BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bulan
Suro, adalah nama salah satu bulan dalam sistem kalender Jawa. Nama ‘Suro’
sendiri sebenarnya berasal dari sitem kalender Jawa yang sama dengan sistem
penanggalan Hijriyah, mengadopsi dari nama bulan yang ada pada kalender
Hijriyah yaitu bulan Muharam. Memang tidak semata nama Muharam diambil, namun
diambil dalam penyebutan tanggal ke-10 bulan Muharam yaitu ‘Asyuro’, sehingga
dari hal tersebutlah didapai nama bulan Suro dalam penyebutan Jawa.
Dalam
ajaran Islam, bulan Muharam memanglah bukan bulan-bulan biasa seperti yang
lainya. Melainkan adalah salah satu dari bulan utama dari 12 bulan tahun
Hijriyah. Dalam masyarakat Jawa sendiri, memiliki suatu perspektif tersendiri
juga dalam menyikapi bulan suro. Banyak suatu aturan yang ada pada bulan Suro,
serta banyak acara-acara keadatan yang dilaksanakan pada bulan suro. Hal
tersebut bisa terjadi dikarenakan suatu dasar kepercayaan turun-temurun yang
ada pada masyarakat Jawa.
Yang
menjadi sorotan dalam makalah ini adalah kajian mengenai ritual yang dilakukan
masyarakat Jawa (dalam kajian ini adalah sebagian masyarakat Kabupaten
Banyuwangi), yang memiliki erat hubunganya dengan bulan suro, yaitu selametan
kelahiran bayi yang lahir pada bulan suro.
Memang
ritual selametan ini dalam kancahnya tidak sepopuler tradisi-tradisi yang lain
yang sering dibahas atau dipublikasikan. Namun dalam kepercayaan orang jawa
(dalam kajian ini adalah sebagian masyarakat Kabupaten Banyuwangi), hal ini
tidaklah kalah penting dari acara-acara yang lain dalam lingkup bulan Suro.
Maka dari itu perlu adanya suatu kajian yang mendalam akan hal ini, supaya
dapat diketahui lebih dalam dan jelas akan selametan kelahiran bayi di bulan
Suro.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan
masalah pada makalah ini adalah
1) Apa
yang dimaksud dengan slametan?
2) Apa
yang dimaksud dengan Bulan Suro?
3) Bagaimana
pandangan masyarakat Jawa terhadap Bulan Suro?
4) Bagaimana
pandangan masyarakat Jawa terhadap kelahiran bayi di Bulan Suro?
5) Bagaimana
pelaksanaan ritual slametan kelahiran bayi pada Bulan Suro?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan
dari pembuatan makalah ini adalah
1) Mengetahui
dan memahami apa yang dimaksud dengan slametan;
2) Mengetahui
dan memahami apa yang dimaksud dengan bulan Suro;
3) Mengetahui
dan memahami pandangan masyarakat Jawa terhadap bulan Suro;
4) Mengetahui
dan memahami pandangan masyarakat Jawa terhadap kelahiran bayi di bulan Suro;
5) Mengetahui
dan memahami pelaksanaan ritual slametan kelahiran bayi pada bulan Suro.
Manfaat
dari Pembuatan makalah ini adalah
1) Dapat
mengetahui lebih jauh akan pengertian slametan dan bulan Suro;
2) Dapat
mengetahui lebih jauh akan pandangan masyarakat Jawa terhadap Bulan Suro dan
Kelahiran di Bulan Suro;
3) Dapat
mengetahui lebih jauh akan ritual selametan dan pelaksanaanya untuk kelahiran
bayi pada bulan Suro.
BAB 2.
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Slametan
Masyarakat jawa sebelum mengenal
agama mempunyai system kepercayaan yang berkaitan dengan animisme dan
dinamisme. Kepercayaan tersebut begitu lekat di dalam kehidupan masyarakat
Jawa, bahkan sampai sekarang masih ada yang menganutnya. Menurut Harustato
(1987: 98) sejarah perkembangan religi orang Jawa telah dimulai sejak zaman pra
sejarah, dimana pada waktu itu nenek moyang orang Jawa beranggapan bahwa semua
benda yang ada di sekelilingnya mempunyai nyawa, dan semua yang bergerak
dianggap hidup dan mempunyai kekuatan gaib atau mempunyai roh yang berwatak
baik maupun jahat.
Ciri khas orang Jawa lainnya yaitu
berkaitan dengan cara berfikir yang terobsesi oleh nilai-nilai budaya Jawa
seperti budi luhur, lembah manah, tepa slira, dan sebagainya. Nilai-nilai
tersebut bertujuan untuk mewujudkan kedamaian dan ketentraman dalam kehidupanya
dengan terlahirnya sikap rukun, saling menghormati, menghargai dan menghindari
konflik. Dalam tradisi kejawan banyak dijumpai upacara-upacara ’selamatan’
dengan berbagai perlengkapan ‘ubo-rampenya’.
Jika diteliti dengan seksama maka
upacara selamatan tersebut merupakan wujud dari suatu doa. Doa dengan sanepan
alias perlambang Perlambang-perlambang itu antara lain sebagai berikut:
·
Tumpeng.
Tumpeng atau
buceng merupakan nasi yang dibentuk menyerupai kerucut, membentuk seakan-akan
gunung kecil. Ini merupakan lambang permohonan keselamatan. Bagi masyarakat
Jawa gunung melambangkan kekokohan, kekuatan dan keselamatan.
·
Procot.
Sejenis
penganan terbuat dai ketan yang dibungkus daun pisang bulat memanjang.
Dinamakan dengan procot dengan harapan lahirnya si bayi kelak ‘procat-procot’,
mudah maksudnya.
·
Bubur sengkolo
Bubur
sengkolo itu merupakan bubur dengan warna merah dan putih. Merupakan lambang
dari bibit asal-muasal kejadian manusia selepas Bapa Adam dan Ibu Hawa, yaitu
diciptakan Allah melalui perantaraan darah merah dan darah putih dari ibu bapak
kita. Harapan dari bubur sengkolo adalah mudah-mudahan yang punya hajad itu
‘kalis ing sambikolo’ terlepas dari segala aral bahaya, baik bayinya maupun
keluarganya.
·
Sego atau nasi golong
Sego golong
merupakan doa agar rejekinya ‘golong-golong’ artinya banyak berlimpah ruah.
·
Cengkir
Ngencengake pikir artinya
membulatkan tekad untuk kelak menyambut kehadiran sang anak yang merupakan
‘titipan Ilahi’. Tekad untuk apa saja ? Ya tekad untuk memelihara dan mendidik
hingga menjadi anak yang berbudi pekeri luhur.
Untuk macam-macam selametanya adalah:
1. Selamatan
dalam rangka lingkaran hidup seseorang. Jenis selamatan ini meliputi; hamil
tujuh bulan, kelahiran, potong rambut pertama, menyentuh tanah untuk pertama
kali, menusuk telinga, sunat, kematian, peringatan serta saat-saat kematian.
2. Selamatan
yang bertalian dengan bersih desa. Jenis selamatan ini meliputi upacara sebelum
penggarapan tanah pertanian, dan setelah panen padi.
3. Selamatan
yang berhubungan dengan hari- hari serta bulan-bulan besar Islam.
4. Selamatan
yang berkaitan dengan peristiwa khusus. Jenis selamatan ini meliputi :
perjalanan jauh, menempati rumah baru, menolak bahaya (ngruwat), janji kalau
sembuh dari sakit (kaul), dan lain-lain.
Di antara jenis-jenis selamatan
tersebut, selamatan yang berhubungan dengan kematian sangat diperhatikan dan
selalu dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menghormati arwah orang yang
meninggal. Jenis selamatan untuk menolong arwah orang di alam baka ini, berupa:
1. Surtanah
atau geblak, yaitu selamatan pada saat meninggalnya seseorang.
2. Nelung dina,
yaitu selamatan hari ketiga sesudah meninggalnya seseorang.
3. Mitung dina,
yaitu selamatan hari ketujuh sesudah meninggalnya seseorang.
4. Matang puluh
dina, yaitu selamatan hari ke 40 sesudah meninggalnya seseorang.
5. Nyatus,
yaitu selamatan hari ke 100 meninggalnya seseorang.
6. Mendak
sepisan, yaitu selamatan satu tahun meninggalnya seseorang.
7. Mendak
pindo, yaitu selamatan dua tahun meninggalnya seseorang.
8. Nyewu, yaitu
selamatan genap 1000 hari meninggalnya seseorang. Selamatan ini kadang-kadang
disebut juga nguwis nguwisi, artinya yang terakhir kali.
Selain selamatan, masyarakat Jawa
juga mengenal upacara sesajen. Upcara ini berkaitan dengan kepercayaan terhadap
makhluk halus. Sesajen diletakkan di tempat-tempat tertentu, seperti di bawah
kolong jembatan, di bawah tiang rumah, dan di tempat-tempat yang dianggap
keramat. Bahan sesajen berupa: ramuan tiga jenis bunga (kembang telon),
kemenyan, uang recehan, dan kue apam. Bahan tersebut ditaruh di dalam besek
kecil atau bungkusan daun pisang. Ada pula sesajen yang dibuat pada setiap
malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon yang wujudnya sangat sederhana karena
hanya terdiri atas tiga macam bunga yang ditempatkan pada sebuah gelas yang
berisi air, bersama sebuah pelita, dan ditempatkan pada sebuah meja. Tujuan
menyediakan sesaji tersebut adalah agar roh-roh tidak mengganggu ketenteraman
dan keselamatan anggota seisi rumah. Erat kaitannya dengan kepercayaan terhadap
makhluk halus ini, ada pula sesaji penyadran agung yang masih tetap diadakan
setiap tahun oleh keluarga Keraton Yogyakarta bertepatan dengan hari Maulud
Nabi Muhammad SAW yang disebut Grebeg Maulud. Adapun kepercayaan kepada
kekuatan sakti (kasakten) banyak ditujukan kepada benda-benda pusaka, keris,
alat musik Jawa (gamelan), beberapa jenis burung tertentu (perkutut), kendaraan
istana (Kereta Nyai Jimat dan Garuda Yeksa), serta kepada tokoh raksasa Bethara
Kala.[1]
·
Sejarah
Selametan
Menurut para ahli
antropologi, penduduk yang dianggap pertama kali mendiami Indonesia adalah
bangsa Wedda yang berbadan kecil dan berkulit coklat.Kemudian pada sekitar
tahun 3000 SM gelombang pertama orang-orang melayu ke Indonesia.Bagi mereka
yang menetap di Pulau Jawa, mereka ini lalu terpengaruh oleh alam lingkungan
Jawa, oleh keadaan gunung-gunungnya, oleh sungai-sungainya, oleh udaranya, oleh
tumbuh-tumbuhannya, oleh suara burungnya dan sebagainya.Akibatnya membawa
pengaruh pada mereka untuk menumbuhkan kebudayaan Jawa, yaitu suatu budaya yang
merupakan hasil interaksi antara manusia pendatang dengan lingkungan alam
Jawa.Oleh karena itu orang-orang melayu yang datang kemudian dianggap sebagai
nenek moyang orang Jawa.
Sebagaimana pada
tempat-tempat lain, suku Jawa pada zaman purba kehidupannta amat bergantung
pada lingkungan hidup, kemudian menimbulkan kepercayaan adanya kekuatan alam
dan arwah orang meninggal dengan timbulnya seni lukis yang berlatar belakang
magis, khususnya di dinding-dinding gua.
Budiono Herusutoto
dalam bukunya "Sombolisme dalam Budaya Jawa" mengatakan bahwa suku
bangsa Jawa pada zaman purba mempunyai pandangan hidup Animisme, suatu
kepercayaan adanya roh atau jiwa pada semua benda, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan
juga manusia sendiri.
Pengaruh kepercayaan
animisme ini telah berlangsung lama dan cukup kuat, khususnya di Jawa dan juga
beraneka ragam suku lain di berbagai daerah di Indonesia. Pengaruh kepercayaan
ini mewarnai berbagai aktifitas kehidupan sosial, organisasi, pemerintahan,
struktur ekonomi, dan sosial budaya hingga saat pada datangnya Islam di
Indonesia.
Menurut Marwati Budiono
Herusatoto, Di Indonesia pada masa kedatangan dan pengebaran Islam terdapat
keanekaragaman suku bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi dan
sosial budaya. Suku bangsa yang bertempat tinggal di pedalaman dengan budaya
asinh seperti India, Persia, Arab, dan Eropa. Struktur sosial, ekonomi, dan
budaya agak statis di bandingkan dengan suku bangsa yang mendiami daerah
pesisir utara jawa. Mereka yang bertempat tinggal di pesisir lebih di kota,
pelabuhan menunjukkan ciri fisik dan sosial budaya yang lebih berkembang
dikarenakan sudah bercampur dengan budaya dari luar.
Pengaruh kebudayaan
yang di bawa oleh orang India terutama golongan Brahmana atau pendeta-pendeta
Hindu dan Budha lebih meresap pada golongan elite. Karena masyarakat umum yang
jauh dari pusat kerajaan tetap hidup dalam kebudayaan aslinya.
·
Filosofi
Selametan
Selamatan yang biasa
dilakukan oleh orang Jawa, merupakan adat yang tidak bisa dilepaskan dengan
akar sejarah kepercayaan-kepercayaan yang pernah dianut oleh orang Jawa.Aktifitas
selamatan bertujuan untuk memperoleh keselamatan bagi pelakunya itu pada
mulanya bersumber dari kepercayaan animisme-dinamisme, kepercayaan yang dianut
oleh nenek moyang orang Jawa yang menganggap bahwa setiap benda itu punya roh
dan kekuatan tertentu.Dari kenyataan ini manusia pada awalnya merasa tidak
berdaya, kemudian meminta perlindungan kepada sesuatu yang memiliki kekuatan
lebih, yang disebut dengan roh-roh dan kekuatan-kekuatan yang ada pada
benda-benda tertentu.Kegiatan yang berupa permohonan untuk suatu keselamatan
itu kemudian disebut dengan “selamatan”. Jika pada masa animisme-dinamisme
disebut nama-nama roh dan kekuatan tertentu kemudian pada masa Hindu-Budha
diganti dengan nama-nama dewa-dewi, dan setelah kedatangan Islam diganti dengan
nama-nama Allah, Muhammad, dan para keluarga Nabi serta para sahabatnya dan
prinsip-prinsip islam.
Bagi orang Jawa,
upacara seperti ini baik upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup manusia
itu sendiri sejak masih dalam kandungan ibu, lahir, kanak-kanak, remaja dewasa
bahkan sampai pada kematiannya atau juga upacara yang berkaitan dengan
aktivitas kehidupan sehari-hari dalam mencari nafakah masih terjadi misalnya,
membangun gedung, meresmikan rumah pindah rumah dan lain-lain.
Seperti pada kematin,
orang jawa umumnya berkeyakinan bahwa roh nenek moyang itu lama-kelamaan akan
pergi dari tempat tinggalnya, dan pada saat-saat tertentu keluarganya akan
mengadakan selamatan untuk menandai jarak yang di tempuh roh itu menuju alam
roh, tempatnya yang abadi kelak. Namun roh itu dapat di hubungi oleh kaum
kerabat serta turunananya setiap saat di perlukan.
Selain itu bagi orang
jawa melakukan selamatan memiliki keyakinan yaitu untuk mendapatkan berkah,
selamat dan terhindar dari cobaan yang berat, mendo’akan orang yang meninggal,
sebagai rasa syukur karena selamatan setahun terakhir, kehidupan masyarakat
aman dan tenteram, terjaga dari malapetaka dan juga befungsi sebagai (talak
balak)
·
Nilai yang
Terkandung dalam Selametan
Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam ritual
selametan antara lain:
1.
Adanya rasa kebersamaan, senasib dan sepenanggungan
dalam berusaha untuk mencapai kebahagian hidup dan kemakmuran
bersama.
2.
Dengan perantaraan upacara ini terjadinya Khablum
minallah yaitu tempat manusia meminta dan kahblum minannas yaitu hubungan
manusia dengan manusia yang bermakna timbulnya interaksi sosial yang tinggi.
3.
Adanya
keseragaman. Misalnya nilai-nilai moral dalam hubungan manusia dengan alam,
pemanfaatan alam, pelestarian alam, dalam mengolah sawah akan memberikan
kemudahan bagi para petani itu sendiri terutama terhadap pembagian air dari
saluran-saluran air yang ada. Begitu pula dapat mencegah padi baik dari
serangan hama.
4.
Nilai-Nilai Moral dalam hubungan manusia dengan
masyarakat
a.
Musyawarah;
b.
Saling menghormati;
c.
Saling memaafkan;
d.
Ramah tamah terhadap sesama;
e.
Gotong royong;
f.
Cinta dan kasih saying.
5.
Nilai-Nilai Moral dalam hubungan manusia dengan
dirinya sendiri
a.
Berusaha keras;
b.
Tanggung jawab;
c.
Kepatuhan kepada adat.[2]
2.2 Pengertian Bulan Suro (Bulan
Muharam)
Dinamakan Bulan Muharam berdasarkan
kemuliaannya sebagai salah satu dari 4 bulan hurum (diharamkan pertikaian
dan kezaliman) sebagaimana di kisahkan dalam al-quran 9 : 36.
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ
اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ
وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
“Sesungguhnya jumlah bulan di Kitabullah (Al Quran)
itu ada dua belas bulan sejak Allah menciptakan langit dan bumi, empat di
antaranya adalah bulan-bulan haram” (QS. 9: 36).
Jadi, Bulan Muharram adalah salah
satu dari empat bulan haram atau bulan yang dimuliakan Allah. Empat bulan
tersebut adalah, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.
Bulan Muharram dikenang sebagai
momen bersejarah akan hijrahnya Rasul beserta kaum Muhajirin Mekah ke Madinah,
sebagaimana dikisahkan dalam alQuran :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan
harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat
kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama
lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum
berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka,
sebelum mereka berhijrah.
(Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan
pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum
yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan.
Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah,
dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada
orang-orang Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman.
Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.
Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad
bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang
mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”.(Al-Anfal: 72-75)
Keempat ayat ini merupakan
satu-satunya rangkaian ayat-ayat hijrah yang paling lengkap dan tersusun secara
berurutan dari sekitar dua puluh ayat yang berbicara tentang hijrah.
Adapun bulan muharam di kenal
juga dengan sebutan ‘asyuro’ (hari
kesepuluh), merupakan warisan dari tradisi Yahudi yg
menyunahkan berpuasa di tanggal 10 Muharram, mereka lebih memprioritaskan hanya
asyuro bukan Muharram (tanggal 10 saja) karena keyakinan mereka dimana
hari itu keselamatan bani israil zaman nabi Musa dari Firaun sehingga sunah
mereka puasa asyuro, sebagaimana Ibnu Abbas mengkisahkan dalam sebuah hadits :
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, lalu beliau
melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura’ ( tanggal 10 Muharram),
maka beliau bertanya: “Hari apakah ini?” Mereka menjawab: “Ini adalah hari yang
baik. Ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya,
maka Musa shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari itu karena
syukur kepada Allah. Dan kami berpuasa pada hari itu untuk mengagungkannya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku lebih berhak atas Musa
daripada kalian”, maka Nabi berpuasa Asyura’ dan memerintah-kan puasanya.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim).
Akhirnya, Rasul memutuskan tradisi
keberlangsungan istilah’ asyuro versi yahudi dan menggantinya dengan
sunah puasa Muharram 9, 10 dan 11 Muharram…Sebagaimana beberapa periwayatan
menceritakan ketegasan sikap Rasul untuk tampil beda dengan para yahudi bani
israil. Ketika Para sahabat berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam :
“Ya Rasulullah, sesungguhnya Asyura’ itu hari yang diagungkan oleh orang
Yahudi dan Nasrani”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Tahun depan insya Allah kita akan puasa (juga) pada hari yang
kesembilan.”(HR. Muslim (1134) dari Ibnu Abbas).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu
Abbas dari jalur lain, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Berpuasalah pada hari Asyura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi itu,
berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.” (Fathul
Bari, 4/245).
Adapun bulan Muharram dikenal dengan
istilah Bulan Suro, asal
usulnya berasal dari tradisi primbon Jawa. Konon kata suro diadopsi
dari ‘asyuro ( hari kesepuluh menurut tradisi Yahudi). Bulan suro juga
dikenal sebagai bulan keramat, keramat diambil dari kata karomah
(kemuliaan ) akan tetapi ternyata diterjemahkan berbeda. Bulan karomah (yg
dimuliakan) menjadi istilah keramat, akhirnya muncul ketakutan sebagai bulan
sial dan petaka.
Dengan demikian berpotensi
dibuatnya banyak hadits palsu mengiringi bacaan doa
awal atau akhir tahun agar terhindar dari petaka di bulan tersebut. Jadi cukup
bagi kita mengambil istilah Muharram sebagai bulan yg dimuliakan sebagai
momentum reformasi Rasulullah untuk selalu hijrah dari kejahiliyahan modern
menuju cahaya kebenaran Islam dengan mensyiarkan doa dan amalan pasti dari
Rasulullah saw.[3]
2.3 Pandangan Masyarakat Jawa terhadap
Bulan Suro
Antara
Muharam dengan Suro memang oleh orang Jawa diidentikan. Akan tetapi, sebenarnya
memiliki muatan makna dan peristiwa yang berbeda sehingga walaupun
diidentikkan, namun ritual keduanya adalah berbeda.
Di
jawa, tahun hijriah dipakai sebagai sistem penanggalan kaum muslim Jawa, yang
ditetapkan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma, yang kadang disebut sebagai
penanggalan abage. Dalam praktiknya,
dengan penanggalan Islam, terkadang berjarak 1 hari lebih lama. Hanya saja
angka tahun Jawa, yakni lebih muda 78 tahun dibanding tahun masehi. Tahunya
tetap menggunakan tahun Saka, namun perhitungan harinya diubah menjadi sistem
tarikh qamariyah. Ini merupakan ijtihad penting yang dilakukan Sultan Agung,
yang menjadi simbol asimilasi Islam dan budaya Jawa.
Bagi masyarakat Jawa, kegiatan
menyambut bulan Suro ini sudah berlangsung sejak berabad-abad yg lalu. Dan
kegiatan yg berulang-ulang tersebut akhirnya menjadi kebiasaan serta menjadi
tradisi yg pasti dilakukan di setiap tahunnya. Itulah yg kemudian disebut budaya
dan menjadi ciri khas bagi komunitasnya. Namun kalau dicermati, tradisi di
bulan Suro yg dilakukan oleh masyarakat Jawa ini adalah sebagai upaya untuk
menemukan jati dirinya agar selalu tetap eling lan waspodo.
Eling artinya harus tetap ingat
siapa dirinya dan dari mana sangkan paraning dumadi (asal mulanya),
menyadari kedudukannya sebagai makhluk Tuhan dan tugasnya sebagai khalifah
manusia di bumi, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Waspodo, artinya
harus tetap cermat, terjaga, dan awas terhadap segala godaan yg sifatnya
menyesatkan. Karena sebenarnya godaan itu bisa menjauhkan diri dari Sang
Pencipta, sehingga dapat menyulitkan kita dalam mencapai manunggaling
kawula gusti (bersatunya makhluk dan Sang Khalik).
Bulan Suro sebagai awal tahun Jawa, bagi
masyarakatnya juga disebut bulan yg sangat sakral karena dianggap bulan yg suci
atau bulan untuk melakukan perenungan, berintrospeksi, pembersihan jasmani
rohani serta mendekatkan diri kepada Hyang Widhi.
Cara yg dilakukan biasanya disebut
dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu dengan hati yg ikhlas untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah esensi dari kegiatan budaya yg
dilakukan masyarakat Jawa pada bulan Suro. dulu lelaku tersebut leluhur kita
bisanya melakukan puasa, nyepi untuk beberapa haru atau satu bulan penuh ataupun
tergantung pribadi masing-masing dalam lelaku, biasanya lelaku tersebut
dilakukan ditempat yang dianggapnya bisa tenang dan jauh akan keramaian (digua,
di hutan, atau dipadepokan, dikamar, dll).
Lelaku yg dilaksanakan oleh
masyarakat Jawa sebagai media introspeksi biasanya banyak sekali caranya. Ada
yg melakukan lelaku dengan cara nenepi (meditasi untuk merenungi diri) di
tempat-tempat sakral seperti di puncak gunung, tepi laut, makam para wali, gua
dan sebagainya. Ada juga yg melakukannya dengan
cara lek-lekan (berjaga semalam suntuk tanpa tidur hingga pagi hari)
di tempat-tempat umum seperti di alun-alun, pinggir pantai, dan sebagainya.
Sebagian masyarakat Jawa lainnya
juga melakukan cara sendiri yaitu mengelilingi benteng kraton sambil membisu. Begitu
pula untuk menghormati bulan yg sakral ini, sebagian masyarakat Jawa melakukan
tradisi syukuran kepada Tuhan pemberi rejeki, yaitu dengan cara melakukan
labuhan dan sedekahan di pantai, labuhan di puncak gunung, merti dusun atau
suran, atau lainnya. Dan karena bulan Suro juga dianggap sebagai bulan yg baik
untuk mensucikan diri, maka sebagian masyarakat lain, melakukan kegiatan
pembersihan barang-barang berharga, seperti jamasan keris pusaka, jamasan
kereta, pengurasan enceh di makam-makam, dan sebagainya. Ada juga yg melakukan
kegiatan sebagai rasa syukur atas keberhasilan di masa lalu dengan cara pentas
wayang kulit, ketoprak, nini thowok, dan kesenian tradisional lainnya. Apapun
yg dilakukan boleh saja terjadi asal esensinya adalah dalam rangka perenungan
diri sendiri (introspeksi) sebagai hamba Tuhan.
Di sisi lain, ternyata kesakralan
bulan Suro membuat masyarakat Jawa sendiri enggan untuk melakukan kegiatan yg
bersifat sakral, misalnya hajatan pernikahan. Hajatan pernikahan di bulan Suro
sangat mereka hindari. Entah kepercayaan ini muncul sejak kapan. Namun yang
jelas sampai sekarangpun mayoritas masyarakat Jawa tidak berani menikahkan
anaknya di bulan Suro. Ada sebagian masyarakat Jawa yang percaya dengan cerita
Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan yang konon ceritanya setiap bulan Suro,
Nyi Roro Kidul selalu punya hajatan atau mungkin menikahkan anaknya (ndak ada
yg tahu berapa jumlah anaknya) sehingga masyarakat Jawa yg punya gawe di bulan
Suro ini diyakini penganten atau keluarganya ndak akan mengalami kebahagiaan
atau selalu mengalami kesengsaraan, baik berupa tragedi cerai, gantung diri,
meninggal, mengalami kecelakaan, atau lainnya. Entah kebenaran itu ada atau
tidak, yg jelas masyarakat Jawa secara turun-temurun menghindari bulan Suro
untuk menikahkan anak. Padahal bagi pemeluk agama Islam, dan mungkin juga
pemeluk agama lain, bahwa semua hari dan bulan itu baik untuk melakukan
kegiatan apapun termasuk menikahkan anak.[4]
·
Penyebab
Pensakralan Bulan Muharam (Suro)
Terdapat
berbagai sebab bulan Muharam (Suro) disakralkan sebagian masyarakat Indonesia
(Jawa), diantaranya yang paling utama:
1. secara
teologis religius, bulan Muharam termasuk salah satu dari bulan yang dimuliakan
Allah SWT.
2. Oleh Rasulullah Muhammad SAW, bulan Muharam
dinyatakan sebagai ‘bulan para Nabi”, dan Rasulullah memuliakan bula tersebut,
terutama tanggal 10 atau satu hari sebelum atau sesudahnya, dimana Rasulullah
menganjurkan berpuasa dan anak yati, serta memperbanyak sedekah.
3. Dari
sudut semi-historis, bulan Muharam pada tanggal 10 merupakan peringatan hari
pertama, bagi dunia baru, setelah terjadi bencana banjir bandang dan topan
badai pada zaman Nabi Nuh. Pada tanggal 8 muharam, perahu Nabi Nuh merapat di bukit Judi, Gunung
Ararat. Pada tanggal 10 Muharam Nabi Nuh Bersama pengikutnya yang selamat turun
dari perahu, dan memulai kehidupan di dunia yang baru.
4. Tanggal
1 muharam, merupakan awal ekspedisi hijrah Nabi Muhammad dari Mekah menuju
Madinah.
5. Bulan
Muharam, atas prakarsa Sultan Agung menjadi bulan awal tahun baru bersama-sama
antara Islam dan Jawa.
6. Oleh
masyarakat di pulau-pulau sebelah selatan Indonesia, terdapat keyakinan tentang
kaitan sakral antara bulan Muharam dengan ratu atau pengasuh laut selatan, atau
yang lebih dikenal sebagai Ratu Kidul.
7. Pada
tanggal 10 Muharam atau Asuro, dalam sejarah Islam pernah terjadi peristiwa
yang sangat mengharukan umat Islam. Dimana terjadi pembantaian terhadap 72 anak
keturunan Nabi dan pengikutnya.
Selain
berbagai faktor utama tersebut, yang menyebabkan adanya berbagai upacara ritual
dan laku sepiritual, serta juga
melahirkan banyak upacara selamatan, tentu dalam masing-masing benak kelompok
masyarakat dan perorangan, masih memiliki berbagai faktor yang menjadikan
mereka merasa harus memuliakan bulan Muharam dengan tanggal 10-nya (Asuro).
Karena keyakinan seperti itu tidak bisa disalahkan juga.[5]
2.4 Pandangan Masyarakat Jawa
Terhadap Kelahiran Bayi di Bulan Suro
2.4.1 Pandangan
Masyarakat Jawa Terhadap Kelahiran Bayi
Kelahiran
dari kata dasar lahir, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keluar dr
kandungan, muncul di dunia (masyarakat), yg tampak dr luar, berupa benda yg
kelihatan[6].
Dari artia tersebut dapat diuraikan bahwa kelahiran adalah suatu proses
keluarnya bayi dari kandungan seorang ibu, dan dari kelahiran tersebut berarti
bertambahlah anggota keluarga ataupun anggota dalam masyarakat.
Proses
kelahiran, memang bukanlah suatu peristiwa atau kejadian yang biasa meskipun
hal ini secara berkelanjutan terus terjadi. Hal tersebut dikarenakan objek
dalam peristiwa ini menyangkut suatu personal manusia baru yang akan tumbuh dan
menjalankan kehidupan kedepanya.
Dalam
pandangan masyarakat Jawa, ritual untuk menangani suatu kelahiran secara turun
temurun sudah terbudaya berada pada tahapan-tahapan yang begitu panjang. Mulai
dari masa kehamilan sampai perawatan bayi yang sudah lahir. Dan berikut urian
ritual yang dilakukan masyarakat Jawa untuk menangani masa sebelum kelhiran
ataupun setelah melahirkan, sebagai berikut:
·
Macam-Macam Upacara Adat saat Prosesi Kehamilan
1. Upacara tiga bulanan
Upacara ini dilaksanakan pada saat usia kehamilan adalah tiga bulan. Di
usia ini roh ditiupkan pada sang jabang bayi. Upacara ini biasanya dilakukan
berupa tasyakuran.
2. Upacara Tingkepan atau Mitoni
Upacara tingkepan disebut juga mitoni berasal dari kata pitu yang artinya
tujuh, sehingga upacara mitoni dilakukan pada saat usia kehamilan tujuh bulan,
dan pada kehamilan pertama.
Dalam pelaksanaan upacara tingkepan, ibu yang sedang hamil tujuh bulan
dimandikan dengan air kembang setaman, disertai dengan doa-doa khusus.
Tata Cara Pelaksanaan upacara Tingkepan :
a. Siraman dilakukan oleh sesepuh sebanyak tujuh orang. Bermakna mohon doa
restu, supaya suci lahir dan batin.Setelah upacara siraman selesai, air kendi
tujuh mata air dipergunakan untuk mencuci muka, setelah air dalam kendi habis,
kendi dipecah.
b. Memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain (sarung) calon ibu oleh
suami melalui perut sampai pecah, hal ini merupakan simbul harapan supaya bayi
lahir dengan lancar, tanpa suatu halangan.
c. Berganti Nyamping sebanyak tujuh kali secara bergantian, disertai kain
putih. Kain putih sebagai dasar pakaian pertama, yang melambangkan bahwa bayi
yang akan dilahirkan adalah suci, dan mendapatkan berkah dari Tuhan YME.
Diiringi dengan pertanyaan sudah “pantas apa belum”, sampai ganti enam
kali dijawab oleh ibu-ibu yang hadir “belum pantas.” Sampai yang
terakhir ke tujuh kali dengan kain sederhana di jawab “pantes.”Adapun
nyamping yang dipakaikan secara urut dan bergantian berjumlah tujuh dan
diakhiri dengan motif yang paling sederhana sebagai berikut :
o Sidoluhur;
o Sidomukti;
o Truntum;
o Wahyu Tumurun;
o Udan Riris;
o Sido Asih;
o Lasem sebagai Kain;
o Dringin sebagai Kemben;
·
Macam-Macam Upacara Adat untuk Bayi
Tak hanya pada saat kehamilan saja upacara adat
atau ritual dilaksanakan. Ketika sang jabang bayi ini lahir pun masih ada
ritual dan upacara adat. Upacara ini pun berlangsung hingga sang anak menginjak
usia satu tahun. Namun, pelaksanaan upacara ini dilaksanakaan hanya di usia
tertentu saja. Berikut jenis upacara yang berkaitan dengan kelahiran anak.
1. Upacara Adat Brokohan
Brokohan memiliki makna adalah pengungkapan rasa syukur dan rasa sukacita
atas proses kelahiran yang berjalan lancar dan selamat. Ditinjau dari maknanya brokohan
juga bisa berarti mengharapkan berkah dari Yang Maha Pencipta.
Sedangkah tujuannya adalah untuk keselamatan dan perlindungan bagi sang
bayi. Selain itu harapan bagi sang bayi agar kelak menjadi anak yang memiliki
perilaku yang baik.
Rangkaian upacara ini berupa memendam ari-ari atau plasenta si bayi.
Setelah itu dilanjutkan dengan membagikan sesajen brokohan kepada sanak
saudara dan para tetangga.
2. Upacara Adat Sepasasaran atau Pupak Puser
Sepasaran merupakan salah satu
upacara adat bagi bayi berumur lima hari. Upacara adat ini umumnya
diselenggarakan secara sederhana. Tetapi jika bersamaan dengan pemberian nama
pada sang bayi upacara ini bisa dilakukan secara meriah.
Acara ini biasanya dilaksanakn dengan mengadakan hajatan yang mengundang
saudara dan tetangga. Suguhan yang disajikan biasanya berupa minuman beserta
jajanan pasar. Selain itu juga terkadang ada pula yang dibungkus rapi baik
menggunakan besek (tempat makanan terbuat dari anyamam bambu) ataupun
lainnya untuk dibawa pulang.
3. Upacara Adat Selapanan
Dalam bahasa jawa, selapan berarti tiga puluh lima hari. Tradisi ini
digunakan pada peringatan hari kelahiran. Setelah 35 hari dari hari H, maka
diadakan perayaan dengan nasi tumpeng, jajan pasar dan berbagai macam makanan
sebagi simbol dari makna-makna yang tersirat dalam tradisi jawa.
Namun dalam perkembangannya, saat ini selapanan sebagai ungkapan syukur
atas kesehatan dan keselamatan bayi, diwujudkan cukup dengan nasi tumpeng
beserta lauk seadanya. Kemudian mengundang tetangga kanan-kiri untuk kendurenan
(selamatan), berdoa bersama-sama dan diujung acara, tumpeng dibagi rata untuk
dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
Selapanan sebagai harapan orang tua dan keluarga agar sang bayi selalu
sehat, jauh dari marabahaya. Semoga apa yang diharapkan bisa terlaksana, kabul
kajate…
4. Upacara Adat Mudhun Siti
Upacara ini dilakukan untuk bayi yang telah berusia 7 bulan. Di Yogyakarta,
upacara ini disebut dengan tedhak siten. Upacara ini sebagai pelambang
bahwa sang anak telah siap untuk menjalani hidup lewat tuntunan dari sang orang
tua. Dan acara ini dilaksanakan pada saat anak berumur 7 selapan atau
245 hari. Prosesi upacaranya adalah tedhak sega pitung warna, mudhun
tangga tebu, ceker-ceker, kurungan, sebar udik-udik, siraman.[7]
2.4.2 Pandangan Masyarakat
Jawa terhadap Kelahiran Bayi pada Bulan Suro
Menyikapi
dari uraian diatas, masyarakat Jawa begitu menata ritual-ritual yang digunakan
dalam memperlakukan suatu kelahiran. Yang didalamnya terkandung berbagai
filosofi atau makna yang memang sudah dirancang dan dipikirkan oleh orang Jawa
sedemikian rupa.
Suatu
kelahiran yang merupakan suatu keadaan normal pada msyarakat Jawa mendapatkan
begitu perlakuan-perlakuan khusus didalamnya, apabila Dalam pembahasan
pandangan masyarakat Jawa terhadap kelahiran bayi pada bulan suro, tentu saja
akan mendapatkan suatu perlakuan lebih dan khusus terhadapnya. Hal tersebut
dikarenakan dari peristiwa kelahiran itu sendiri dan kejadianya pada bulan Suro
yang begitu disakralkan oleh masyarakat Jawa.
Sehingga
akan timbul ritual-ritual tersendiri khusus untuk menangani bayi yang lahir
pada bulan Suro. Sudah menjadi suatu hukum kausal, bahwa semuanya pasti ada
sebabnya sehingga menjadi demikian. Suatu ritual selametan khusus dikerjakan
untuk anak/ bayi yang lahir pada bulan suro karena sesuai dengan uraian
sebelumnya yang menyatakan adanya hubungan bulan Suro dengan penguasa pantai
selatan yaitu Kanjeng Ratu Kidul. Mengingat bahwa sebagian daerah di Kabupaten
Banyuwangi khususnya di bagian Banyuwangi Selatan merupakan daerah yang banyak
didiami suku Jawa dan berada dikelilingi dengan jalur pantai selatan. Sehingga
anggapan tentang kepercayaan bulan Suro yang di hubungkan dengan eksistensi
penguasa pantai selatan yaitu Kanjeng Ratu Kidul.
Diyakini
oleh masyarakat bahwa anak yang lahir pada bulan Suro merupakan anak yang
istimewa dan memiliki erat hubungan dengan Kanjeng Ratu Kidul, sehingga rentan
untuk dipelihara oleh Kanjeng Ratu Kidul. Dan hal tersebut menimbulkan
kekhawatiran yang cukup besar bagi orang tua yang memiliki anak yang lahir pada
bulan Suro, sehingga dari hal tersebut dibuatlah acara ritual khusus untuk
menanggulangi kejadian yang tidak diinginkan.
Karena
hal tersebut begitu dipercaya sejak dahulu, dan kejadian ini juga dialami orang
terdahulu, sehingga ritual-ritual sebagai penanggulangan tersebut juga menurun
pada generasi kegenerasi sampai saat ini.
2.5 Pelaksanaan Ritual Slametan
Kelahiran Bayi di Bulan Suro
2.5.1
Makna
Simbolik dibalik Ritual Sedekahan/ Selametan dalam Masyarakat Jawa
Bagi
masyarakat muslim Jawa, ritualitas sebagai wujud pengabdian dan ketulusan
penyembahan kepada Allah, sebagian diwujudkan dalam bentuk simbol-simbolritual
yang memiliki kandungan makna mendalam. Simbol-simbol ritual merupakan ekspresi
atau pengejawantahan dari penghayatan dan pemahaman akan “Realitas yang tak terjangkau”, sehingga menjadi “yang sangat dekat”. Dengan
simbol-simbolritual tersebut terasa bahwa Allah selalu hadir dan selalu
terlibat.
Simbol-simbol
ritual tersebut diantaranya adalah ubarampe
(piranti dalam bentuk makanan), ruwatan, dan sebagainya. Hal itu merupakan
aktualitas dari pikiran, keinginan, dan perasaan pelaku untuk lebih mendekatkan
diri kepada Tuhan. Upaya pendekatan diri melalui ritual sedekahan, kenduri,
selametan, dan sejenisnya tersebut sesungguhnya adalah bentuk akumulasi budaya
yang bersifat abstrak.[8]
2.5.2
Aspek
Gaib sebagai Bagian dari Ikon Spiritual Masyarakat Jawa
Dalam
pelaksanaan berbagai jenis selamatan dan kenduri, kaum muslim Jawa biasanya
menyajikan hidangan yang bersifat “harus”, sesuai dengan jenis selamatan yang
dilaksakan. Biasanya hidangan yang disajikan merupakan ikon dan simbol
spiritual dari apa yang menjadi keinginannya, terkait dengan dilaksanakanya ritual
selametan. Mereka menjadikan arena selametan sebagai wahana ekspresi keinginan
dan doa yang dipanjatkan kepada Tuhan. Namun, budaya ikonoklastis ini, oleh
kalangan muslim Jawa tidak dimasuksudkan untuk musrik. Oleh karenanya, untuk
enghindari dari apa yang disebut “kemusyrikan”, ritual selametan dan kenduri
dibingkai dengan doa dan dzikir islami.
Selain
itu, ikon-ikon yang diwujudkan dalam bentuk berbagai jenis hidangan dimaksudkan
sebagai sarana wasilah (perantara) dalam rangka memuliakan (mumuli) para tokoh yang dimuliakan
Allah, yakni yang oleh masyarakat Jawa dianggap sebagai Nabi dan para wali
Allah.
No
|
Ubarampe
Selametan
|
Yang
dimuliakan
|
1.
|
Apem ketan kolah
|
Arwah leluhur
|
2.
|
Tumpeng nasi putih, sayuran, telur
|
Permohonan rasa ketentraman
|
3.
|
Nasi golong lulut, diberi alas dan
tutup telur dadar
|
Diri sebagai hamba Allah (kawula)
dengan 4 nafsunya
|
4.
|
Nasi kebuli, telur, brambang goreng
utuh, ikan goreng, dan kopi bubuk
|
Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jailani
|
5.
|
Ketan salak
|
Kanjeng Pangeran Senapati
|
6.
|
Hati (ayam atau lainya) dan dupa (atau
sejenisnya)
|
Malaikat hafadzah (penjaga gilang)
|
7.
|
Ketan salak, dan telur ayam pindang
|
Kanjeng Sultan Agung
|
8.
|
Kolak kencana (pisang mas yang dikolak
beserta kulitnya)
|
Kanjeng Ratu Kidul
|
9.
|
Ketan punar, enten-enten, alas dan
tutup telur dadar
|
Ki Ageng Bodho
|
10.
|
Dawet
|
Sang Hyang Antaboga
|
11.
|
Rujak degan
|
Permohonan sehat wal afiat
|
12.
|
Ketan mancawarna (ketan aneka warna, merah,
hijau, dan sebagainya)
|
Permohonan rizki berkah dan mencukupi
|
13.
|
Nasi kering yang digoreng dimasukkan
santan, dan opak
|
Anasir udara
|
14.
|
Lauk sayur padhamara (kangkung dengan
daging/ ikan, bumbu bawang merah, bawang putih, salam, laos, tumbar, jinten, gula,
asam, trasi, dan garam)
|
Permohonan kepada Allah agar selalu
guyup rukun
|
15.
|
Tumpeng robyong (telur godok ditusuk,
diatasnya ada telur dan trasi, bawang merah, lalu cabai. Tusukkan itu
kemudian ditancapkan dipuncak tumpeng. Kiri kanan tumpeng ditusukkan berbagai
jenis sayuran dan palawija) dan tumpeng nasi biasa.
|
Permohonan kepada Allah agar selalu
diberikan keselamatan dan kemuliaan
|
16.
|
Nasi punar
|
Permohonan keselamatan ijab qabul dan
keturunan
|
17.
|
Jenang pliringan (jenang merah
dipinggirnya dikasih jenang putih); jenang palang (jenang merak, diatasnya
ditumpangi jenang putih melintang); jenang sungsum.
|
Memuliakan Khalifah Abu Bakar, Umar,
ustman, dan Ali
|
Daftar
diatas sekedar contoh, bahwa aneka makanan yang dihidangkan (ubarampe) bagi orang muslim Jawa
bukanlah sebagai tujuan dan alat. Namun hanya sebagai ikon dan simbol dari keinginan
dan doa yang diwujudkan.[9]
2.5.3 Pelaksanaan
Ritual Selametan
Dari
uraian sebelumnya, apabila dihubungkan pada kelahiran bayi pada bulan Suro
memang sangat erat kaitanya. Hal tersebut dapat terjadi demikian karena
perwujudan ritual yang dilakukan untuk anak/bayi yang lahir pada bulan suro
memang berbentuk suatu sedekahan atas rasa syukur yang di manifestasikan dalam
slametan.
Memang
pada dasarnya ritual yang dilakukan untuk semua anak/ kelahiran bayi sama saja
pada umumnya untuk masyarakat Jawa. Begitu juga dengan anak/ bayi yang lahir
pada Bulan Suro juga mendapatkan perlakuan dasar sama seperti anak/bayi pada
umumnya di Jawa. Namun ada yang membedakan dari hal tersebut adalah tambahan
ritual yang lebih atau khusus terhadap bayi/anak yang lahir pada bulan Suro
tersebut.
Ritual
yang menjadi tambahanya adalah ritual selametan dengan berbagai simbol-simbol
hidangan, ritual tersebut dikerjakan setiap pengulangan nepton-nya tiba, yaitu pada salah satu hari dalam satu bulan Suro.
Uniknya ritual selametan ini tidak hanya dilakukan satu kali saja, melainkan
dikerjakan selama 7 kali atau tujuh tahun setiap memperingati nepton-nya, disamping acara-acara lain
yang diberikan untuk bayi/ anak pada umumnya.
Dalam
pelaksanaanya, ritual tersebut dilakukan dengan pembuatan ikon-ikon atau uborampen dan diujubkan dalam acara kenduri slametan. Dan hal-hal yang harus
dipersiapkan antara lain:
1. Sego gurih
(nasi gurih) dengan ingkung (ayam bumbu dimasak utuh) dan
sambal goreng;
2. Sego golong (nasi
kepal yang dibungkus daun pisang berjumlah 15 atau 19 bungkus) dengan ayam
panggang utuh yang usianya masih muda;
3. Peyek (rempeyek);
4. Jenang abang (bubur
beras yang diberi gula jawa) diatasnya diberi jenang putih (bubur beras dengan santan tanpa gula merah);
5. Jenang putih ((bubur
beras dengan santan tanpa gula merah) dengan ditaruh irisan gula merah dan
serutan kelapa;
6. Sego kulup
(nasi putih biasa dengan ditaruh sayur-sayuran yang diurap dengan bumbu
kelapa), diatasnya ditaruh sambal goreng dan telur rebus yang utuh beberapa;
7. Ambeng (tempat
nasi dari batang daun pisang dan ditusuk dengan bambu) yang diatasnya ada nasi
putih, sambal goreng, dan rempeyek;
8. Sego brok (nasi
brok) dengan diatasnya ditaruh sambal goreng dan rempeyek.
Setelah semuanya sudah dipersiapkan,
maka dapat dilaksanakanlah acara ritual selametan yang sesuai dengan tujuan
niat yang ingin disampaikan.
BAB 3. PENUTUP
3.1 Simpulan
Slametan
Bagi masyarakat Jawa adalah ritualitas sebagai wujud pengabdian dan ketulusan
penyembahan kepada Allah, sebagian diwujudkan dalam bentuk simbol-simbolritual
yang memiliki kandungan makna mendalam. Simbol-simbol ritual merupakan ekspresi
atau pengejawantahan dari penghayatan dan pemahaman akan “Realitas yang tak terjangkau”, sehingga menjadi “yang sangat dekat”. Dengan simbol-simbol
ritual tersebut terasa bahwa Allah selalu hadir dan selalu terlibat.
Bulan Suro, merupakan salah satu
nama bulan dalam sistem penanggalan di Jawa, nama Suro sendiri diadopsi dari
kata Asura yang menunjukkan hari ke 10 bulan Muharam tahun hijriyah.
Adapun bulan Muharram dikenal dengan
istilah Bulan Suro, asal
usulnya berasal dari tradisi primbon Jawa. Konon kata suro diadopsi
dari ‘asyuro ( hari kesepuluh menurut tradisi Yahudi). Bulan suro juga
dikenal sebagai bulan keramat, keramat diambil dari kata karomah
(kemuliaan ) akan tetapi ternyata diterjemahkan berbeda. Bulan karomah (yg
dimuliakan) menjadi istilah keramat, akhirnya muncul ketakutan sebagai bulan
sial dan petaka.
Dalam
pandangan masyarakat Jawa khususnya pada sebagian daerah di Kabupaten
Banyuwangi terhadap bayi/ anak yang lahir apda bulan Suro adalah merupakan
anak yang istimewa dan memiliki erat hubungan dengan Kanjeng Ratu Kidul,
sehingga rentan untuk dipelihara oleh Kanjeng Ratu Kidul. Dan hal tersebut
menimbulkan kekhawatiran yang cukup besar bagi orang tua yang memiliki anak
yang lahir pada bulan Suro, sehingga dari hal tersebut dibuatlah acara ritual
khusus untuk menanggulangi kejadian yang tidak diinginkan.
Memang
pada dasarnya ritual yang dilakukan untuk semua anak/ kelahiran bayi sama saja
pada umumnya untuk masyarakat Jawa. Begitu juga dengan anak/ bayi yang lahir
pada Bulan Suro juga mendapatkan perlakuan dasar sama seperti anak/bayi pada
umumnya di Jawa. Namun ada yang membedakan dari hal tersebut adalah tambahan
ritual yang lebih atau khusus terhadap bayi/anak yang lahir pada bulan Suro
tersebut.
Ritual
yang menjadi tambahanya adalah ritual selametan dengan berbagai simbol-simbol
hidangan, ritual tersebut dikerjakan setiap pengulangan nepton-nya tiba, yaitu pada salah satu hari dalam satu bulan Suro.
Uniknya ritual selametan ini tidak hanya dilakukan satu kali saja, melainkan
dikerjakan selama 7 kali atau tujuh tahun setiap memperingati nepton-nya, disamping acara-acara lain
yang diberikan untuk bayi/ anak pada umumnya.
3.2 Saran
Sebagai
suatu kebudayaan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, suatu bentuk
manifestasi penghormatan terhadap sang pencipta, hendaknya perlu diambil
kebaikanya dan dijaga supaya tidak terjadi suatu kepunahan ataupun suatu hal
yang tidak diinginkan, tentusaja masih dalam koridor jalan yang baik dan benar.
Suatu
kearifan lokal, pasti dibaliknya memiliki suatu pengajaran yang begitu baik.
Seperti yang terurai pada materi, dari hal tersebut dapat diambil suatu
kebaikan mulai dari usaha untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta ataupun
menjaga keadaan kehidupan dengan sesasama mahluk ciptaan Allah SWT.
Sudah
merupakan suatu keharusan apabila dalam melaksanakan kehidupan dapat mengupayakan
manakah hal yang benar dan manakah hal yang tidak benar. Serta manakah yang
perlu diikuti dan manakah yang harus ditingga, semua itu merupakan tergantung
persepsi masing-masing pribadi dalam menyikapinya. Oleh karena itu tetap
berpikir positif dan melakukan semua hal dengan positif, supaya dampak/ hasil
yang diperoleh adalah hasil yang selalu sesuai dengan yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Sholikhin, Muhammad. 2010.Kanjeng Ratu Kidul dalam Perspektif Islam
Jawa. Jakarta: Narasi.
Sholikhin, Muhammad. 2010. Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa.
Jakarta: Narasi.
.......... 2011. Makna Bulan Suro dalam Masyarakat Jawa. http:// MAKNA BULAN SURO
DALAM MASYARAKAT JAWA _ Remaja Kerokhanian Sapta Darma Sragen.htm. [20 Mei
2015].
Cantiyas, Fitri. 2012. Upacara Adat Jawa-Kelahiran Manusia. http://fitricahcilik.blogspot.com/2012/01/upacara-adat-jawa-kelahiran-manusia.html.
[22 Maret 2015].
Ermawati, Dwi. .......... Tradisi Slametan dalam Masyarakat Jawa.
http:// a my Blog _ Yuk bareng-bareng.. _ Bac.htm. [20 Maret 2015].
Fatimah, Siti. 2014. Kebudayaan Selamatan Untuk Meningkatkan
Kekeluargaan di Lingkungan Masyarakat. http://www. Siti Fatimah.htm. [20
Maret 2015].
http://kbbi.web.id/lahir.
[22 Maret 2015].
Lc. Halimah. 2012. Makna Bulan Muharam, ’Ashuro’, dan Bulan Suro. http:// Makna Bulan
Muharam, ‘Asyuro’ dan Bulan Suro. _ Salimah.htm. [20 Maret 2015].
Lampiran 1
·
Gambar Kenduri Selametan
·
Gambar kenduri yang sudah dibagi
[1]
Ermawati, Dwi. .......... Tradisi
Slametan dalam Masyarakat Jawa. http:// a my Blog _ Yuk bareng-bareng.. _
Bac.htm. [20 Maret 2015].
[2] Fatimah,
Siti. 2014. Kebudayaan Selamatan Untuk
Meningkatkan Kekeluargaan di Lingkungan Masyarakat. http://www. Siti
Fatimah.htm. [20 Maret 2015].
[3] Lc.
Halimah. 2012. Makna Bulan Muharam, ’Ashuro’, dan Bulan Suro. http:// Makna
Bulan Muharam, ‘Asyuro’ dan Bulan Suro. _ Salimah.htm. [20 Maret 2015].
[4]
.......... 2011. Makna Bulan Suro dalam
Masyarakat Jawa. http:// MAKNA BULAN SURO DALAM MASYARAKAT JAWA _ Remaja
Kerokhanian Sapta Darma Sragen.htm. [20 Mei 2015].
[5]
Sholikhin, Muhammad. 2010. Misteri Bulan
Suro Perspektif Islam Jawa. Jakarta: PT. Suka Buku Kita. Hlm. 22-30.
[6] http://kbbi.web.id/lahir. [22 Maret 2015].
[7]
Cantiyas, Fitri. 2012. Upacara Adat Jawa-Kelahiran Manusia. http://fitricahcilik.blogspot.com/2012/01/upacara-adat-jawa-kelahiran-manusia.html.
[22 Maret 2015].
[8]
Sholikhin, Muhammad. 2010.Kanjeng Ratu
Kidul dalam Perspektif Islam Jawa. Jakarta: Narasi. Hlm. 16-17.
[9]
Sholikhin, Muhammad. 2010. Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa. Jakarta:
PT. Suka Buku Kita. Hlm. 59-60.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar