersama antara Indonesia dan Negeri
Belanda masalah kemiskinan rakyat yang berlawanan dengan kemajuan industri
perkebunan.
Politik baru
yang kemudian diperjuangkan terutama bertujuan untuk mengadakan desentralisasi
rakyat yang kemudian politik ini dikenal dengan nama politik Etis. [1]
·
Bangkitnya
Pergerakan Nasional Indonesia
Politik etis
yang dijalankan oleh belanda telah memungkinkan masuknya ide-ide barat ke
Indonesia yang membawa pembaharuan-pembaharuan di dalam agama islam. Disamping
itu faktor luar negeri antara lain memasukkan gagasan nasionalisme moderenisasi
di beberapa negara Asia seperti Turki, Cina dan Indonesia sertab restorasi
meiji di Jepang dan kemenangan negara itu atau rusia pada tahun-tahun pertama
abad ke-20, suatu kemenangan yang dianggap sebagai kemenangan orang asia (Kulit
Berwarna) terhadap orang Eropa (Kulit Putih).
Karena
pengaruh gagasan moderen, anggota elite nasional menyadari bahwa perjuangan
untuk memajukan bangsa Indonesia harus dilakukan dengan menggunakan organisasi
modern. Baik pendidikan, perjuangan politik, maupun perjuangan sosial Budaya.
Pada tahun 1906-1607 dr. Wahidin Sudirohoesoedo, mengadakan suatu kampanye ke
beberapa daerah di Pulau Jawa. Ia menggugah pikiran kaum priyayi untuk mencari
jalan bagi usaha meningkatkan derajat orang indonesia yang nampaknya hanya
dapat dilakukan dengan memperluas pengajaran.
Bertemunya dr.
Wahidin Sudirohoesoedo dengan pemuda STOVIA, di Jakarta akhir tahun 1907. Dan
ternyata keduanya mempunyai gagasan yang sama. Pertemuan itu makin mendorong
hasrat untuk melaksanakan cita-cita tersebut yang sesungguhnya sudah mulai
bersemi dalam pikiran pelajar STOVIA.
Pada tanggal
20 Mei 1908 di gedung perguruan STOVIA, dibentuklah organisasi moderen pertama
dikalangan bangsa Indonesia yang diberi nama BOEDI OETOMO dengan ketuanya
Soetomo.[2]
Pada bulan
Oktober 1908, Budi Utomo menyelenggarakan kongresnya yang pertama di
Yogyakarta. Pada saat itu, Wahidin tinggal menjadi sesepuh saja dan bermunculan
suara-suara baru untuk mengatur organisasi tersebut. Tjipto Mangunkusumo
(1885-1943), yang radikal dan juga seorang dokter, memimpin sekelompok
minoritas. Gubernur Jenderal Van Heutsz menyambut baik Budi Utomo, persisi
seperti ia sebelumnya menyambut baik penerbitan Bintang Hindia, sebagai tanda keberhasilan politik Etis. Memang
itulah yang dikehendakinya: suatu organisasi pribumi yang progresif moderat
yang dikendalikan oleh para pejabat yang maju. Pada umumnya, Budi Utomo sudah
mengalami kemandekan hampir sejak awal permulaanya, baik karena kekurangan
danamaupun karena kekurangan yang dinamis. Organisasi ini mendesak pemerintah
untuk menyediakan lebih banyak pendidikan Barat, tetapi desakan itu tidak
begitu berperan dalam upaya-upaya perbaikan.
Organisasi-organisasi
yang lebih aktif dan penting segera berdiri. Beberapa di antaranya bersifat
keagaman, kebudayaan, dan pendidikan beberapa lagi bersifat politik, dan
beberapa yang lain bersifat keduanya. Organisasi-organisasi itu bergerak di
kalangan masyarakat bawah dan untuk yang pertama kalinya terjalin hubungan
antara rakyat desa dan elite-elite baru. Dalam masyarakat Jawa, kelompok
minoritas yang berusaha benar-benar menaati kewajiban-kewajiban islam dalam
kehidupan sehari-hari disebut secara silih berganti, wong muslimin (kaum muslim), putihan
(golongan putih), atau santri
(murid sekolah agama). Pada tahun 1909, seorang lulusan OSVIA bernama
Tirtohadisurjo (1880-1918), yang telah meninggalkan dinas pemerintahan dan
menjadi wartawan, mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia. Pada tahun
1910, dia mendirikan organisasi semacam itu lagi di Buitenzorg (Bogor). Kedua
organisasi tersebut dimaksudkan untuk membantu pedagang-pedagang Indonesia.
Pada
tahun 1912, organisasi tersebut mengubah namanya menjadi Sarekat Islam (SI).
Tirtoadisurjo dan Samanhudi terlibat cekcok. Samanhudi, yang sebagian besar
waktunya tersita untuk urusan dagang, lalu meminta Tjokroaminoto untuk memimpin
organisasi itu. Sejak tahun 1912, SI berkembang dengan pesat, dan untuk yang
pertama kalinya tampak adanya basis rakyat walaupun sukar dikendalikan dan
hanya berlangsung sebentar. Pada tahun 191, SI menyatakan mempunyai anggota 2
juta orang, tetapi jumlah yang sesungguhnya mungkin tidak pernah lebih dari
setengah juta orang.
SI
menyatakan setia kepada rezim Belanda. Tetapi ketika organisasi tersebut
berkembang di desa-desa, maka meletuslah tindak kekerasan. Rakyat pedesaan
tampaknya lebih menganggap SI sebagai alat bela diri dalam melawan struktur
kekuasaan lokal yang kelihatanya monolitis, yang tidak sanggup mereka hadapi,
daripada sebagai gerakan politik moderen. Gubernur Jenderal Idenburg secara
hati-hati mendukung SI. Pada tahun 1913, dia memberi pengakuan resmi kepada SI.
Meskipun demikian, dia tidak mengakuinya sebagai suatu organisasi nasional yang
dikendalikan oleh markas besarnya, melainkan hanya sebagai kumpulan
cabang-cabang yang otonom. Suatu bentuk protes pedesaan yang lebih istimewa
juga mencapai puncaknya pada tahun 1914. Di daerah Blora bagian selatan (Jawa
Tengah-Utara), seorang petani Jawa yang buta huruf bernama Surantiko Samin
(1859-1914) telah menghimpun pengikut dari kalangan para petani yang menolak
segala bentuk kekuasaan dari luar, dan yang khususnya tidak menyukai
peraturan-peraturan kehutanan yang baru diterapkan dikawasan hutan jati ini.
Pada
masa sesudah sekitar tahun 1909, di seluruh Indonesia banyak bermunculan
organisasi-organisasi baru dikalangan elite terpelajar, yang sebagian besar
didasarkan atas identitas-identitas kesukuan. Para mahasiswa STOVIA di Batavia,
tempat Budi Utomo lahir pada tahun 1908, juga menghasilkan beberapa organisasi
baru ini, meliputi TRI Koro Dharmo (1915) yang di tahun 1918 menjadi Jong Java,
“pemuda Jawa”, Jong Sumantranen Bond, ‘PERSERIKATAN PEMUDA Sumatera”, (1917), Studerenden
Vereeniging Minahasa, “perserikatan mahasiswa Minahasa”, (1918), dan Jong
Ambon, “pemuda Ambon”, (1918). Serikat-serikat buruh pun bahkan di Indonesia
selama masa ramai-ramainya pembentukan organisasi ini, serikat pertama
didirikan tahun 1905 untuk karyawan-karyawan perusahaan kereta api negara yang
berkebangsaan Eropa. Tapi karyawan-karyawan Indonesia segera bergabung dan,
pada tahun 1910, menjadi anggota mayoritas walupun tanpa hak suara. Pada tahun
1908 didirikan Vereniging voor Spoor en Tramweg Personeel, “serikat buruh
kereta api dan trem”, (VSTP); keanggotaanya terbuka untuk karyawan-karyawan
berkebangsaan Indonesia dengan status yang sama dengan karyawan-karyawan Eropa
sejak awal.[3]
2.3 Pengaruh Perang Dunia Satu
Terhadap Pergerakan Nasional Indonesia dan Dampaknya Setelah Terjadi Perang
Dunia Satu
Periode sejak
1900 sampai akhir Perang Dunia 1 menyaksikan perkembangan yang pesat dalam
bidang ekonomi, sosial dan politik. Meskipun negeri Belanda apabila dibanding
dengan negara-negara lain dalam urusan daerah jajahan yang agak terlambat,
kegiatanya dalam masa itu cukup menghasilkan kemajuan.[4]
Namun dinamika perjalanan keadaan Indonesia tersebut tidak hanya sampai di
situ, melainkan Perang Dunia Satu dan setelahnya memberikan pengaruh yang besar
terhadap keadaan di Indonesia terutama dalam pergerakan Nasional.
2.3.1 Keadaan Ekonomi
Kemajuan
dalam bidang ekonomi memang cukup dirasakan Semua ini berlangsung dalam suatu
lingkungan ekonomi yang sedang berubah dengan cepat, aksi-aksi penaklukan di daerah-daerah
luar Jawa telah memperluas wilayah kekuasaan Belanda, dan daerah-daerah
tersebut menjadi fokus yang lebih penting daripada Jawa dalam pembangunan
ekonomi baru. Adanya kandungan-kandungan minyak bumi di daerah Langkat,
Sumatera Utara, telah diketahui sejak tahun 1860-an. Daerah ini merupakan
kawasan yang tidak tenang selama berkecamuknya Perang Aceh. Pada tahun 1883,
A.J. Zijlker mendapat persetujuan pemerintahan untuk suatu konsesi dari
Pangeran Langkat, dan dimulailah pengeboran-pengeboran percobaan. Setelah
menghadapi banyak masalah di bidang personel, keuangan medan, iklim, dan
kebakaran sumur pada tahun 1888, akhirnya minyak mulai mengalir dalam jumlah
yang menjanjikan.
Pada
mulanya, minyak bumi dimanfaatkan terutama untuk minyak lampu. Memang merupakan
salah satu kejadian luar biasa yang sifatnya kebetulan di dalam sejarah moderen
bahwa tepat ketika lampu pijar, yang diproduksi secara komersial mulai tahun
1880-an, mengancam akan menghancurkan industri minyak bumi, mobil-mobil dengan
mesin yang menggunkan minyak bumi memberi peluang baru kepada industri minyak
bumi, mulai sekitar tahun 1900 dan seterusnya. Perusahaan-perusahaan-perusahaan
lain segera tertarik pada kandungan minyak bumi Indonesia. Produk baru lainya
adalah karet, yang juga berhubungan erat dengan industri mobil yang baru itu.
Pohon karet yang asli, ficus elastica,
diusahakan menjadi tanaman perkebunan di Jawa Barat dan pesisir timur Sumatera
mulai tahun 1864.
Bukan
hanya para pengusaha Belanda yang aktif di Indonesia. Pembentukan Royal Dutch
Shell pada tahun 1907 mencerminkan internasionalisasi investasi secara umum.
Pengembangan pertanian hampir sepenuhnya dikuasai Belanda. Akan tetapi,
kira-kira 70% dari modal Belanda pada tahun 1929 diinvestasikan di Jawa,
kira-kira separo diantaranya pada tebu. Pembangunan di luar Jawa lebih
menginternasional. Semua kegiatan tersebut menunjukkan bahwa daerah-daerah luar
Jawa telah mengungguli Jawa, baik sebagai pusat investasi maupun sumber expor.
Komoditi-komoditi ekspor Jawa yang terpenting adalah kopi, teh, gula, karet,
ubi kayu, dan tembakau. Untuk sebagian besar komoditi ini, hasil produksi
daerah-daerah luar Jawa lebih banyak daripada Jawa. Sering sekali terjadi pasang
surut, akan tetapi secara keseluruhan nilai ekspor di Jawa menurun hampir 70%
dari tahun 1880.[5]
Namun
kemajuan tersebut tidaklah berlangsung lama dikarenakan timbul permaslahan baru
yaitu dengan Bergesernya kegiatan ekonomi ke daerah-daerah luar Jawa itu
menimbulkan kesulitan yang besar dalam kebijakan pemerintah, kesulitan yang
terus berlangsung sejak saat itu. Kini lapangan-lapangan investasi dan
penghasil-penghasil komoditi ekspor yang terpenting adalah daerah-daerah luar
Jawa. Akan tetapi, masalah-masalah kesejahteraan yang utama, tuntutan-tuntutan
pokok terhadap ‘hutang kehormatan’ adalah di Jawa. Dalam teori, program-program
kesejahteraan di Jawa dapat dibiayai dengan mengharuskan daerah-daerah luar
jawa memberikan subsidi bagi program-program tersebut, sehingga menghindari
naiknya pajak yang sudah sangat berat di Jawa. Dengan demikian, perbedaan antar
Jawa dan luar Jawa yang berakar pada masa lalu menjadi semakin mencolok
sekarang. Daerah-daerah luar Jawa mempunyai ikatan dengan islam yang lebih mendalam,
kegiatan kewiraswastaan yang lebih besar, komoditi-komoditi ekspor yang lebih
berharga, dan investasi asing yang lebih besar.
Pertumbuhan
ekonomi dan masalah kesejahteaan penduduk pribumi hanya berkaitan dalam
proyek-proyek infrastruktur saja. Misalnya, perluasan jaringan rel kereta api
dan trem. Pada tahun 1867, jaringan rel kereta api diseluruh wilayah Hindia
Timur Belanda hanya mencapai panjang kira-kira 25 kilometer, dan pada tahun
1873 hanya sekitar 260 kilometer. Akan tetapi setelah itu terjadi perkembangan
yang sangat pesat. Pada tahun 1930, jaringan rel kereta api dan trem sudah
mencapai panjang 7.425 kilometer. Belanda meningkatkan produksi bahan pangan
dengan jalan mengadakan percobaan dengan bibit-bibit baru, mendorong pemakaian
pupuk, dan sebagainya. Usaha-usaha ini sangat berhasil, tetapi tidak sebanding
dengan banyaknya penduduk.
Pertambahan
jumlah penduduk memengaruhi semua perkembangan yang terjadi selama zaman
penjajahan baru ini dan juga menghantui sejarah Indonesia semenjak itu. Singkatnya,
penduduk Jawa (khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur) meningkat sampai sangat
berlebihan, sementara di daerah-daerah luar Jawa masih banyak daerah yang
jarang penduduknya atau tidak berpenduduk samasekali. Dengan demikian, hampir
70% penduduk Indonesia pada tahun 1930 tinggal di Jawa dan Madura, yang luasnya
sekitar 7%dari luas seluruh daratan Indonesia. Jawa, yang pernah menjadi
lumbung padi lumbung padi Nusantara, sekarang telah menjadi wilayah yang
kekurangan bahan pangan.
Pertumbuhan
penduduk Jawa mempunyai kaitan yang mendasar dengan tingkat kesejahteraanya
yang rendah, tetapi pihak Belanda tidak mempunyai kebijakan yang dapat
memecahkan masalah tersebut. Memang sulit untuk mengetahui apa yang dapat
dilakukan. Kecuali beberapa eksperimen yang terbatas dan gagal dalam
pembaharuan agraria, satu-satunya jawaban yang diberikan Belanda adalah
emigrasi dari Jawa ke luar Jawa, suatu kebijakan yang masih terus dilanjutkan
setelah kemerdekaan Indonesia dengan nama ‘transmigrasi’. Pihak Belanda telah meningkatkan
anggaran belanja mereka untuk proyek-proyek kesehatan umum sebesar hampir
sepuluh kali lipat antara tahun1900 dan 1930. Akan tetapi, menghadapi
kemiskinan yang mendalam dan penduduk Jawa yang terlalu banyak, hasilnya
terbatas. Diadakanya berbagai program imunisasi, kampanye-kampanye anti
malaria, dan perbaikan-perbaikan kesehatan barangkali menyebabkan turunya angka
kematian, walaupun angka-angka statistinya masih diragukan. [6]
·
Represi
dan Krisis Ekonomi (1927-1942).
Sehabis
perang, ekonomi sangat maju[7], dalam
10 tahun setelah 1914, ekspor Hindia Belanda ke Amerika Serikat meningkat tujuh
kali lipat, yakni meningkat dari dua persen dari ekspor total sebelum perang
menjadi 14 persen.[8]
Namun dalam konteks ekonomi yang ada di dalam bangsa Indonesia hidup tiba-tiba
berubah karena depresi ekonomi melanda dunia pada tahun 1930-an. Sebagaimana
ada gejala krisis yang akan terjadi di negara-negara industri. Harga beberapa produk Indonesia telah mengalami
penurunan dan pasar ekspor seperti pasar ekspor gula menciut karena produksi
gula meluas dimana-mana, terutama di Inggris dan Jepang. Indonesia amat
bergantung pada ekspornya, terutama produk minyak bumi dan pertanian. Tidak
hanya pada produksi itu saja, produksi karet, kopi, dan tembakau juga
menghadapi bencana. Krisis ekonomi di kedua daratan ini yang berakibat
diberlakukannya kebijakan proteksi secara menyeluruh, ditambah dengan
harga-harga yang menurun, tiba-tiba menjerumuskan Indonesia ke dalam suatu krisis ekonomi. Dampak krisis ini
terhadap bangsa Indonesia jelas sangat serius. Memang benar, seperti yang
dikatakan oleh beberapa pengamat bahwa para pekerja Indonesia cenderung kembali
ke pertanian untuk menyambung hidup, namun juga benar bahwa banyak diantaranya
tidak memiliki kesempatan itu sama sekali. Sebagian lahan tidak lagi digunakan
untuk produksi gula dan digunakannya kembali produksi padi, tetapi peningkatan
produksi padi tidak sepenuhnya dapat menyediakan keperluan makanan dan
pekerjaan bagi populasi yang terus menerus bertambah.[9]
2.3.2
Keadaan Politik
Setelah lebih
daripada dua ratus tahun pengaruh Belanda sangat menonjol di Indonesia,
terlihat bahwa sesudah Perang Dunia Pertama, kebijakan kolonial yang baru mulai
menghasilkan buah.[10]
Perang Dunia I
(1914-8) menandai dimulainya zaman kegiatan politik yang bergejolak di
Indonesia.[11]
Kehebohan politik di Eropa yang mencapai puncaknya antara 1917 dan 1920 menyebabkan
pandangan yang sebelumnya dianggap sangat radikal sebelum perang menjadi
dominan. Di Belanda konsep baru kebijakan kolonial maju pesat, dan di Indonesia
baik gerakan Internasional maupun nasional menjadi semakin kuat.[12]
Dan dari hal ini perlu diketahui mengenai pergerakan politik pada masa setelah
Perang Dunia 1 di Indonesia.
·
Proses
Radikal
Apabila
sekitar tahun 1915 dan 1916 organisasi utama seperti SI dan BO pada umumnya
bersikap lunak dan loyal terhadap gubernemen Hindia Belanda maka dalam
tahun-tahun berikutnya tumbuhlah sikap politik yang semakin radikal,
semata-mata sebagai kelakuan reaktif terhadap politik kolonial yang semakin
bertentangan dengan politik etis.[13]
Mulai pecahnya
Perang Dunia 1pada tahun 1914, kelihatan ada usaha untuk mengembalikan kekuatan
yang ada pada Budi Utomo. Berdasarkan akan adanya kemungkinan intervensi
kekuasaan asing lain, Budi Utomo Melancarkan isu penting pertahanan sendiri,
dan yang menjadi penyokong alasan wajib militer pribumi. Diskusi yang terjadi
berturut-turut dalam pertemuan-pertemuan setempat sebaliknya menggeser
perhatian rakyat dari soal wajib militer kearah soal perwakilan rakyat. Dikirimkanya
sebuah misi ke negeri Belanda oleh Kote “Indie Weerbaar” untuk pertahanan
Hindia dalam tahun 1916-1917 merupakan pertanda masa yang amat berhasil bagi
Budi Utomo.[14]
·
Polarisasi
dan Radikalisasi (1918-1926)
Pada
akhir dasawarsa kedua perkembangan politik mengalami intensifikasi dan
ekstensitas, tidak hanya karena ada peningkatan politik kolonial, tetapi juga
karena ada peningkatan tuntunan politik serta meluasnya mobilisasi politik
dikalangan rakyat. Tambahan pula tersedia kepemimpinan yang di jalankan oleh
tokoh – tokoh yang menunjukkan integritas luar biasa.
Meskipun
fokus aktivitas politik tetap ada pada organisasi pergerakan nasional, namun
lewat saluran – saluran lain dilancarkan pelbagai aksi, seperti aksi pemogokan
sarekat pekerja dan sarekat buruh, protes, deklarasi, dan lain sebagainya.
Di
samping itu muncul aktivitas di bidang ekonomi, sosial dan budaya, seperti
pendirian koperasi, sekolah – sekolah, kursus – kursus pusat latihan kesenian.
Mulai disadari bahwa semua bidang kegiatan itu menjadi saluran yang berfungsi
sangat instrumental untuk meningkatkan kesadaran nasional pada umumnya dan
kesadaran pilitik khusunya. Hal ini lebih dirasakan manfaatnya terutama dalam
menghadapi pembatasan kebebasan berbicara dan berkumpul serta pengekangan
kegiatan antara pemimpin dan aktivitas pergerakan. Setiap bentuk solidaritas
akan merupakan simbol politik seperti lazimnya pada manifesti kolektif.
Sejak
dilancarkannya gerakan Indie Weerbaar
yang segera disusul oleh kesibukan sekitar persiapan pembentukan DR ( Dewan
Rakyat ), arena politik meluas sekali serta aktivitas politik menjadi sangat
intensif. Permasalahan sekitar kedua hal itu menjadi fokus konflik politis
tidak lain karena timbul pendirian pendirian yang antagonistis, yaitu pro dan
kontra menurut aliran ataupun orientasi ideologinya. Spektrum politik benar –
benar mencerminkan pluralisme dari masyarakat indonesia. Golongan sosialis dan
komunis ada pada ujung tempat kaum radikal dan ekstrim kiri , sedang golongan
BO ada di ujung tempat kaum moderat. Keduduka SI ada diantara golongan itu.
Paling sedikit sampai tahun 1923 waktu itu ada larangan terhadap keanggotaan
rangkap. Perkembangan dari tahun ke tahun sejak 1918 menunjukkan kecenderungan
ke arah orientasi radikal. Ada beberapa faktor yaang menyebabkannya:
1) Dibidang
politik di Eropa dampak pergolakan politik pasca
perang dunia I di Eropa pada umumnya dan di Negeri Belanda khususnya. Revolusi
Oktober 1917 di Rusia yang disusul
oleh
gerakan revolusioner kaum sosial – demokrat Belanda yang dipimpin oleh
Troelstra memberi inspirasi kepada unsur – unsur progresif di Indonesia yang bergabung
dalam ISDV untuk menuntut pemerintahan sendiri dan perwakilan dengan hak – hak yang luas. Pidato
Van Limburg Strium pada 18 November 1918 memberi angin kepada semangat
revolusioner itu;
2) Dibidang
sosial – ekonomi, perang dunia I mengakibatkan kemacetan pengangkutan hasil
perkebunan sehingga pengusaha
perkebunan mengurangi produksinya dengan akibat banyak rakyat kehilangan
pekerjaan dan pendapatan. Penderitaan
rakyat bertambah besar lebih – lebih gubernemen membebankan
pajak yang lebih berat kepada rakyat. Kalau sejak 1920 ekonomi membaik karena produksi perkebunan mendapat
pasaran yang baik sekali, kebijaksanaan
gubernemen
lebih condong membiarkan pengusaha yang memungut sebagian besar keuntungannya,
sedang rakyat tetap ditekan dengan beban pajak serta hidup dalam kondisi yang
merana;
3) Proses
politisasi lewat organisasi, kongres, media massa memperoleh rangsangan dari
proses memburuknya kondisi sosial – ekonomi rakyat. Lewat garis organisasi serikat
buruh dan serikat pekerja sekerja ada kesempatan untuk memobilisasikan rakyat
tingkat bawah, karena statusnya
sebagai komponen sangat fungsional dalam sistem produksi ekonomi kolonial.
Sesuai dengan struktur ekonomi dualistisnya, ekonomi perkebunan sebagai tulang
punggung politik eksploitasi daerah jajahan tetap menuntut tenaga kerja yang
murah, sehingga
dalam situasi ekonomi bagaimanapun kepentingan kaum pengusaha perlu dijamin,
sedang kaum buruh sebanyak – banyaknya ditekan.
4) Bertolak
dari prinsip bahwa kepentingan kaum modal perlu di lindungi maka politik
kolonial yang dijalankan oleh GJ Fock mau tak mau bersifat raksioner dalam menghadapi aliran – aliran
politik serta segala manifestasinya seperti yang direalisasikan oleh organisasi
– organisasi pergerakan nasional. Adalah suatu proses wajar apabila dalam
hubungan penuh konflik kepentingan itu timbul peningkatan sikap reaksioner pada
satu pihak dan radikalisme di pihak lain.
5) Memburuknya
kondisi hidup pada umumnya dan kondisi kaum buruh khususnya menciptakan iklim
yang penuh kegelisahan serta keresahan dikalangan rakyat sehingga ada
kecenderungan kuat mengikuti himbauan para pemimpin untuk aksi –aksi, antara lain pemogokan. Sudah barang tentu pemimpin –
pemimpin radikal ISDV, VSTP, PKI, sangat aktif dalam propaganda
untuk melakukan perjuangan melawan kapitalisme dan imperialisme. Secara terus – menerus mereka
berusaha membawa organisasi ke arah radikalisme dan polarisme.[15]
·
Gaya
Baru dalam Pergerakan Nasional Setelah Tahun 1926
Suatu dampak yang menonjol dari politik
konserfatif Gubernur Jendral Fock ialah pergerakan Nasional menempuh jalan
makin radikal dalam memperjuangkan tujuannya yang semakin berubah menjadi politik
murni lokasi sosial golongan yang mendukung suatu organisasi pergerakan akan
sangat menentukan derajat radikalismenya.[16]
1.
Bentuk
Ideologi Politik Masa Pergerakan Nasional Setelah Tahun 1926
Dalam
menjalankan sosialisasi politik para pemimpin partai nasionalis sebagai elite
modern menghadapi masalah bagaimana mencapai terpisah oleh jarak sosial dari
rakyat. Berbagai dengan SI (PSI) yang berdasarkan ideologi religius, PNI dan
kemudian Partindo atau PNI Baru sebagai organisasi nasionalis sekuler membutuhkan
ideologi politik yang non religius. Dalam hal ini lingkungan PNI soekarnolah
yang telah banyak memberikan sumbangan konsepsi-konsepsi politik, antara lain
konsep marhanisme, sosio-nasionalisme, dan sosio – demokratisnya.[17]
2.
Perkembangan
Organisasi-Organisasi Politik dan Gerakan Sesudah Tahun 1926
·
Sekitar
Pendirian PNI (Partai Nasional Indonesia)
Politik kolonial Belanda
telah memberikan jalan ke arah organisasi yang bercorak nasional murni dan
bersifat radikal. Inisiatif in adalah Ir. Soekarno tahun 1925 mendirikan
Aglemeene Studie Club di Bandung. Tahun 1926 setelah terbitnya karya H.O.S
Tjokroaminoto tentang islam dan sosialisme, Ir. Soekarno memasukkan
unsur kekuatan idiologi ketiga yaitu nasionalisme dalam karangan,’ Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”.
Ketiga kekuatan itu menjadi landasan pergerakan nasional secara garis besar dan
oleh Ir. Soekarno juga dianggap sebagai alat pemersatu
pergerakan rakyat Indonesia. Kemudian disebut sebagai nasakom. Tanggal 4
Juli 1927 atas inisiatif Aglemeene Studie Club mendirikan rapat perserikatan Naional Indonesia sebagai rapat pembetukan
partai yang dihadiri oleh Ir. Soekarno, Dr. Tjipto Mangkusumo,
Soedjadi, Mr. Iskaq Tjokroadisurjo, Mr. Budiarto dan Mr. Sunario. Pada rapat
itu dr. Tjipto tidak setuju dibentuk partai baru namun disarankan menyalurkan
nama baru sebab PKI harus ditindas.[18]
·
Partindo (Partai Indonesia)
Pada tanggal 29 April 1931 di Jakarta didirikan
partai politik baru dengan nama Partai Indonesia (Partindo). Pada dasarnya,
Partindoa adalah PNI dengan nama lain. Para pemimpinnya yakin bahwa cara itu
akan mencegah tindakan dari pemerintah menentang Partindo. Dalam maklumatnya
tertanggal 30 April 1931 dalam majalah Persatuan Indonesia dinyatakan bahwa
Partindo berdiri di atas dasar nasionalisme,dengan kekuatan sendiri tanpa
meminta bantuan siapa pun (self help),dan
tujuannya adalah kemerdekaan Indonesia. Dalam mencapai tujuan itu Partindo yang
dipimpin oleh Sartono akan mendasarkan pada kekuatan sendiri. Anggota Partindo
sebagian besar berasal dari anggota PNI. Pada permulaan bulan Februari 1932
Partindo mempunyai anggota sekitar 3000 orang.
·
PNI-Baru (Pendidikan Nasional Indonesia)
Golongan Merdeka tidak senang melihat
pembubaran PNI itu yang kemudian disusul dengan didirikannya Partindo. Mereka
tidak tinggal diam,tetapi berusaha untuk mendirikan suatu organisasi sendiri.
Mereka selalu berhubungan dengan Mohammad Hatta yang masih berada di Negeri
Belanda. Akhirnya pada bulan Desember 1931 di Yogyakarta didirikan organisasi
baru bagi mereka dengan nama Pendidikan Nasional Indonesia (disingkat PNI-Baru).
Jika PNI-Baru dibandingkan dengan
Partindo, pada hakikatnya tidak ada perbedaan yang besar. Kedua organisasi
tersebut berdiri di atas dasar yang tidak jauh berbeda,yaitu nasionalisme.
Tujuannya adalah kemerdekaan Indonesia yang hendak dicapai dengan kekuatan
sendiri tanpa meminta bantuan siapa pun (self-help) dan tidak mau bekerja sama
dengan pemerintah kolonial (nonkooperasi).
·
Partai
Indonesia Raya (Parindra)
Partai Indonesia Raya merupakan fusi (gabungan) dari Budi
Utomo dan Persatuan
Bangsa Indonesia (PBI). Penggabungan dua organisasi ini dilaksanakan pada kongresnya di Surakarta tanggal 25 Desember 1935.
Tujuan Partai Indonesia Raya adalah untuk
mencapai Indonesia mulia dan sempurna,
dengan dasar nasionalisme Indonesia. Taktik perjuangannya adalah kooperasi. Oleh karena
itu, Parindra mempunyai wakilnya di Volksraad
untuk membela kepentingan rakyat. Selain perjuangan
melalui volksraad Parindra juga melakukan beberapa
usaha, antara lain sebagai berikut : 1) Di
bidang pertanian dengan mendirikan Perhimpunan Rukun Tani untuk membantu kehidupan petani dan mendirikan Bank Nasional Indonesia. 2) Di bidang pelayaran dengan membentuk Rukun Pelayaran Indonesia. Kepengurusan Parindra. Pada awal terbentuknya organisasi ini adalah Dr. Sutomo sebagai ketua dan Wuryaningrat
sebagai wakil ketua. Sedangkan Kepala
Departemen Politik dalam Pengurus besar Parindra adalah Muhammad Husni Thamrin
·
Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo)
Pertengahan
Mei 1937 di Jakarta dibentuk partai gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Dengan
ketuanya Adnan Kapau Gani. Asas Gerindo yaitu kebangsaan,kerakyatan. Didasarkan
atas satu darah satu keturunan. Asas kerakyatan dari gerindo adalah demokrasi
dalam berbagai lapangan masyarakat. Jalan untuk mencapai tujuan, yaitu dengan
cara:
i.
Membimbing rakyat sampai
mencapai tingkat keinsafan, ekonomi dan sosial.
ii.
Menyusun kekuatan rakyat
diluar dan didalam rakyat-rakyat ketika didalam dewa-dewan.
Gerindo mengutamakan bidang politknnya.
Organisasi ini mendapat dukungan dan partisipasi dari mantan anggota partindo.
Sehingga kolonial mencoba menghangatkannya dengan cara membubarkan rapat
pendirian cabang gerindo. Sedangkan politiknya ditunjukkan terhadap petisi
Sutarjo menuju konferensi imperiaslisme ketika hak Belanda dan Indonesia
mempunyai kedudukan yang sama di Indonesia.
3.
Berakhirnya
Masa Nonkooperasi
Periode antara
awal 1932 sampai pertengahan 1933 tidak hanya di tandai oleh perpecahan gerakan
nasionalis serta kegagalan usaha pengintegrasian organisasi – organisasi
nasionalis, tetapi juga oleh aksi politik yang semakin meningkatkan terutama
sebagai dampak politik agitasi yang di jalankan Soekarno. Disini dijumpai
kekuatan – kekuatan sosial yang anatgonistik sehingga gerakan nasionalis sebagai
totalitas menjadi kontra produktif,bahkan dalam rangka kondisi ekonomis serta
situasi politik menuju ke perbenturan kekuatan nasionalis dengan nasionalis
dengan kekuasaan kolonial.
Dalam suasana
yang semakin panas dapat diduga bahwa penguasa sudah siap untuk bertindak
tindakan pertama ialah pemberangusan surat kabar Fikiran Rakyat pada tanggal 19 Juli 1933 yang memuat sebuah cartoon. Pada tanggal 1 Agustus semua
rapat Partindo dan PNI baru dilarang dan hari itu juga Soekarno ditahan. Sehari
kemudian dikeluarkan larangan bagi semua pegawai negeri masuk menjadi anggota
partai tersebut. Tindakan – tindakan itu kesemuanya dilegitimasikan oleh
pemerintahan HB semata – mata untuk menjamin rust en orde dan dilandaskan pada
artikel 153 bis dan ter.[19]
·
Reorganisasi
dan Reorientasi
Menjelang krisis dunia serta
pecahnya Perang Dunia 2 politik kolonial membeku, tidak ada kemampuan
menyesuaikan diri dari perubahan zaman. Dari gerakan nasionalis ada pelbagai
usaha untuk menyesuaikan diri, antara lain dengan menjalankan politik kooperasi
gerakan yang bersifat progresif-moderat.
Ancaman dan tekanan
yang terus menerus diberikan pemerintah kolonial terhadap organisasi-organisasi
kebangsaan dan tokoh-tokoh pergerakan pada masa itu, merupakan sebagian sebab
mengapa pergerakan kebangsaan Indonesia pada tahun1930-an tidak dapat bersifat
demikian radikal, malah sebaliknya bersikap lunak terhadap pemerintah kolonial.
Pada tahun 1930-an pemerintah kolonial Belanda telah mengefisienkan alat-alat
represif dan preventifnya terhadap pergerakan kebangsaan.
Pemerintah kolonial
tidak berniat untuk mematikan pergerakan kebangsaan Indonesia. Pemerintah
kolonial mengetahui bahwa aspirasi rakyat yang tidak tersalurkan dapat
menimbulkan gerakan-gerakan eksplosif yang tidak diinginkan (gerakan
sosial). Pemerintah kolonial pada dasarnya hanya hendak melemahkan
aktivitas pergerakan kebangsaan, khususnya pergerakan kebangsaan yang dinilai
radikal-revolusioner. Yang diharapkan oleh pemerintah kolonial adalah semacam
nasionalisme yang lunak dan kompromis.
Atas dasar itulah
akhirnya banyak organisasi kebangsaan mengubah haluan dari non-kooperasi
menjadi kooperasi. Berkembangnya faham fasisme di Eropa serta politik ekspansionisme
yang tengah dilancarkan oleh pemerintah militer Jepang sedikit banyak juga
telah memberikan pengaruh terhadap pengubahan haluan organisasi kebangsaan
Indonesia. Baik di negeri Belanda maupun di Indonesia kaum nasionalis menyadari
bahwa untuk menangkal fasisme tersebut tidak ada cara lain kecuali memihak
demokrasi.,maka dari itu perjuangan melawan kolonialisme dan imperalisme tidak
dilakukan lagi secara mutlak bersikap anti. Ada kebersamaan yang mendekaktkan
kaum nasionalis dengan pihak colonial, yaitu mempertahankan demokrasi terhadap
bahaya fasisme. Kesadaran itu muncul terlebih dahulu di kalangan PI yang mulai
mengambil haluan kooperasi.[20]
·
Perjuangan
Mengarah ke Persatuan dan Kesatuan Selama Masa Perang
Selama masa pergerakan
nasional, peranan pemuda dan organisasi kepemudaan memiliki andil yang besar
terhadap perjuangan yang mengantar bangsa Indonesia menuju persatuan dan
kesatuan. Dalam organisasi kepemudaan muncul ide-ide baru,
sistem pendidikan, dan disintegrasi tatanan lama.
Akhirnya mereka para
pemuda mulai berpikir dan memepertannyakan posisi mereka dalam arus perubahan
zaman. Mereka mulai mencari identitas diri dan mencari jati diri demi menatap
masa depan yang selama ini di kungkung oleh dekapan generasi tua dan tekanan penjajah
Belanda.
Berdasarkan
argumen-argumen para pemuda, hal ini mendorong lahirnya organisasi kepemudaan.
Organisasi-organisasi tersebut tumbuh dan berkembang sedemikian rupa hingga
mengarah pada persatuan dan kesatuan pada satu kesepakatan nasioanl nasional
dalam bentuk sumpah bersama untuk satu nusa, tanah air dan bahasa yang sama
yaitu bahasa Indonesia.
2.3.3
Keadaan Sosial
Kegagalan
Politik etis tampak jelas pada tahun-tahun akhir Perang Dunia 1 sewaktu di
mana-mana timbul kelaparan dan kemiskinan. Perbedaan antara masyarakat Eropa
dan masyarakat pribumi sangat mencolok. Perusahaan mengalami kemajuan pesat dan
keuntungan berlipat ganda. Hal itu disebabkan oleh permintaan yang besar akan
produksi Hindia Belanda di pasar Dunia. Untuk dapat menghadapi persaingan,
pengusaha menuntut agar pemerintah tidak menghalang-halangi perusahaan mereka.
Usaha untuk membantu rakyat hanya dijalankan oleh pengusaha di daerah-daerah di
mana mereka mempunyai kebun; jadi semata-mata untuk memelihara kepentinganya. Tidak
mengerankan apabila waktu itu kegelisahan sosial sangat meluas.[21]
2.4 Pengaruh Perang Dunia dua
Terhadap Pergerakan Nasional Indonesia dan Dampaknya Setelah Terjadi Perang
Dunia Dua
Perlu diketahui bahwa selama
kedua dasawarsa dari periode antara Perang Dunia 1 dan Perang Dunia 2 keretakan
sosial antara golongan-glongan rasial menjadi lebih parah dan pertentangan
politik menjadi lebih tajam dari pada masa-masa sebelumnya.
Masa Perang Dunia 2
merupakan peristiwa perang yang dilakukan untuk balas dendam, terutama
negara-negara yang kalah perang. Mereka dirugikan oleh perjanjian-perjanjian
yang dibuat oleh blok Sekutu. Terjadinya Perang Dunia 2 secara tidak langsung
berpengaruh terhadap kehidupan politik dan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Belanda jatuh ketika dunia memasuki Perang Dunia Kedua
pada bulan Mei 1940, ketika tentara Jerman menyerbu dan melancarkan perang
kilat (blietzkrieg). Setelah bertempur selama empat hari, tentara kerajaan
Belanda menyerah pada tanggal 15 Mei. Sehari sebelumnya, Ratu dan pemerintah
kerajaan Belanda telah meninggalkan negerinya untuk mengungsi ke London. Secara
tidak terduga, Hindia Belanda harus berjuang sendirian. Amsterdam dan Den Haag
tidak lagi menjadi panggung politik yang menentukan perjalanan daerah koloni.
Apalagi, pilihan untuk memindahkan pemerintahan kerjaan Belanda ke daerah
jajahan Hindia Belanda tidak diambil berdasarkan sejumlah pertimbangan.
Khawatir akan kegiatan subvertif, pemerintah kolonial mengambil keputusan untuk
memenjarakan Hindia Belanda.
Ancaman Jepang bermula
ketika awal tahun 1930-an suatu elite militer yang menguasai pemerintahan
Jepang mengambil keputusan untuk memperluas pengaruhnya di wilayah sekitarnya.
Pelaksanaan keputusan itu menghadapi tantangan dari Cina dan negara-negara
Barat. Pada tahun 1937 pecah perang antara Cina dan Jepang sebagai akibat dari
politik ekspansi itu. Bagi Hindia Belanda, kejatuhan negeri induk menimbulkan
keadaan yang tidak menentu dan kebingungan. Kekuatannya terlalu lemah untuk
mempertahankan diri atau menghadapi kemungkinan invansi Jepang.
Serangan Jepang terhadap
Hindia Belanda bukanlah suatu ancaman yang tidak berdasar. Sejumlah alasan
dapat menjadi faktor pendorong serbuan itu. Jepang tidak memiliki sumber daya
alam yang memadai untuk menunjang kemajuan ekonomi dan industrinya sejak
pencanangan Restorasi Meiji di abad ke-19.Oleh karena itu, Jepang sangat
bergantung pada pasokan dari negeri-negeri yang berlimpah sumber daya alamnya.
Tidak mengherankan apabila kepulauan Indonesia yang kaya akan sumber daya itu
masuk dalam target invansi dan penguasaan Jepang.
Pada
tahun 1942 Jepang berhasil mengalahkan Belanda, maka posisi Belanda terhadap Indonesia diambil alih
oleh Jepang. Artinya Indonesia mulai dijajah oleh Jepang. Berbagai kebijakan Jepang di
Indonesia diarahkan untuk memperkuat kekuatan militer. Selain itu untuk ikut
mendukung kemenangannya dalam menghadapi Sekutu. Perang Dunia 2 juga
berpengaruh bagi Indonesia dalam mencapai kemerdekaan. Setelah Jepang kalah
menyerah kepada Sekutu tanggal 14 Agustus 1945, Indonesia dalam keadaan “vacuum
of power” (kekosongan kekuasaan). Jepang sudah menyerah berarti tidak mempunyai
hak memerintah Indonesia, sementara sekutu,
saat itu belum datang. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan bangsa Indonesia untuk
memproklamasikan kemerdekaan.
Pengaruh Perang Dunia 2
terhadap pergerakan nasional Indonesia, yaitu kekuasaan Indonesia yang awalnya
dikuasai oleh Belanda jatuh ke tangan Jepang. Karena Belanda jatuh ketika
memasuki Perang Dunia 2 sehingga kekuasaan Indonesia diambil alih oleh Jepang.
2.4.1 Keadaan
Pergerakan Nasional Indonesia sesudah Perang Dunia 2
1.
Bidang
Politik
Setelah terjadinya Perang
Dunia 2 bangsa Indonesia ini berada dibawah kepemimpinan Jepang. Karena Belanda
jatuh ketika dunia memasuki Perang Dunia 2. Keadaan di bidang politik
pergerakan nasional Indonesia sesudah Perang Dunia 2 yaitu berada pada
kekuasaan Jepang. Tentara Jepang rupanya menyadari betapa pentingnya mengadakan
kerja sama dengan kaum pergerakan nasional Indonesia. Jadi kerja sama dengan
kaum pergerakan itu dapat memudahkan usaha tentara Jepang untuk mengerahkan
tenaga rakyat Indonesia dalam membantu perang yang dilancarkan oleh Jepang. [22]
Namun dalam menghadapi
penjajahan Jepang, para pemimpin bangsa Indonesia menggunakan dua macam taktik,
yaitu taktik kooprasi atau bersedia bekerja sama dengan kaum penjajah Jepang,
dan taktik non kooperasi, yakni menolak kerja sama dengan penjajah. Pihak
tentara Jepang berusaha memanfaatkan pengaruh-pengaruh para pemimpin pergerakan
untuk mendukung usaha perang mereka, dilain pihak para pemimpin pergerakan
nasional Indonesia berusaha mengambil keuntungan sebesar-besarnya pula dari
kerja sama itu untuk tujuan mencapai kemerdekaan tanah air dan bangsanya.[23]
2.
Bidang
Sosial
Semua usaha yang tidak
menentu untuk mencari identitas-identitas baru untuk persatuan dalam menghadapi
kekuasaan asing, dan untuk tatanan sosial yang lebih adil tampaknya akhirnya membuahkan
hasil pada masa sesudah Perang Dunia II. Untuk pertama kalinya di dalam
kehidupan kebanyakan rakyat Indonesia, segala sesuatu yang serba paksaan yang
berasal dari kekuasaan asing hilang secara tiba-tiba.[24]
3.
Bidang
Ekonomi
Ketika dunia memasuki Perang
Dunia 2 dan jatuhnya kekuasaan Belanda di Indonesia ke tangan Jepang, dengan
itu sistem ekonomi di Indonesia diatur oleh Jepang. Sebenarnya sudah sejak
Perang Dunia 1 Jepang tertarik kepada Indonesia setelah ia melihat bahwa
Indonesia selain sangat kaya bila dilihat dari segi ekonomi. Indonesia sangat
berharga bagi Jepang karena negara itu
kaya akan bahan-bahan mentah untuk keperluan industri Jepang seperti minyak,
karet, timah, bauksit, nikel, mangan, dan lainnya. Pihak Hindia Belanda pun
mulai merasakan adanya tekanan-tekanan dari pihak Jepang karena adanya
barang-barang Jepang yang membanjiri Hindia Belanda sangat tidak menguntungkan
stabilitas ekonomi. Maka dengan alasan untuk menyehatkan ekonomi, pemerintah
Hindia Belanda mengeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat proteksi,
diantaranya di bidang impor, tenaga kerja, perdagangan, penangkapan ikan,
imigrasi, perkapalan, dan lainnya.[25]
BAB 3. PENUTUP
3.1
Simpulan
Perang Dunia I
(PDI) adalah sebuah perang
global terpusat di Eropa
yang dimulai pada tanggal 28 Juli 1914 sampai 11 November 1918. Perang ini
sering disebut Perang Dunia atau
Perang Besar sejak terjadi
sampai dimulainya Perang Dunia II
pada tahun 1939, dan Perang Dunia
Pertama atau Perang Dunia I setelah itu. Perang ini melibatkan semua kekuatan
besar dunia, yang terbagi menjadi dua aliansi
bertentangan. Penyebab Perang Dunia I,
yang dimulai di Eropa
Tengah pada akhir Juli 1914, termasuk faktor saling terkait, seperti konflik
dan permusuhan dari empat dekade menjelang perang. Penyebab
umum terjadinya Perang Dunia II salah satunya yaitu kegagalan Liga Bangsa-bangsa (LBB) dalam menciptakan perdamaian dunia. Sedangkan
secara umun penyebab Perang Dunia II, yaitu Perang Dunia di Pasifik disebabkan
oleh serbuan Jepang terhadap Pangkalan Armada Angkatan Laut
Amerika di Pearl Harbour, Hawai 7 Desember 1941.
Keadaan pergerakan nasioan Indonesia sebelum
terjadinya Perang Dunia atau yang awal terjadi adalah Perang Dunia satu, dapat
diuraiakan dalam beberapa tahapan, yaitu: (1) Politik Kolonial Menjelang Akhir
Abad Ke-19; (2) Bangkitnya Pergerakan Nasional Indonesia
Pengaruh Perang Dunia Satu terhadap pergerakan
nasional Indonesia dan dampaknya setelah terjadi Perang Dunia Satu. Periode
sejak 1900 sampai akhir Perang Dunia 1 menyaksikan perkembangan yang pesat
dalam bidang ekonomi, sosial dan politik. Meskipun negeri Belanda apabila
dibanding dengan negara-negara lain dalam urusan daerah jajahan yang agak
terlambat, kegiatanya dalam masa itu cukup menghasilkan kemajuan.
Pengaruh Perang Dunia Satu terhadap Tergerakan
nasional Indonesia dan Dampaknya Setelah Terjadi Perang Dunia Satu perlu diketahui bahwa selama kedua dasawarsa dari
periode antara Perang Dunia 1 dan Perang Dunia 2 keretakan sosial antara
golongan-glongan rasial menjadi lebih parah dan pertentangan politik menjadi
lebih tajam dari pada masa-masa sebelumnya.
3.2 Saran
Sesuatu
yang pada dasarnya menyangkut hal yang umum, apabila terjadi sesuatu pasti akan
memberikan suatu pengaruh. Intensitas dan jenis pengaruh yang diberikan
tentusaja sesuai dengan keadaan dan sudut pandang penerima.
Pada
suatu kejadian besar seperti Perang Dunia 1 dan Perang Dunia 2 merupakan suatu
gawe bersama seluruh dunia. Hampi negara-negara di seluruh dunia berpartisipasi
dalam perang tersebut walau tidak semua, namunpengaruhnya terasa kepada seluruh
dunia.
Mengenai
pengaruh Perang Dunia terhadap pergerakan nasional Indonesia, yang yang
didpatkan Indonesia baik dalam segi negatif maupun positif. Adapun semua itu
diterima ataupun tidak tetap harus dirasakan oleh orang Indonesia. Yang menjadi
suatu pokok dari semua ini adalah yang terpenting harus selalu bijak dalam
menghadapi dan menanggapi suatu kejadian. Sehingga dapat memanfaatkan
dampaknya-dampaknya bukan malahan kerugian yang dirasakan.
Dengan
suatu pemikiran, seharusnya dapat dilancarkan siasat-siasat yang baik demi
menguatkan pergerakan rakyat Indonesia. Dan hal tersebut sudah terealisasikan
oleh para pejuan Indonesia.
Dari
kejadian tersebut dapat diambil pelajaran bahwa dalam segala hal orang harus
selalu mampu memanfaatkan keadaan/ peluang. Meski tidak semudah yang
dipikirkan, namun bukan hal yang mustahil keindahan dapat diraih dengan
kegigihan.
DAFTAR PUSTAKA
Poesponegoronegoro,
Marwati Djoened. 2008. Sejarah Indonesia
V. Jakarta: Balai Pustaka.
Riclefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004.
Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
M.D, Sagimun. 1985. Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Fasisme
Jepang. Jakarta: Inti Idayu Press.
Kartodijo, Sartono.
1999. Pengantar Sejarah Indonesia
(Seajarah Pergerakan Nasional) Jilid 2. Jakarta: PT. Gramedia.
Vlekke. Bernard H.M.
2008. Nusantara (Sejarah Indonesia). Jakarta:
PT. Gramedia.
Murni, Sri Pangestu Dewi. 2005. Pergerakan Nasional Indonesia. Medan:
Fakultas Sastra- Universitas Sumatera Utara.
http://id.wikipedia.org/wiki/Perang Dunia I. [23
Oktober 2014].
http://id.wikipedia.org/wiki/Penyebab Perang Dunia I. [23
Oktober 2014].
http://id.wikipedia.org/wiki/Perang Dunia 2. [23
Oktober 2014].
http://id.wikipedia.org/wiki/Penyebab
Perang Dunia . [23
Oktober 2014].
[1][1] Murni, Sri Pangestu Dewi. 2005. Pergerakan Nasional Indonesia. Medan:
Fakultas Sastra- Universitas Sumatera Utara. Hlm. 3-4.
[2] Murni, Sri Pangestu Dewi. 2005. Pergerakan Nasional Indonesia. Medan:
Fakultas Sastra- Universitas Sumatera Utara. Hlm. 4-5.
[3]
Ricklefs, M.C. 2001. Sejarah Indonesia
Moderen 1200-2004. Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi.
[4] Poeponegoro, Marwati Djoened.,
Notosusanto, Nugroho. 2008. Sejarah
Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 42.
[6]
Ricklefs, M.C. 2001. Sejarah Indonesia
Moderen 1200-2004. Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi.
[7] Poeponegoro, Marwati Djoened.,
Notosusanto, Nugroho. 2008. Sejarah
Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 60.
[8] Vlekke, Bernard H. M. 2008. Nusantara (Sejarah Indonesia). Jakarta:
Gramedia. Hlm. 383.
[9]
Ricklefs, M.C. 2001. Sejarah Indonesia Moderen 1200-2004. Jakarta:
PT. Ikrar Mandiriabadi.
[10]
Vlekke, Bernard H. M. 2008. Nusantara
(Sejarah Indonesia). Jakarta: Gramedia. Hlm. 380.
[11]
Ricklefs, M.C. 2001. Sejarah Indonesia Moderen 1200-2004. Jakarta:
PT. Ikrar Mandiriabadi.
[12]
Vlekke, Bernard H. M. 2008. Nusantara
(Sejarah Indonesia). Jakarta: Gramedia. Hlm. 383.
[13]
Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional jilid II. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta, 1999.hlm. 141.
[14] Poeponegoro, Marwati Djoened.,
Notosusanto, Nugroho. 2008. Sejarah
Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 338.
[15]
Kartodirdjo,Sartono. PengantarSejarahIndonesiaBaru:
Sejarah Pergerakan Nasional jilid II. Gramdia Pustaka Utama. Jakarta, 1999.
Hlm. 144.
[16] Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional jilid II. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta, 1999.154.
[17] Ibid. hlm. 170.
[18] Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional jilid II. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta, 1999. Hlm. 155.
[19] Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional jilid II. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta,
1999. Hlm. 176.
[20] Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional jilid II. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta, 1999. Hlm. 180.
[21] Poeponegoro, Marwati Djoened., Notosusanto,
Nugroho. 2008. Sejarah Nasional Indonesia
V. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 59.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar